Pages

17 October, 2013

Memilih pasangan

Kira-kira bagaimana yang orang yang paling tepat untuk kondisi kita? Orang yang paling bisa membawa kita menuju kebaikan dan perbaikan. Usia terus berjalan, pertanyaan itu masih belum terjawab. Rindu kian memuncak, mimpi telah terajut indah. Kesempatan masih belum datang, atau justru telah lewat karena kita yang tak peka? Terlalu pemilihkah?

Karir pun ditata mulai sekarang. Pengalaman, gelar, harta, kesiapan, semuanya kian dipupuk. Meningkat dan terus meningkat, tapi ternyata Allah belum berkehendak. Kriteria ditetapkan, usia berjalan lalu diturunkan, akhirnya berakhir pada kepasrahan.

Apakah sejak awal kita yang terlalu memaksakan?
Atau kita terlalu “tinggi” hingga sulit didapatkan?
Mengapa sampai sekarang Allah masih belum berkehendak?
Mengapa kita masih berada pada ujian yang sama, ujian penantian?

Pada akhirnya ada seseorang yang memberi harapan. Palsu atau tidak, kita kian tak peduli. Karena yang terpenting harapan itu masih ada. Ia datang dan memupuk mimpi baru menuju gerbang pernikahan. Diskusi demi diskusi sudah menuju konklusi. Yaa… kita siap melangkah bersama. Tapi apalah daya, waktu semakin berjalan dan hanya diskusi yang terus dilakukan.

Angan kian melambung, hati makin terjerumus, akal kian membuta, usia kesuburan pun semakin berkurang. Ingin melepaskan tapi tak sanggup. Padahal kesempatan melangkah terus berdatangan dengan tawaran yang lebih konkrit. Akhirnya kita mengalah pada rasa dan harapan semu yang kita bangun sendiri.

Lalu bagaimana ketika tak ada juga yang hadir atau sekadar memberi harapan?

Kadang kita mengubah kelakuan. Berusaha tampil menarik dan memikat dia yang entah siapa. Bersikap lebih manja dan tak lagi tampil elegan karena kebablasan. Topeng pun menjadi perubahan kepribadian kita menjemput pernikahan. Bukan perubahan dalam kebaikan, melainkan menjadi seseorang yang baru dan tak lagi anggun sebagai seorang wanita. Standar pun diturunkan dengan menurunkan pula kualitas kepribadian kita, berharap ia datang dengan segera.

Akhirnya harapan itu terkabul, ia yang datang seadanya karena standar diri kita pun diturunkan seadanya. Lalu masih proteskah kita?

Kita sebagai perempuan punya usia kesuburan yang mahal harganya dan banyak pria yang tak bisa menghargai hal ini dengan memberi harapan palsu tanpa berani bertanggung jawab atas hati yang telah terjerumus. Mengulur dan terus mengulur hingga akhirnya semua dibatalkan. Banyak juga pria yang akhirnya menyadari akan hal ini tapi justru memilih yang lebih muda dan bukan kita. Kandas hingga hampir putus asa dengan semua pemikiran tersebut, tapi itulah realita yang harus kita terima.
Teringat janji Allah bahwa akan ada ia yang baik untuk kita yang baik. Jika saat ini kita sedang sibuk dalam kebaikan, ia pun demikian. Dan jika sebaliknya, maka keadaan pun tak akan jauh berbeda terhadap dirinya.

Kenapa kita tak sibukkan diri dengan merancang visi dan misi melalui kebaikan yang bisa kita lakukan sekarang?

Berangkat dari sana, kita jadi memahami kebutuhan kita tentang pasangan. Bisa jadi Allah belum berkehendak karena melihat kita yang bingung tentang pendamping seperti apa yang kita inginkan. Allah tak semata mengutus pendamping itu ketika kita sendiri tidak tahu ingin yang seperti apa. Bukan “nerimo” yang Allah inginkan dari kita tentang pasangan, tapi ada sebuah visi besar bernama kebaikan. Itulah mengapa janji Allah memberikan yang baik bagi kita yang baik, karena Allah tak ingin memberikan yang seadanya. Adakah kita menyadarinya, ternyata kepasrahan perlu ada beriringan dengan usaha yang kita lakukan?

Ujian dalam penantian itu pasti. Tapi ada hal lain yang harus disadari, bahwa pernikahan itu bukanlah tujuan akhir atau awal perjuangan. Justru ia adalah proses setengah perjuangan menuju perjuangan selanjutnya. Ia tidak selalu manis atau sesuai mimpi kita saat ini. Ada kalanya ia melenceng jauh dan mempertanyakan kesiapan kita kembali dalam menghadapinya. Bagi yang tidak siap, maka rumah tangga pun tak lagi seperti surga yang diimpikan. Menikah itu perlu ilmu yang tidak hanya sekadar menghadapi malam pertama tapi juga malam-malam dan hari-hari selanjutnya.

Adakah kita benar-benar siap hingga kadang meminta dengan memaksa tanpa kita sadari?


*Materi Pernikahan Islami oleh Kak Nurul, yang sudah mengalami dan berdasarkan curhat orang-orang kepadanya. Melalui dunia virtual, nasihat-menasihati yang meluruskan kembali niat kami. Terima kasih banyak Kak Nurul. Semoga suami, kakak dan dede di perut sehat selalu (peluKiss)*   

No comments:

Post a Comment

Text Widget