Pages

25 October, 2013

[Cerpen] Kota itu adalah kamu



Jakarta
Prameswari menjejakkan kakinya di Terminal Rawamangun. Kota ini masih sama seperti kali terakhir ia tinggalkan. Ternyata lima tahun tetap saja tidak membuat wajah kota ini berubah. Hanya semakin sesak dengan manusia-manusia dan pembangunan mall-mall yang menghabiskan lahan. Hal itu ia amati sepanjang perjalanannya. Sengaja ia memilih duduk di pojok bus, agar dapat mengintip dari kaca. 

Panas. Ia menyeka peluh di dahinya. Sudah setengah jam ia menunggu sejak kali pertama ia turun dari Bus DAMRI yang mengantarnya ke terminal ini. Sepupu yang seharusnya sudah menjemput belum tampak juga batang hidungnya. Prameswari mulai resah. Ia tak suka dengan kesendirian. Terlebih di kota ini. Kota yang menyulut banyak kenangan baginya.

Pernahkah kau merasakan perasaan kuat akan sebuah kota, karena seseorang yang tinggal di kota tersebut. Setiap sudut kota itu, jejak kaki di kota itu, selalu mengingatkanmu akan diri orang tersebut. Walaupun mungkin, orang tersebut sudah tidak tinggal di kota itu lagi. Namun kenangannya melekat tajam di otakmu. Seakan kota itu menjelma dia. Udara kota itu adalah nafasnya, membuatmu sesak. Bahkan mendengar nama kota itu saja, segera menyeretmu ke alam pikiran kenangan. Membanjiri otakmu dengan masa lalu yang pernah singgah di hati. Tempat-tempat istimewa yang ada di kota itu - bahkan seringkali merupakan destinasi wisata -  semakin mengorek luka.

Itulah yang tengah dirasakan wanita seperempat abad tersebut. Wajahnya yang bulat - khas wanita jawa – dengan kulit licin kuning langsat dan mata milik penari bali mempertegas kecantikannya yang sendu. Yaa.. ia selalu merasa sendu bila harus menginjakkan kaki di ibu kota yang dikenal lebih kejam dari ibu tiri ini. Mengingatkannya pada semua kenangan tentang lelaki itu. Lelaki yang tak berjodoh dengannya.

                “Prameswari, sudah lama kamu di sini?” Sesosok perempuan berjilbab stylish - model hijabers masa kini – menegurnya. Ia adalah Ratna, sepupu yang ditunggunya sedari tadi.
                “Sudah hampir gosong aku di sini, Rat? Kowe1 ke mana saja, toh?
Ratna terbahak mendengarnya. Tentu saja ia tahu, Prameswari tidak akan marah. Wanita itu adalah wanita tersabar yang pernah dikenalnya. Ratna lalu memeluk dan mencium pipi kanan-kiri sepupunya tersebut. Prameswari menyambut pelukan itu dengan hangat. Rindu.
“Kangen banget aku sama kamu, Prameswari! Lima tahun gak ada kabar, menyepi ke mana kamu?”
“Boleh ndak ceritanya nanti saja? Aku udah kepanasan, Rat.” Prameswari tersenyum.
“Duuh.. maaf ya nona putri, aku sing lupa kowe udah lama nunggunya. Yuk, kita ke parkiran. Motorku diparkir di seberang. Malas mutar-mutar ke sini. Hehehe.”
Kedua wanita itu pun melenggang pergi.
***
                Nyatanya, Prameswari tidak dapat bercerita langsung pada Ratna mengenai kepergiannya lima tahun lalu dari Jakarta. Sesampainya di rumah Ratna, sudah banyak tetua dan saudara yang hadir dan menyambut Prameswari. Mereka semua nampak rindu pada wanita berambut hitam sepinggang itu. Terutama Bu Lik Sri, yang sudah menganggapnya sebagai anak sendiri.  Bu Lik adalah orang yang sangat berjasa bagi Prameswari. Ia yang membiayai kuliah Prameswari di Jakarta, mengambil alih tugas orang tuanya yang meninggal karena kecelakaan di Solo.  Kepindahannya dari Solo untuk kuliah selama empat tahun di Jakarta merupakan sebuah keputusan besar dan sulit bagi Prameswari remaja. Namun ia tidak pernah menyesalinya, pun dampak yang ditimbulkan dari kepindahan itu. Mengenal lelaki itu. Lelaki yang tak pernah berani ia ucapkan namanya, karena hatinya yang tak mampu dan kelu mendengarnya.

