Pages

23 October, 2013

[FF] 21.00



Sebuah motor keluaran Jepang kabur selepas menabrak seorang gadis. Korban terpental ke trotoar jalanan, dengan darah mengucur dari kepalanya. Tak jauh dari sang gadis, payungnya yang putih terperciki titik-titik merah darahnya. Malam berubah mencekam. Tiada seorang pun saksi mata, karena hujan yang mengguyur sedari sore, merayu setiap orang di kota ini untuk lebih memilih bergelut dengan kasurnya saja. Perlahan gadis itu menghembuskan napas terakhirnya dengan mata terbelalak ke arahku.

Aku di sini.

***
“Kamu pulang ke mana, Lea?”
“Ke rumah ibu di Bogor.”
“Sudah malam begini, tidak besok pagi saja?”
“Lebih enak perjalanan malam daripada pagi atau siang hari, hehee..”
“Ya sudah, hati-hati yaa. Aku duluan.”
“Ya, dadaah..”
“Daah..”

Beruntung sekali kereta tujuan Bogor tiba, bersamaan dengan langkah kakinya di peron dua Stasiun Sudirman. Lea segera menaiki kereta tersebut bersama penumpang lain yang melakoni nglaju setiap harinya. Wajah-wajah lelah seketika memenuhi kereta hingga tak tersisa ruang sedikit pun. Masing-masing sibuk dengan pikiran dan gadgetnya. Sama halnya dengan Lea. Ia asyik dengan pikirannya tentang Raga. Pria yang telah menyita perhatiannya sebulan belakangan. Pria sederhana dengan kejutan-kejutan kecilnya yang juga sederhana namun menyentuh hati Lea. Seperti kamis lalu, saat ulang tahunnya. Raga meneleponnya pukul 20.30 di kost-an.

“Halo..”
“Halo Le, kamu ada di kost-an?”
“Ya, baru saja sampai. Kenapa, Ga?”
“Aku mau ke kost-an kamu. Tunggu ya.”
“Oke.”

Pukul 21.00 Raga sampai di kost-annya. Pria itu hanya mampir sebentar, mengantarkan tiga tangkai mawar merah darah, sebuah jaket abu-abu yang terlipat rapi dan sebuah ucapan “Selamat Ulang Tahun, Lea”. Tiga hal yang membekas bagi Lea, sepanjang persahabatan mereka selama tujuh tahun terakhir. Raga tidak pernah berkata apapun tentang perasaannya. Namun Lea merasakan bahwa Raga memiliki rasa padanya.

“Selamat datang di Stasiun Cilebut. Perhatikan langkah Anda. Kereta tujuan Bogor segera berangkat berada di jalur 2.”

Suara speaker pemberitahuan membuyarkan lamunan Lea. Satu stasiun lagi. Lea bergegas menuju pintu keluar terdekat.
***
Aku selalu di sini.

Hujan menyambut Lea di stasiun Bogor. Gadis itu mengeluarkan payung putih pemberian ibunya. Lea bergegas menaiki angkot 03 tujuan Baranangsiang. Jam menunjukkan pukul 20.45 saat Lea tiba di tepi jalan untuk menunggu angkot selanjutnya.

Lea tidak pernah tahu perasaanku. Sudah enam bulan aku mengenalnya. Biasanya ia menemuiku setelah bekerja di akhir minggu, pukul 21.00. Tapi kali ini berbeda. Ia datang lebih cepat. Ini adalah kali terakhirnya kami bertemu. Ia sudah dijemput untuk pulang. Pulang yang tak pernah mengenal kata kembali.

Pukul 20.55, sebuah sepeda motor keluaran Jepang menabrak Lea hingga ia terpelanting begitu jauh dariku. Pengemudinya adalah seorang pemuda tak bertanggung jawab. Lari begitu saja. Tiada saksi mata seorang pun. Jalanan begitu sepi karena hujan yang memeluk kota. Aku hanya bisa diam menyaksikan hal ini. Kasus tabrak lari. Tidak ada seorang pun yang menolongnya. Ia sakaratul maut dengan cepat. Malaikat pencabut nyawa itu tersenyum padaku. Mengucapkan selamat tinggal dengan bahasa tubuhnya yang kukenal khas. Yaa… aku adalah saksi bisu sekian kasus tabrak lari. Tidak enak rasanya menjadi aku. Tahu begitu banyak, namun tidak dapat memberitahu. Ingin mencegah, namun tak bisa. Karena aku hanya sebuah lampu penyeberangan. Hanya dapat berkata “Hati-hati” melalu kedip warna kuning lampuku.

Pukul 21.00. Aku di sini. Patah hati. Ditinggalkan pujaan hatiku yang mati.
 *** 

meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget