Jakarta, 3 Juni 2013
Selamat sore!
Tulisan ini kubuat selagi
menunggu waktu berbuka puasa. Mencoba merekam jejak tentang Yogyakarta, kota
pelajar dan kota yang penuh romansa (khususnya Maliboro). Hari kedua (Minggu,
26 Mei 2013) kuawali dengan pergi mencari sarapan di depan RS Bantul. Bersama
Risti dan mamanya yang gauul abiss.. kami menjatuhkan pilihan untuk sarapan
bubur. Namun di tengah jalan, aku tertarik pada nasi bakar yang bersebelahan
dengan tukang bubur. Maka kupilihlah nasi bakar, berisi jamur dan ayam seharga
Rp 7.000 (murah banget yaa! Coba kalau di Jakarta). Nasi bakarnya enak, tapi
karena khas Yogya yang segalanya manis.. hanya tiga suap aku bertahan,
selebihnya eneg. Beginilah sulitnya
hidup di Yogya bagiku (yang terbiasa makan pedas, karena darah Minang dari
Bapak). Mamanya Risti yang bergaya hidup sehat membeli sayur-sayuran rebus, di
antaranya ada daun kecipir dan bayam. Beliau membujukku untuk makan
sayur-sayuran itu, tapi aku menolak. Ya ampuun… siksaan lain setelah makanan
manis adalah lalap-lalapan aneh/ daun rebusan. Susah banget gaya hidupku! Hahaha…
Setelah sarapan, aku diajak
mereka ke Pasar Tiban (semacam pasar kagetan) yang terletak di depan rumah
Risti. Sekali lagi, Mamanya Risti bertingkah lucu. Beliau memamerkan aneka
benda aneh yang ada di pasar itu padaku. Salah satunya adalah ikan teri Yogya. Ikan
itu masih segar dan basah, kecil-kecil dan banyak. Aku bilang pada Mamanya
Risti bahwa itu adalah teri Medan yang belum dikeringkan, kalau di Jakarta.
Tapi Mamanya Risti bersikukuh bahwa itu berbeda dengan teri Medan yang
kumaksud. Itu adalah teri Yogya. Dan aku dengan kebingunganku bertanya, “Tahu
dari mana, Bu, kalau itu teri Yogya? Adakah capnya?”.
Seketika Mamanya Risti tersenyum
diam, dan aku pun tersenyum. Yaa… sepertinya kami menyadari kekonyolan kami
(atau hanya aku? Hahahaha). Setelah dibelikan penganan kelamud , biskuit better
dan kacang bulu/monyet (kacang kedelai rebus) 2 ikat kami pun pulang. Aku dan
Risti bersiap untuk pergi ke Candi Prambanan (tujuan utamaku ke Yogya, karena
seumur hidup aku belum pernah ke Candi). Sekitar pukul 08.00 WIB kami pun
berangkat dengan motor Ristina. Aku dibonceng tentu saja! Sepanjang perjalanan
aku terkesan sekali dengan jalanan di Yogya. Kenapa? Karena tidak ada MACET! Subhanallah..
lancar jaya kayak jalan tol. Mataku pun dimanjakan dengan sawah yang terhampar
luas dan hijau. Saking senangnya aku sempat berteriak “Jalanan guee niih!!”
Hahaa… sedikit gila, yes. Satu jam perjalanan hingga tibalah
kami di Candi Prambanan. Untuk tiket masuknya kami harus membayar Rp
30.000/orang. Sebenarnya, kami ditawarkan untuk mengambil paket Candi
Prambanan- Candi Ratu Boko seharga Rp 45.000, namun melihat jauhnya perjalanan
dan teriknya matahari yang semangat menyambut kami… aku memutuskan cukup Candi
Prambanan saja (hahahah…alasan utamanya sih capek jalan!). Sesi menikmati Candi
Prambanan dan foto-foto dengan gaya kece pun dimulai. Ristina sudah lengkap
membawa amunisi berupa kacamata dan topi, ditambah kain batik dari Candi
Prambanan yang gratis untuk diikat di pinggang. Cantiklah sudah. Kami pun
bergantian menjadi model di tiap view yang kami anggap fotogenik & keren. Di
Candi Prambanan, kami menemukan banyak bule yang sedang diwawancarai anak-anak
sekolah. Semacam practice speaking
english. Waah… keren banget ya arek Yogya. Percaya dirinya tinggi, aku jadi
malu. Aku Cuma iseng-iseng doang menggumam “Hello
Mister, are you single?”. Tidak berani nyamperin langsung ke orang bulenya.
Dan Risti hanya tertawa melihat tingkahku. Dikiranya aku badut apa? Diketawain melulu,
eh.
Gaya di Candi Prambanan, Yes, Finally! |
Kami hanya bertahan hingga pukul
12.00 WIB. Setelah itu kami menuju Yogya kota untuk mencari tempat makan siang.
Akhirnya kami pun memutuskan untuk makan di Raminten. Kami tiba pukul 13.00 WIB
dan alhamdulillah ada tempat kosong untuk dua orang. Padahal hari itu sedang
penuh-penuhnya hingga waiting list. Rejeki
memang tidak ke mana.. hehehe. Saking penuhnya, pesanan kami pun agak lama
diantarkan. Kira-kira satu jam ( pukul 14.00 WIB) pesanan kami pun datang. Dan woow…
porsinya tak tanggung-tanggung dengan harga yang sangat terjangkau. Recommended
banget deh! Rasanya pun enak, tempatnya juga tertata apik (hanya saja bagi yang
tidak kuat dengan aroma-aroma dupa/bebungaan, saya tidak sarankan!).