                “Alhamdulillah.. kamu datang, Prameswari! Sulit sekali menghubungimu. Untunglah Ratna menemukan namamu di buku yang kau tulis dan berinisiatif mengirimimu email undangan pernikahannya ke email redaksimu. Bu Lik rindu sekali padamu, Prameswari! Kamu makin cantik seperti almarhumah ibumu.” Mata bu lik berkaca-kaca saat mengatakannya. Terkenang lagi akan kakak kandungnya yang cantik dan baik hati, namun tak berumur panjang. Segala sifat hingga wajahnya terwariskan pada Prameswari.

                Begitulah, suasana mengharu biru karena kehadiran Prameswari. Namun itu tak lama, karena mereka harus bergegas mempersiapkan pernikahan Ratna yang tinggal dua hari lagi. Yaa.. itulah alasan utama Prameswari kembali ke Jakarta, kota yang sempat dicintai sekaligus dibencinya. Ratna adalah sepupu terbaik, sifat baiknya kemungkinan besar berasal dari ibunya, Bu Lik Sri.
***
                Siang ini Prameswari ditugaskan menemani Rezqy mengambil pesanan baju seragam pernikahan di Blok A, Tanah Abang. Sepanjang perjalanan – dibonceng Rezqy naik motor – Prameswari termenung. Kenangannya akan lelaki itu perlahan-lahan kembali tersibak. Melewati jalan pramuka, Prameswari ingat, ia pernah makan nasi uduk kebon kacang di seberang kampus Universitas Negeri Jakarta bersama teman-temannya dan lelaki itu. Kala itu Prameswari baru saja mengenalnya dari teman dekatnya di kampus. Belum ada rasa tertarik sedikit pun pada lelaki itu. 

                Lalu di jembatan matraman, menoleh ke kiri, Prameswari ingat pertemuan – tak sengaja - kedua dengan lelaki itu di Gramedia Matraman. Baik Prameswari atau pun lelaki itu sendirian. Lelaki itu yang pertama mengenali Prameswari. Dia bilang wajah dan rambut panjang Prameswari membuatnya mudah dikenali, karena sudah jarang wanita di Jakarta yang membiarkan rambutnya sepanjang Prameswari. Mereka menghabiskan waktu berbincang tentang buku kesukaan masing-masing di kafe Dunkin Donuts, lantai bawah Gramedia. Mulai ada rasa yang berbeda tentang lelaki itu.

                Saat melewati kampus Universitas Indonesia Salemba yang bersebelahan dengan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,  Prameswari mengenang pertemuan ketiga – sekaligus pertemuan pertama yang direncanakan oleh mereka berdua – di mana lelaki itu membantunya mengambil objek-objek foto bagus mengenai campus scene, panning shoot dan focus untuk tugas mata kuliah dasar-dasar fotografinya. Prameswari semakin terpesona akan kelihaian lelaki itu memainkan kamera SLR analog dan DSLR Nikonnya. Jepret sana-sini, menenteng tripod ke sana-ke mari. Lalu mencetaknya di Kodak, yang terletak berseberangan dari kampus itu. Menjorok sedikit ke dalam. Menunggu hasil cetakan dan tertawa puas mendapatkan hasil yang di luar perkiraannya. Rasa itu mulai menguat di dalam dada Prameswari. Memaksa Prameswari membuatkan sebuah ruang khusus lelaki itu di hatinya.

