Minggu, 13 Oktober 2013
20.50 WIB
Jadwalku pulang ke Bogor,
menjemput mama dan uda untuk merayakan lebaran Idul Adha di Jakarta. Sampai di
rumah setelah acara bincang buku, sudah agak larut. Mama membukakan pintu rumah
dengan gembira, bahkan sebelum aku selesai membuka pintu pagar. Rupanya beliau
mengenali suara khas gayaku ketika membuka pagar.
“Loh kok malam sampainya?” Mama
menegurku ketika aku mencium tangannya.
“Iya.. tadi aku ke acara bincang
buku dulu, Ma.”
“Kirain mama kamu datangnya sore.
Mama beliin rujak kangkung kesukaanmu, nungguin tapi mama habiskan tadi. Takut
keburu basi,”
Perhatiannya yang detail, tanpa
pernah kuucapkan apa kesukaanku membuatku terenyuh.
“Gak apa-apa Ma, tadi udah makan bakso sebelum pulang sama Haqi,”
Mama hanya mengangguk,
mengiringiku sampai ke kamar. Mengamatiku lamat-lamat saat aku meletakkan barang
bawaanku dan bergegas mengambil baju salin. Saat berbalik, aku menangkap
sesuatu yang tadinya tidak ada di tempat itu. Sebuah rok batik yang digantung,
aku mengenali coraknya.
“Ma.. rok siapa nih? Bahannya
kayak yang meta beli di Yogya deh,” sahutku kebingungan sembari meraba-raba
mengenali bahan rok tersebut.
“Iya, memang bahan batik yang
dari kamu. Tadinya mau buat surprise ulang tahun kamu. Mama jahit tangan
sendiri, dengan bahan seadanya. Nanti mama bagusin lagi di Tanah Abang, soalnya
di sini gak ada yang jual karet kolor sama kancing depannya.”
Jlebb… mamaku ini bukan tipe orang yang suka memberikan kejutan. Ini
sebuah langkah baru.. aku makin tersentuh.
“Cobain, Met. Pas gak ukurannya?”
Aku mencobanya, dan ternyata PAS.
“Alhamdulillah.. pas yaa… itu
mama ukur dari rok kamu yang pink bunga-bunga. Berarti tinggal dirapikan lagi
ya. Besok deh di Tanah Abang mama betulin.” Kata mama seraya mengelilingiku,
melihat hasil karyanya di badan anaknya ini.
“Berapa lama mama ngerjain rok
ini? Kan mama baru nyampe di sini.”
“Tiap pagi mama cicil
pelan-pelan. Gampang kok, gak pake potong-potong. Cuma mama jelujur-jelujur
aja. Gak pake pola segala,”
Alright… rasanya pengen nangis dengernya. Kamu tahu B, dengan
kondisi tangan mamaku yang bengkok karena remathoid
arthritis yang menyerang sendi dan
tulangnya, hal ini amatlah sulit. Membiarkan mama berdua uda yang disabilitas
saja aku tidak tega. Apalagi ditambah membuatkan ini-itu untukku. My allah…
bagaikan bumi dan langit. Mamaku yang tegar, sabar, jago menjahit, rapi,
bersih, jago memasak, dan hal lainnya. Perawat gigi yang telaten, PNS yang
telah pensiun dan ibu yang berkarir tanpa melupakan keluarga (suami dan
anaknya). Jarang aku mendengarnya mengeluh, hidupnya terlalu lurus. Hanya ada
Tuhan dan dia. Saklek. Tidak ada toleransi untuk kemalasan. Berbeda sekali
denganku yang selalu mencari alasan, lelah lah, kurang tidur lah, banyak
deadline lah, dan segudang alasan lainnya.
Mungkin aku anak yang paling melelahkan baginya. Karena aku jarang
berdiam di rumah dan sering mengeluh jika dipaksa mengurus pekerjaan rumah.
Tidak telaten dan huff…. Beda banget deh sama mama dan kakak.
Dengan kecerewetannya -yang
kadang membuatku ingin sekali menutup kuping- mama tetaplah mama terbaik
untukku. Sedikit egois aku ingin bilang, tidak ada mama yang lain yang lebih
hebat daripada mamaku. Mamaku adalah mama nomor satu di dunia ini, pun bapakku.
Mereka benar-benar menjadi role modelku sesungguhnya. Baik dalam perspektif
memandang kehidupan, perilaku bahkan urusan asmara. Kisah cinta mereka yang
diceritakan berulang-ulang tak pernah membuatku bosan. Duh, mamaaa… andai kau
membaca tulisanku. Mungkin kau akan besar kepala, karena aku terlalu memujimu
dan bapak. Kalian berdua adalah napas utama aksaraku, selain cinta kepada jenis
lain makhlukNya.
“Ma, besok aku pakai yaa roknya.”
“Lah, jangan! Belum rapi itu.”
“Gak apa-apa, aku pakein peniti
atau jarum pentul. Bagus roknya, Ma. Buat kerja bisa.”
“Ya sudah.”
Sebelum keluar dari kamarku, aku
sempat melihat senyum tipis di ujung bibirnya. Ah Ma! Semoga aku selalu
membanggakanmu baik di dunia maupun di akhirat.
Love you so muaaach mom!
Your silly daughter,
Meta
morfillah
No comments:
Post a Comment