Jakarta |
Prameswari
menjejakkan kakinya di Terminal Rawamangun. Kota ini masih sama seperti kali
terakhir ia tinggalkan. Ternyata lima tahun tetap saja tidak membuat wajah kota
ini berubah. Hanya semakin sesak dengan manusia-manusia dan pembangunan
mall-mall yang menghabiskan lahan. Hal itu ia amati sepanjang perjalanannya.
Sengaja ia memilih duduk di pojok bus, agar dapat mengintip dari kaca.
Panas. Ia
menyeka peluh di dahinya. Sudah setengah jam ia menunggu sejak kali pertama ia
turun dari Bus DAMRI yang mengantarnya ke terminal ini. Sepupu yang seharusnya
sudah menjemput belum tampak juga batang hidungnya. Prameswari mulai resah. Ia
tak suka dengan kesendirian. Terlebih di kota ini. Kota yang menyulut banyak
kenangan baginya.
Pernahkah kau
merasakan perasaan kuat akan sebuah kota, karena seseorang yang tinggal di kota
tersebut. Setiap sudut kota itu, jejak kaki di kota itu, selalu mengingatkanmu
akan diri orang tersebut. Walaupun mungkin, orang tersebut sudah tidak tinggal
di kota itu lagi. Namun kenangannya melekat tajam di otakmu. Seakan kota itu
menjelma dia. Udara kota itu adalah nafasnya, membuatmu sesak. Bahkan mendengar
nama kota itu saja, segera menyeretmu ke alam pikiran kenangan. Membanjiri
otakmu dengan masa lalu yang pernah singgah di hati. Tempat-tempat istimewa
yang ada di kota itu - bahkan seringkali merupakan destinasi wisata - semakin mengorek luka.
Itulah yang tengah dirasakan
wanita seperempat abad tersebut. Wajahnya yang bulat - khas wanita jawa –
dengan kulit licin kuning langsat dan mata milik penari bali mempertegas
kecantikannya yang sendu. Yaa.. ia selalu merasa sendu bila harus menginjakkan
kaki di ibu kota yang dikenal lebih kejam dari ibu tiri ini. Mengingatkannya
pada semua kenangan tentang lelaki itu. Lelaki yang tak berjodoh dengannya.
“Prameswari,
sudah lama kamu di sini?” Sesosok perempuan berjilbab stylish - model hijabers masa kini – menegurnya. Ia adalah Ratna,
sepupu yang ditunggunya sedari tadi.
“Sudah
hampir gosong aku di sini, Rat? Kowe1
ke mana saja, toh?”
Ratna terbahak
mendengarnya. Tentu saja ia tahu, Prameswari tidak akan marah. Wanita itu
adalah wanita tersabar yang pernah dikenalnya. Ratna lalu memeluk dan mencium
pipi kanan-kiri sepupunya tersebut. Prameswari menyambut pelukan itu dengan
hangat. Rindu.
“Kangen banget
aku sama kamu, Prameswari! Lima tahun gak ada kabar, menyepi ke mana kamu?”
“Boleh ndak ceritanya nanti saja? Aku udah
kepanasan, Rat.” Prameswari tersenyum.
“Duuh.. maaf ya
nona putri, aku sing lupa kowe udah lama nunggunya. Yuk, kita ke
parkiran. Motorku diparkir di seberang. Malas mutar-mutar ke sini. Hehehe.”
Kedua wanita itu
pun melenggang pergi.
***
Nyatanya,
Prameswari tidak dapat bercerita langsung pada Ratna mengenai kepergiannya lima
tahun lalu dari Jakarta. Sesampainya di rumah Ratna, sudah banyak tetua dan
saudara yang hadir dan menyambut Prameswari. Mereka semua nampak rindu pada
wanita berambut hitam sepinggang itu. Terutama Bu Lik Sri, yang sudah menganggapnya sebagai anak sendiri. Bu Lik adalah
orang yang sangat berjasa bagi Prameswari. Ia yang membiayai kuliah Prameswari di
Jakarta, mengambil alih tugas orang tuanya yang meninggal karena kecelakaan di
Solo. Kepindahannya dari Solo untuk
kuliah selama empat tahun di Jakarta merupakan sebuah keputusan besar dan sulit
bagi Prameswari remaja. Namun ia tidak pernah menyesalinya, pun dampak yang
ditimbulkan dari kepindahan itu. Mengenal lelaki itu. Lelaki yang tak pernah
berani ia ucapkan namanya, karena hatinya yang tak mampu dan kelu mendengarnya.
