Pages

19 June, 2015

[Review buku] Norwegian wood

Judul: Norwegian wood
Penulis: Haruki murakami
Penerbit: KPG
Dimensi: iv + 550 hlm; 11.5 x 19 cm; cetakan kelima november 2009
ISBN: 978 979 9100 337

Dua belas jam saya menamatkan novel tebal ini. Meski agak lelah, tapi rasa penasaran membuat saya terus bertahan hingga akhir. Well, akhirnya saya paham kenapa teman-teman saya begitu memuji novel ini. Membacanya begitu mengalir, diksinya ringan namun sarat, sesekali saya menemukan ironi dan kekonyolan yang membuat saya tertawa, penggambaran yang tidak terlalu vulgar dan emosinya terasa ke pembaca, hingga tanpa sadar saya sudah menamatkannya. Dan ending yang tak terduga serta menimbulkan rasa penasaran saya, membuat saya membaca kembali bab pertama. Tapi tetap tidak saya temukan apa jawabannya. Berbahagiakah watanabe? Dengan siapa? Dengan midori, atau hidup sendiri?

Berawal dari lagu berjudul Norwegian wood karya beatles yang didengarnya di pesawat saat usianya 37 tahun, Toru watanabe terkenang akan gadis cinta pertamanya, Naoko, yang juga merupakan kekasih mendiang sahabatnya, Kizuki. Perlahan kenangan melintas dan cerita bergerak dengan alur mundur ke tahun 1968 saat ia berusia 20 tahun. Masa-masa ia kuliah di tokyo, terlibat kisah persahabatan yang pelik, seks bebas, beragam pemberontakan mahasiswa, nafsu hingga rasa hampa yang menggerogotinya. Beragam orang masuk dan keluar dalam hidupnya. Ada Midori, gadis dengan semangat dan keceriaan yang mengalir meski hidupnya rumit. Ada Nagasawa dan Hatsumi, pasangan yang kadang mengingatkannya pada saat kebersamaan dengan naoko dan kizuki dahulu. Ada reiko, teman sekamar naoko di rumah rehabilitasi, yang memiliki masa lalu berat namun berhasil sembuh dan bertahan hingga delapan tahun di sana. Semua memberinya warna kehidupan yang beragam di usianya yang baru 20 tahun. Hingga watanabe harus memutuskan, manakah yang akan ia pilih, masa depan dengan midori ataukah masa lalu dengan naoko.

Novel yang membuat saya agak bermuram setelah membacanya. Menyayangkan mengapa bunuh diri di negara yang disiplin seperti jepang terasa sangat biasa. Tokoh watanabe yang berusaha menjaga kesetiaannya, meski ia teyap menjalani hidup dengan caranya, dan tidak mendapatkan apa yang diinginkannya. Endingnya... terasa menusuk. Meski ada beberapa typo yang cukup mengganggu, saya suka dengan cerita ini. Juga penulis menunjukkan saya beberapa novel karya penulis hebat lainnya, yang memang tak asing sebab sering dipuji dalam komunitas buku. Begitulah, buku-buku bagus akan mengantarkan kepada buku-buku bagus lainnya. Saya apresiasi 5 dari 5 bintang.

"Kau anggap saja kehidupan ini sebagai kaleng biskuit. Di dalam kaleng biskuit itu ada bermacam-macam biskuit, ada yang kamu sukai, ada pula yang tak kamu suka. Dan, kalau terus memakan yang kamu suka, yang tersisa hanya yang tidak kamu suka. Setiap mengalami sesuatu yang menyedihkan aku selalu berpikir seperti itu. Kalau yang ini sudah kulewati, nanti akan datang yang menyenangkan, begitu." (Midori, hlm. 472)

"Jangan putus asa, kita urai satu per satu benang kusut yang ada di dunianya. Dalam kondisi tanpa harapan sedikit pun, pasti di situ ada jalan keluarnya. Jika di sekitar kita gelap gulita, tak ada cara lain kecuali menunggu sejenak agar mata kita terbiasa dengan kegelapan itu." (Reiko, hlm. 485)

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget