Saat SMK saya agak membandel dengan pikiran dan ucapan saya. Mulai
menampakkan pemberontakan bila saya rasa itu tidak penting atau benar.
Contoh kasus 1:
Saat pelajaran Fisika, kelas 1 oleh Pak Fauzi.
“Yaa… kerjakan soal nomor 1-5. Saya beri waktu 15 menit.”
“Pak, saya mau nanya!” saya mengacungkan jari.
Pak Fauzi menghampiri saya dengan tersenyum, “Yaa.. kamu mau
nanya apa, Meta?”
“Ini soal isinya tentang menghitung menara, tower dan
frekuensi komunikasi segala. Buat apa kita mempelajarinya, Pak? Gak kepake juga
di kehidupan sehari-hari. Memangnya dengan tahu tinggi menara, tower terus kita
bakal manjat? Lah kalau pun manjat, kan itu tugasnya anak transmisi, Pak! Buat anak
switching ini mah gak kepake.”
Pak Fauzi tersenyum, lalu menjawab dengan bijak.
“Memang tidak terasa keperluannya untukmu sekarang, Met. Tapi
kalau ilmu, kamu harus tahu, toh tidak ada ruginya kan kamu pelajari?”
“Iya sih, Pak. Tapi saya malas, gak ada gunanya bagi saya.”
Sambil tersenyum memaklumi, Pak Fauzi kembali berkata, “
Semoga kamu jadi guru fisika yang baik nanti ya, Met. Sekarang coba kerjakan
saja yang kamu bisa.”
Saya mengangguk, sembari bergumam “Siapa yang mau jadi guru. Issh…
ogah!”
Contoh kasus 2:
Saat pelajaran Bahasa Inggris, kelas 2 di sela mengerjakan
tugas dari Mam Etni (saya sudah selesai duluan).
“Mam, bosan ga sih jadi guru?”
“Kenapa kamu nanya gitu, Iska?” Yaa… sebagian guru
memanggil saya dengan nama depan saya, Iska.
“Habis ngeliat kerjaan guru, gitu-gitu aja… gak ada
update-an ilmu baru. Gak kayak di perusahaan. Ketemunya sama anak-anak yang
usianya di bawah Mam. Bosan kan, Mam?”
“Iyaa.. memang jadi guru itu stuck. Soalnya cuma itu-itu aja
yang diajarnya. Tapi kembali lagi ke gurunya, Iska. Kayak saya, bahas inggris
memang begitu aja.. tapi cara mengajarnya berbeda-beda ke tiap anak di tiap
kelas. Jadi itu menarik dan sebuah ilmu.”
Contoh kasus lainnya:
Saya tidak suka mengarang, tapi saya semakin jatuh cinta
pada dunia menulis dan membaca tentunya.
Saya tidak mau jadi guru, tapi saya masuk UNJ, kampus yang
terkenal mencetak guru. Lalu sekarang bergelar S.Pd.
Saya tidak mau jadi guru, tapi saya diterima bahkan
dibujuk-bujuk untuk mengajar selama dua tahun di sebuah homeschooling dan
memegang kelas 3 SD sampai 3 SMP. Di kelas 3 SMP saya bahkan menjadi wali
kelasnya. Mengisi rapot & bertanggung jawab atas mereka.
Saya tidak mau bekerja di perusahaan tempat magang saya
dahulu. Namun ternyata saya sekarang bekerja di sana, tanpa melewati proses
seleksi karyawan, langsung wawancara dan diterima oleh bosnya.
Lalu kembali ke masa kini, saya sedang merunut jalan hidup saya. Rasa-rasanya semua yang saya
alami adalah hal-hal yang saya ingin hindari namun malah melekat. Bahkan rasanya ini seperti kutukan. Maka,
boleh jadi saya membenci sesuatu, tapi sesuatu itu baik bagi saya. Ah yaa… itu
adalah firman pasti dari Tuhan, bukan kata-kata saya. Jadi, ada baiknya,
kembali menjaga lisan, tulisan, karena bisa jadi semua akan berbalik padamu. Siapa
yang tahu hati manusia, yang mudah berubah-ubah? Siapa yang tahu akan terjadi
esok?
Yang terpenting, hati-hati… jangan sampai bilang benci atau amit-amit
sama orang lain (nih penyakit jelek saya, kadang-kadang), siapa tahu nanti kamu
menikah sama dia. Hehehe…
Karena mulutmu, tulisanmu, adalah harimaumu (atau bisa jadi
kutukanmu!)
meta morfillah
No comments:
Post a Comment