“Alhamdulillah..
kamu datang, Prameswari! Sulit sekali menghubungimu. Untunglah Ratna menemukan
namamu di buku yang kau tulis dan berinisiatif mengirimimu email undangan
pernikahannya ke email redaksimu. Bu Lik rindu sekali padamu, Prameswari! Kamu
makin cantik seperti almarhumah ibumu.” Mata bu lik berkaca-kaca saat
mengatakannya. Terkenang lagi akan kakak kandungnya yang cantik dan baik hati,
namun tak berumur panjang. Segala sifat hingga wajahnya terwariskan pada
Prameswari.
Begitulah,
suasana mengharu biru karena kehadiran Prameswari. Namun itu tak lama, karena
mereka harus bergegas mempersiapkan pernikahan Ratna yang tinggal dua hari
lagi. Yaa.. itulah alasan utama Prameswari kembali ke Jakarta, kota yang sempat
dicintai sekaligus dibencinya. Ratna adalah sepupu terbaik, sifat baiknya
kemungkinan besar berasal dari ibunya, Bu Lik Sri.
***
Siang
ini Prameswari ditugaskan menemani Rezqy mengambil pesanan baju seragam
pernikahan di Blok A, Tanah Abang. Sepanjang perjalanan – dibonceng Rezqy naik
motor – Prameswari termenung. Kenangannya akan lelaki itu perlahan-lahan
kembali tersibak. Melewati jalan pramuka, Prameswari ingat, ia pernah makan
nasi uduk kebon kacang di seberang kampus Universitas Negeri Jakarta bersama
teman-temannya dan lelaki itu. Kala itu Prameswari baru saja mengenalnya dari
teman dekatnya di kampus. Belum ada rasa tertarik sedikit pun pada lelaki itu.
Lalu
di jembatan matraman, menoleh ke kiri, Prameswari ingat pertemuan – tak sengaja
- kedua dengan lelaki itu di Gramedia Matraman. Baik Prameswari atau pun lelaki
itu sendirian. Lelaki itu yang pertama mengenali Prameswari. Dia bilang wajah
dan rambut panjang Prameswari membuatnya mudah dikenali, karena sudah jarang
wanita di Jakarta yang membiarkan rambutnya sepanjang Prameswari. Mereka
menghabiskan waktu berbincang tentang buku kesukaan masing-masing di kafe
Dunkin Donuts, lantai bawah Gramedia. Mulai ada rasa yang berbeda tentang
lelaki itu.
Saat
melewati kampus Universitas Indonesia Salemba yang bersebelahan dengan Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo, Prameswari
mengenang pertemuan ketiga – sekaligus pertemuan pertama yang direncanakan oleh
mereka berdua – di mana lelaki itu membantunya mengambil objek-objek foto bagus
mengenai campus scene, panning shoot dan
focus untuk tugas mata kuliah
dasar-dasar fotografinya. Prameswari semakin terpesona akan kelihaian lelaki
itu memainkan kamera SLR analog dan DSLR Nikonnya. Jepret sana-sini, menenteng
tripod ke sana-ke mari. Lalu mencetaknya di Kodak, yang terletak berseberangan
dari kampus itu. Menjorok sedikit ke dalam. Menunggu hasil cetakan dan tertawa
puas mendapatkan hasil yang di luar perkiraannya. Rasa itu mulai menguat di
dalam dada Prameswari. Memaksa Prameswari membuatkan sebuah ruang khusus lelaki
itu di hatinya.
Lampu
merah Senen yang lama dan selalu membuat macet, memicu omelan kecil Rezqy.
