Sebuah motor keluaran Jepang
kabur selepas menabrak seorang gadis. Korban terpental ke trotoar jalanan,
dengan darah mengucur dari kepalanya. Tak jauh dari sang gadis, payungnya yang
putih terperciki titik-titik merah darahnya. Malam berubah mencekam. Tiada
seorang pun saksi mata, karena hujan yang mengguyur sedari sore, merayu setiap
orang di kota ini untuk lebih memilih bergelut dengan kasurnya saja. Perlahan
gadis itu menghembuskan napas terakhirnya dengan mata terbelalak ke arahku.
Aku di sini.
***
“Kamu pulang ke mana, Lea?”
“Ke rumah ibu di Bogor.”
“Sudah malam begini, tidak besok
pagi saja?”
“Lebih enak perjalanan malam
daripada pagi atau siang hari, hehee..”
“Ya sudah, hati-hati yaa. Aku
duluan.”
“Ya, dadaah..”
“Daah..”
Beruntung sekali kereta tujuan
Bogor tiba, bersamaan dengan langkah kakinya di peron dua Stasiun Sudirman. Lea
segera menaiki kereta tersebut bersama penumpang lain yang melakoni nglaju setiap harinya. Wajah-wajah lelah
seketika memenuhi kereta hingga tak tersisa ruang sedikit pun. Masing-masing
sibuk dengan pikiran dan gadgetnya.
Sama halnya dengan Lea. Ia asyik dengan pikirannya tentang Raga. Pria yang
telah menyita perhatiannya sebulan belakangan. Pria sederhana dengan
kejutan-kejutan kecilnya yang juga sederhana namun menyentuh hati Lea. Seperti
kamis lalu, saat ulang tahunnya. Raga meneleponnya pukul 20.30 di kost-an.
“Halo..”
“Halo Le, kamu ada di kost-an?”
“Ya, baru saja sampai. Kenapa, Ga?”
“Aku mau ke kost-an kamu. Tunggu ya.”
“Oke.”
Pukul 21.00 Raga sampai di kost-annya. Pria itu hanya mampir sebentar,
mengantarkan tiga tangkai mawar merah darah, sebuah jaket abu-abu yang terlipat
rapi dan sebuah ucapan “Selamat Ulang Tahun, Lea”. Tiga hal yang membekas bagi
Lea, sepanjang persahabatan mereka selama tujuh tahun terakhir. Raga tidak
pernah berkata apapun tentang perasaannya. Namun Lea merasakan bahwa Raga
memiliki rasa padanya.
“Selamat datang di Stasiun
Cilebut. Perhatikan langkah Anda. Kereta tujuan Bogor segera berangkat berada
di jalur 2.”
Suara speaker pemberitahuan membuyarkan lamunan Lea. Satu stasiun lagi.
Lea bergegas menuju pintu keluar terdekat.
***
Aku selalu di sini.
Hujan menyambut Lea di stasiun
Bogor. Gadis itu mengeluarkan payung putih pemberian ibunya. Lea bergegas
menaiki angkot 03 tujuan Baranangsiang. Jam menunjukkan pukul 20.45 saat Lea
tiba di tepi jalan untuk menunggu angkot selanjutnya.
Lea tidak pernah tahu perasaanku.
Sudah enam bulan aku mengenalnya. Biasanya ia menemuiku setelah bekerja di
akhir minggu, pukul 21.00. Tapi kali ini berbeda. Ia datang lebih cepat. Ini
adalah kali terakhirnya kami bertemu. Ia sudah dijemput untuk pulang. Pulang
yang tak pernah mengenal kata kembali.
Pukul 20.55, sebuah sepeda motor
keluaran Jepang menabrak Lea hingga ia terpelanting begitu jauh dariku.
Pengemudinya adalah seorang pemuda tak bertanggung jawab. Lari begitu saja.
Tiada saksi mata seorang pun. Jalanan begitu sepi karena hujan yang memeluk
kota. Aku hanya bisa diam menyaksikan hal ini. Kasus tabrak lari. Tidak ada
seorang pun yang menolongnya. Ia sakaratul maut dengan cepat. Malaikat pencabut
nyawa itu tersenyum padaku. Mengucapkan selamat tinggal dengan bahasa tubuhnya
yang kukenal khas. Yaa… aku adalah saksi bisu sekian kasus tabrak lari. Tidak
enak rasanya menjadi aku. Tahu begitu banyak, namun tidak dapat memberitahu.
Ingin mencegah, namun tak bisa. Karena aku hanya sebuah lampu penyeberangan.
Hanya dapat berkata “Hati-hati” melalu kedip warna kuning lampuku.
Pukul 21.00. Aku di sini. Patah hati. Ditinggalkan pujaan hatiku yang
mati.
***
meta morfillah
No comments:
Post a Comment