“Datanglah, demi penghormatan
terhadap masa lalu kita.”
Kalimat gadis di hadapannya bagaikan
nyanyian kematian. Sepucuk undangan berwarna ungu dikombinasikan perak
menegaskan surat pengantar kematian hati pemuda itu. Desember. Penutup tahun
yang sungguh tepat dipilihnya. Segala kisah yang teramu ternyata berakhir
seperti ini. Desember datang dengan gontai, meranggaskan pucuk-pucuk harapan
dalam diri pemuda itu. Yang tersisa hanyalah keletihan yang tak mampu ia hadapi
sendiri, seakan hidup segan mati tak mau. Sementara bagi sang gadis, Desember
membawa pucuk yang akan bersemai dan berbunga. Balutan gaun pengantin nan
indah, para tamu yang bersulang demi kebahagiaannya, diiringi lagu “From this
moment” seperti yang dicitakan sang gadis.
“Kau akan datang, kan?”
“Aku belum tahu.”
“Aku sangat mengharapkan
kedatanganmu, Adri. Berbahagialah untukku.”
Undangan.
Haruskah ia berbahagia dan
menarikan tarian perayaan atas kematian hatinya? Tiba-tiba saja pemuda bernama Adri
itu mengagumi segala kehancuran yang tiba-tiba dibawakan gadis di hadapannya.
Desember seketika menjadi sebuah kotak hadiah yang berisikan zonk baginya. Semacam lelucon. Terdengar
koor kesedihan dari ruangan lain, yang berasal dari kepalanya. Ia terseret ke
dalamnya. Adri seakan berada di di sebuah gedung pertunjukan teater. Menjadi
penonton satu-satunya. Tarian itu lahir tanpa iringan musik. Gadis itu menjadi
pusatnya. Wajah berbinar bahagia. Senyum tak lepas dari bingkai wajahnya yang
sempurna. Senyum yang telah memikatnya dahulu. Senyum yang mampu menciptakan
ribuan kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya. Pemuda itu melihat sang gadis
berdiri menggandeng tangan seorang lelaki, yang seharusnya adalah dirinya,
namun bukanlah dirinya. Para tamu tertawa tanpa suara. Tiada yang mengindahkan kehadirannya.
Ada ataupun tiada dirinya, pertunjukan akan tetap berlangsung. Lalu ia keluar
dari gedung itu, disambut jalanan yang basah karena hujan. Ia berjalan dalam
diam, tanpa payung. Tubuhnya tidak basah, tapi hatinya hujan. Aah… siapa pun
harus tetap melangkah walau dalam diam. Keseimbangan hidup hanya akan terjadi
jika kita tetap melangkah. Seperti halnya bersepeda. Kita akan jatuh bila tak
melangkahkan kaki untuk mengayuh pedal. Bergerak.
Maka tergeraklah hatinya untuk
datang di 22 Desember, menghadiri perayaan kematian itu. Sang gadis tersenyum
hangat melihat kehadirannya. Menyangka semua usai dengan baik, tidak ada yang
perlu dicemaskan. Sementara bagi pemuda itu, waktu terhenti di tanggal 22
Desember. Ia tidak akan pernah menjadi pemuda yang sama lagi. Hingga akhir
hidupnya.
meta morfillah
No comments:
Post a Comment