Namun tidak bagi Prameswari. Ia sedang mengamati mall Atrium. Tempat lelaki itu
“menembaknya”, setelah beberapa pertemuan dan komunikasi yang intens. Beralasan
mengajak makan mie ramen yang belum pernah dicoba oleh lidah Prameswari,
ternyata itu adalah strategi lelaki itu memerangkap hati Prameswari. Dengan
kepasrahan total dan kesadaran penuh, Prameswari menerima menjadi tawanan hati
lelaki itu.
Motor
yang dilajukan Rezqy melewati balai kota, PERPUSNAS dan MONAS. Sesuatu
menyeruak tajam dalam dada Prameswari. Tempat ini semakin menguatkan rasa itu.
Sakit. Bebrapa memang kenangan manis, namun puncaknya adalah rasa sakit. Tepat
di puncak MONAS, lelaki itu mengucapkan kata perpisahan, setelah tiga tahun
menjalani hubungan yang terbilang harmonis di mata orang yang melihatnya. Tidak
ada masalah apa pun di antara mereka. Namun kata “putus” itu harus terlontar
dari mulut kekasih yang dicintainya sepenuh hati. Alasannya… lelaki itu sudah
dijodohkan dengan gadis di kampungnya. Darah kental Sumatera Barat, melarang
lelaki itu memilih calon pendamping hidup selain gadis suku Minangkabau. Hati
Prameswari hancur. Itulah sebab ia melarikan diri setelah mencapai gelar
sarjananya. Ia menyepi di Bali dan menuliskan kisahnya ke beberapa buku dan
cerpen. Itu sudah terjadi lima tahun lalu, namun semua terasa seperti baru saja
terjadi kemarin. Inilah alasan kuat Prameswari tak ingin lagi menginjakkan kaki
di Jakarta, kota yang melambungkan asanya setinggi langit kemudian
menyurukkannya ke dasar bumi. Kejam.
“Mbak,
turun yuk! Sudah sampai nih. Kok diam aja dari tadi aku boncengin, sih? Ada yang
dipikirin ya?” Suara Rezqy membuyarkan lamunan Prameswari.
“Hahaa..
gak ada kok. Yuk ambil pesanannya. Lantai berapa?”
***
Ratna
begitu bahagia, senyumnya terpajang sedari bangun tidur. Tentu saja, ini adalah
hari yang sangat dinantikannya. Ia menjadi ratu sehari, didampingi raja yang
merupakan teman SMAnya dahulu. Tiada yang bisa menerka kita akan berjodoh
dengan siapa. Jodoh itu jorok, bisa
ditemui di mana saja. Prameswari tersenyum mengingat kalimat di salah satu
buku yang pernah ia baca tersebut. Saat ia sedang menikmati prosesi pedang
pora, tiba-tiba matanya tertuju pada satu titik. Lelaki itu! Ia hadir di pesta pernikahan Ratna. Apakah ia teman
dari mempelai lelaki?
Lelaki
itu bertemu titik pandang dengan Prameswari. Tampak rona terkejut sesaat
sebelum ia mampu menguasai dirinya lagi. Lelaki itu berjalan lurus ke arah
Prameswari.
Prameswari
merasa dunianya akan runtuh. Ia tidak siap. Ia tidak siap bertemu, terlebih
dalam kondisi seperti ini.
Sepuluh langkah
lagi.
Tiba-tiba
Rezqy menarik lengan lelaki itu dan menariknya ke arah Prameswari.
“Nah,
ini Da yang mau aku kenalin. Mbak Prameswari, penulis ‘Ketika Cinta Berpulang’
yang akan difilmkan sebentar lagi. Dia ini saudaraku. Oh iya, Mbak, ini uda..
kakak iparku yang suka sekali dengan buku, Mbak…. Dan… bla… blaa…”
Suara
Rezqy tertelan hitam. Seketika dunia Prameswari seakan berputar dan ia tak
sadarkan diri.
***
Jadi, tetep gak berjodoh kan Ta??
ReplyDeleteAh,, jodoh itu jorok, bisa ditemui dimana saja.. :(