                Lampu merah Senen yang lama dan selalu membuat macet, memicu omelan kecil Rezqy. Namun tidak bagi Prameswari. Ia sedang mengamati mall Atrium. Tempat lelaki itu “menembaknya”, setelah beberapa pertemuan dan komunikasi yang intens. Beralasan mengajak makan mie ramen yang belum pernah dicoba oleh lidah Prameswari, ternyata itu adalah strategi lelaki itu memerangkap hati Prameswari. Dengan kepasrahan total dan kesadaran penuh, Prameswari menerima menjadi tawanan hati lelaki itu.

                Motor yang dilajukan Rezqy melewati balai kota, PERPUSNAS dan MONAS. Sesuatu menyeruak tajam dalam dada Prameswari. Tempat ini semakin menguatkan rasa itu. Sakit. Bebrapa memang kenangan manis, namun puncaknya adalah rasa sakit. Tepat di puncak MONAS, lelaki itu mengucapkan kata perpisahan, setelah tiga tahun menjalani hubungan yang terbilang harmonis di mata orang yang melihatnya. Tidak ada masalah apa pun di antara mereka. Namun kata “putus” itu harus terlontar dari mulut kekasih yang dicintainya sepenuh hati. Alasannya… lelaki itu sudah dijodohkan dengan gadis di kampungnya. Darah kental Sumatera Barat, melarang lelaki itu memilih calon pendamping hidup selain gadis suku Minangkabau. Hati Prameswari hancur. Itulah sebab ia melarikan diri setelah mencapai gelar sarjananya. Ia menyepi di Bali dan menuliskan kisahnya ke beberapa buku dan cerpen. Itu sudah terjadi lima tahun lalu, namun semua terasa seperti baru saja terjadi kemarin. Inilah alasan kuat Prameswari tak ingin lagi menginjakkan kaki di Jakarta, kota yang melambungkan asanya setinggi langit kemudian menyurukkannya ke dasar bumi. Kejam.

                “Mbak, turun yuk! Sudah sampai nih. Kok diam aja dari tadi aku boncengin, sih? Ada yang dipikirin ya?” Suara Rezqy membuyarkan lamunan Prameswari. 

                “Hahaa.. gak ada kok. Yuk ambil pesanannya. Lantai berapa?”
***
                Ratna begitu bahagia, senyumnya terpajang sedari bangun tidur. Tentu saja, ini adalah hari yang sangat dinantikannya. Ia menjadi ratu sehari, didampingi raja yang merupakan teman SMAnya dahulu. Tiada yang bisa menerka kita akan berjodoh dengan siapa. Jodoh itu jorok, bisa ditemui di mana saja. Prameswari tersenyum mengingat kalimat di salah satu buku yang pernah ia baca tersebut. Saat ia sedang menikmati prosesi pedang pora, tiba-tiba matanya tertuju pada satu titik. Lelaki itu! Ia hadir di pesta pernikahan Ratna. Apakah ia teman dari mempelai lelaki? 

                Lelaki itu bertemu titik pandang dengan Prameswari. Tampak rona terkejut sesaat sebelum ia mampu menguasai dirinya lagi. Lelaki itu berjalan lurus ke arah Prameswari. 

                Prameswari merasa dunianya akan runtuh. Ia tidak siap. Ia tidak siap bertemu, terlebih dalam kondisi seperti ini.

                Sepuluh langkah lagi.

                Tiba-tiba Rezqy menarik lengan lelaki itu dan menariknya ke arah Prameswari.

                “Nah, ini Da yang mau aku kenalin. Mbak Prameswari, penulis ‘Ketika Cinta Berpulang’ yang akan difilmkan sebentar lagi. Dia ini saudaraku. Oh iya, Mbak, ini uda.. kakak iparku yang suka sekali dengan buku, Mbak…. Dan… bla… blaa…”

                Suara Rezqy tertelan hitam. Seketika dunia Prameswari seakan berputar dan ia tak sadarkan diri.
***

1 comment:

  1. Jadi, tetep gak berjodoh kan Ta??
    Ah,, jodoh itu jorok, bisa ditemui dimana saja.. :(

    ReplyDelete

Text Widget