Pages

12 June, 2013

Apa saja karakteristik dari organisasi belajar?

Sebuah organisasi dikatakan belajar apabila ia mampu mengubah perilaku dan cara berpikirnya berdasarkan hasil dari pengalaman. Dari pernyataan tersebut sangatlah jelas apa yang dimaksud dengan organisasi belajar, namun dalam kenyataannnya masih banyak perusahaan-perusahaan (organisasi) yang belum mampu melaksanakannya. Di dalam artikel yang dibuat oleh Prof. Eve Mitleton-Kelly ini, menawarkan sebuah perspektif tentang membuat sebuah lingkungan belajar yang
memfasilitasi pencapaian spesifik atau ganda, tujuan yang terkait. Dikatakan bahwa karakteristik sebuah organisasi belajar di antaranya adalah sebuah proses yang baru, di mana hasilnya tidak dapat diduga. Untuk hal tersebut, organisasi belajar membutuhkan sebuah lingkungan yang tepat untuk berkembang, yang merupakan lingkungan untuk refleksi dari tindakan dan hasil sebelumnya serta disiapkan untuk sebuah hasil yang mungkin tidak diterima, disebabkan ketidaksesuaian dengan budaya.

Perlu diingat, bahwa sebuah ‘kegagalan’ itu bukanlah ‘kesalahan’, karena untuk menjadi sukses diperlukan banyak usaha untuk mencoba. Maka karakteristik organisasi belajar lainnya adalah eksplorasi berbagai kemungkinan, untuk mencari sesuatu yang baru, produk inovatif, cara kerja dan lain-lain. Selama proses belajar itu, semua anggota organisasi akan saling mempengaruhi kinerja yang lain, karena mereka akan saling beradaptasi dan bertukar pendapat, dan itu akan berdampak pada proses selanjutnya.

Karakteristik lainnya adalah percaya akan kemampuan organisasi itu sendiri, sehingga anggota organisasi tersebut dapat mengeksplor ide-ide baru mereka tanpa perlu diawasi/diarahkan langsung oleh manajer. Dalam sebuah organisasi jangan lupa akan sebuah jaringan relasi, yang menyangkut feedback yang akan berdampak pada tingkat ketergantungan. Walaupun dalam perkembangannya organisasi belajar sangat terpengaruh oleh budaya dan sejarah mereka, namun hal itu dapat diatasi. Dengan memahami karakteristik kompleks sistem dan kompleksitas organisasi belajar memudahkan kita untuk bekerja mencapai tujuan, bukan melawan budaya ataupun sejarah yang ada.

Karakteristik-karakteristik tersebut menurut saya, hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Peter Senge, yang tercakup dalam The Fifth Dicipline. Di antaranya dalam hal berpikir sistem, di mana organisasi dituntut harus dapat melihat pola perubahan secara holistik, dengan paradigma bahwa itu semua saling berhubungan, berkaitan dan mempengaruhi pada akhirnya. Belajar beregu, yang menandakan bahwa organisasi yang belajar tidak akan membiarkan para anggotanya belajar masing-masing, tetapi ia akan menyatukannya menjadi sebuah tim. Karena belajar beregu akan menghasilkan lebih baik dibandingkan sendiri. Jadi dalam sebuah organisasi yang belajar tidak akan ada kesenjangan antara atasan dan bawahan, seperti contoh yang belajar hanya para atasan saja, sedangkan OB (Office Boy) dan tukang satpam tidak perlu belajar. Serta visi bersama, organisasi yang berhasil berusaha mempersatukan orang-orang berdasarkan identitas yang sama dan perasaan senasib. Hal ini perlu dijabarkan dalam suatu visi yang dimiliki bersama. Visi bersama ini bukan sekedar rumusan keinginan suatu organisasi melainkan sesuatu yang merupakan keinginan bersama. Visi bersama adalah komitmen dan tekad dari semua orang dalam organisasi, bukan sekedar kepatuhan terhadap pimpinan.

Menilik berbagai karakteristik yang dijabarkan di artikel dan rumusan dari Peter Senge, saya meragukan bahwa organisasi (perusahaan) di Indonesia telah menerapkan organisasi belajar secara utuh. Karena pada kenyataannya organisasi belajar tersebut masih dipandang terlalu deskriptif dan konseptual, sehingga mengalami kesulitan diterapkan secara aktual dalam praktek manajemen di berbagai perusahaan. Fakta di lapangan yang sering saya lihat, belum semua pihak-pihak yang terkait dengan organisasi tersebut belajar, kebanyakan hanya para atasannya saja yang belajar. Selain itu masih banyak organisasi di Indonesia yang tidak percaya akan kemampuannya sendiri, sehingga mereka tidak berani bereksplorasi atas berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Ditambah tidak adanya keterkaitan antara organisasi belajar dan strategi SDM, karena segalanya masih dipandang secara segmentik bukan sistemik.

No comments:

Post a Comment

Text Widget