Setelah puas makan, sekitar pukul
15.00 WIB kami pun berangkat ke tujuan berikutnya, yakni Myoozik Café. Menantikan
talkshow “Ngopi sore bersama Dee”, yang merupakan rangkaian acara Bentang
Festival (Best Fest 2013). Menarik sekali menyimak apa yang dituturkan sang
penulis best seller yang karyanya sudah banyak difilmkan ini. Beliau sangat
rendah hati, murah senyum dan tidak pelit ilmu. Di tengah acara, kami
mendapatkan kejutan bertemu dengan teman Klub Buku bagian Yogya dan Malang
(Mamet dan Irvan). Dan saya pun salah tingkah, karena ehem… itu kan lelaki yaa…
dan ada yang saya takuti, si Irvan. Hahahaha… saya takut gitu dengan arek
malang satu ini, padahal anaknya sih kurus, kecil, tapi tahu dah kenapa.
Talkshow bersama Dee |
Talkshow berakhir menjelang
maghrib, kemudian hujan pun turun. Aku dan Ristina bergegas masuk ke dalam
Myoozik Café (sebelumnya kami ada di beranda tamannya) untuk berlindung dari
hujan. Sembari menunggu Mamet dan Irvan yang mengambil tas ke kost-an, kami pun
bercengkerama ditemani segelas minuman ala Myoozik Café. Tak tahan lama
menunggu Mamet dan Irvan, kami pun
bergegas ke Geronimo Café (letaknyamasih satu komplek dengan Myoozik Café)
untuk melihat talkshow bersama Sudjiwo Tejo. Acara ini pun masih merupakan
rangkaian akhir Best Fest dan dimulai pukul 19.00 WIB. Di Geronimo Café, kami
mendapat kejutan kembali. Ada teman Klub Buku dari Jakarta yang sudah stand by
di dalam Café, yaitu Ray (cewek macho, eh). Ternyata Ray adalah pengagum berat
Pakde Sudjiwo Tejo. Sungguh pucuk dicinta, ulam pun tiba! Pakde datang dan
langsung duduk di meja samping kami. Sehingga sangat dekat sekali dengan kami,
dan kami merasa seperti tamu ekslusif di café itu.. hahahah. Pakde mau mengulas
buku terbarunya yang berjudul “Lupa Endonesa” yang diterbitkan oleh Bentang.
Ray yang sudah ngebet banget pengen foto dengan Pakde pun akhirnya memberanikan
diri untuk meminta ijin sebelum Pakde menuju panggung. Tak lama Mamet dan Irvan
pun datang, mereka juga berfoto dengan Pakde. Hanya aku yang tak berfoto,
kenapa? Karena aku takut. Pakde tampangnya galak.. hiks.
Aku yang tak begitu mengerti
dengan buku dan gaya kelakar Pakde hanya bertahan sampai pukul 20.30 WIB. Itu pun
tidak menyimak, aku malah asyik makan spagethi dan pepaya yang dibawakan Mamet
si juragan pepaya. Pukul 21.00 kami pun bergegas keluar dan menyempatkan
membeli buku di stand Bentang yang berlimpah ruah diskon dan buku-buku keren. Selanjutnya
kami bergegas ke Kopi Joss di Malioboro. Aku, Ristina dan Ray bonceng bertiga,
sedangkan Mamet dan Irvan bemesraan dengan vespa tak berlampu yang memiliki
lampu sen tangan (tangan Irvan… hahahah).
Menikmati pepaya dari Mamet bersama Risti dan Ray |
Sesampainya kami di Kopi Joss,
kami pun langsung memesan. Aku memesan Indomie telor, dan yang memesan kopi
joss hanya Irvan dan Ray. Tapiii… tanpa sepengetahuan dan bertanya padaku,
Mamet mengganti menu pesananku dengan nasi kucing, dikarenakan indomienya tidak
ada. Ya ampuun… aku kan… ga doyan nasi kucing, manis pula, gada lauknya. Hadeehh…
terpaksalah kumakan itu nasi kucing sambil melotot ganas ke Mamet, tapi yang
dipelototin ga nyadar salah, dasaarr bocah! Yoweslah… sampai habis aku minum
dua gelas air putih hangat. Oiya, harganya pun murah Rp 2.000 kalau tak salah
ingat. Yaa… di Yogya serba muraah…
Oiya, ada juga hal lucu, saking
gelapnya dan agak remang.. aku tak tahu kalau kopi joss itu adalah kopi dengan
arang hitam yang dicemplungkan. Aku iseng melihat-lihat dan sekilas arang itu
tampak seperti oreo. Hampir saja aku mau menggigitnya, untung nanya dulu ke
mereka.. apa maksudnya kopi joss, hahahah. Sekitar pukul 22.00 WIB kami pun
kembali ke tempat peristirahatan masing-masing. What a wonderful day! Bertemu dengan
teman-teman baru dan orang-orang hebat. GREAT VACATION! Alhamdulillah…
No comments:
Post a Comment