Kira-kira bagaimana yang orang yang paling tepat untuk
kondisi kita? Orang yang paling bisa membawa kita menuju kebaikan dan
perbaikan. Usia terus berjalan, pertanyaan itu masih belum terjawab. Rindu kian
memuncak, mimpi telah terajut indah. Kesempatan masih belum datang, atau justru
telah lewat karena kita yang tak peka? Terlalu pemilihkah?
Karir pun ditata mulai sekarang. Pengalaman, gelar, harta,
kesiapan, semuanya kian dipupuk. Meningkat dan terus meningkat, tapi ternyata
Allah belum berkehendak. Kriteria ditetapkan, usia berjalan lalu diturunkan,
akhirnya berakhir pada kepasrahan.
Apakah sejak awal kita yang terlalu memaksakan?
Atau kita terlalu “tinggi” hingga sulit didapatkan?
Mengapa sampai sekarang Allah masih belum berkehendak?
Mengapa kita masih berada pada ujian yang sama, ujian
penantian?
Pada akhirnya ada seseorang yang memberi harapan. Palsu atau
tidak, kita kian tak peduli. Karena yang terpenting harapan itu masih ada. Ia
datang dan memupuk mimpi baru menuju gerbang pernikahan. Diskusi demi diskusi
sudah menuju konklusi. Yaa… kita siap melangkah bersama. Tapi apalah daya,
waktu semakin berjalan dan hanya diskusi yang terus dilakukan.
Angan kian melambung, hati makin terjerumus, akal kian
membuta, usia kesuburan pun semakin berkurang. Ingin melepaskan tapi tak
sanggup. Padahal kesempatan melangkah terus berdatangan dengan tawaran yang
lebih konkrit. Akhirnya kita mengalah pada rasa dan harapan semu yang kita
bangun sendiri.
Lalu bagaimana ketika tak ada juga yang hadir atau sekadar
memberi harapan?
Kadang kita mengubah kelakuan. Berusaha tampil menarik dan
memikat dia yang entah siapa. Bersikap lebih manja dan tak lagi tampil elegan
karena kebablasan. Topeng pun menjadi perubahan kepribadian kita menjemput
pernikahan. Bukan perubahan dalam kebaikan, melainkan menjadi seseorang yang
baru dan tak lagi anggun sebagai seorang wanita. Standar pun diturunkan dengan
menurunkan pula kualitas kepribadian kita, berharap ia datang dengan segera.
Akhirnya harapan itu terkabul, ia yang datang seadanya
karena standar diri kita pun diturunkan seadanya. Lalu masih proteskah kita?
Kita sebagai perempuan punya usia kesuburan yang mahal
harganya dan banyak pria yang tak bisa menghargai hal ini dengan memberi
harapan palsu tanpa berani bertanggung jawab atas hati yang telah terjerumus.
Mengulur dan terus mengulur hingga akhirnya semua dibatalkan. Banyak juga pria
yang akhirnya menyadari akan hal ini tapi justru memilih yang lebih muda dan
bukan kita. Kandas hingga hampir putus asa dengan semua pemikiran tersebut,
tapi itulah realita yang harus kita terima.
Teringat janji Allah bahwa akan ada ia yang baik untuk kita
yang baik. Jika saat ini kita sedang sibuk dalam kebaikan, ia pun demikian. Dan
jika sebaliknya, maka keadaan pun tak akan jauh berbeda terhadap dirinya.
Kenapa kita tak sibukkan diri dengan merancang visi dan misi
melalui kebaikan yang bisa kita lakukan sekarang?
Berangkat dari sana, kita jadi memahami kebutuhan kita
tentang pasangan. Bisa jadi Allah belum berkehendak karena melihat kita yang
bingung tentang pendamping seperti apa yang kita inginkan. Allah tak semata
mengutus pendamping itu ketika kita sendiri tidak tahu ingin yang seperti apa.
Bukan “nerimo” yang Allah inginkan dari kita tentang pasangan, tapi ada sebuah
visi besar bernama kebaikan. Itulah mengapa janji Allah memberikan yang baik
bagi kita yang baik, karena Allah tak ingin memberikan yang seadanya. Adakah
kita menyadarinya, ternyata kepasrahan perlu ada beriringan dengan usaha yang
kita lakukan?
Ujian dalam penantian itu pasti. Tapi ada hal lain yang
harus disadari, bahwa pernikahan itu bukanlah tujuan akhir atau awal
perjuangan. Justru ia adalah proses setengah perjuangan menuju perjuangan
selanjutnya. Ia tidak selalu manis atau sesuai mimpi kita saat ini. Ada kalanya
ia melenceng jauh dan mempertanyakan kesiapan kita kembali dalam menghadapinya.
Bagi yang tidak siap, maka rumah tangga pun tak lagi seperti surga yang
diimpikan. Menikah itu perlu ilmu yang tidak hanya sekadar menghadapi malam
pertama tapi juga malam-malam dan hari-hari selanjutnya.
Adakah kita benar-benar siap hingga kadang meminta dengan
memaksa tanpa kita sadari?
*Materi Pernikahan Islami oleh Kak Nurul, yang sudah
mengalami dan berdasarkan curhat orang-orang kepadanya. Melalui dunia virtual,
nasihat-menasihati yang meluruskan kembali niat kami. Terima kasih banyak Kak
Nurul. Semoga suami, kakak dan dede di perut sehat selalu (peluKiss)*
No comments:
Post a Comment