Pages

22 June, 2015

#Day22 Mati yang kuinginkan

Kalau aku harus mati hari ini, aku ingin berada di samping orang yang kusayangi dan menyayangiku.

Itulah yang sempat terpikir saat aku  dalam ambang batas sisa kekuatanku kemarin. Ya, aku terserang demam. Kelelahan yang amat sangat dan lemahnya perhatian terhadap hak tubuhku sendiri membuatku harus menuai akibatnya. Segala rencana pun buyar. Dengan sisa kekuatanku, aku memutuskan untuk pulang. Satu hal yang aku sadari, aku tidak butuh dokter. Aku butuh mama. Meski sempoyongan, dunia serasa bergoyang tiap kali aku melangkah dan gelap pekat membuatku harus berhenti sesekali. Aku tetap melanjutkan perjalanan menuju rumah. Pulang. Satu kata yang memotivasiku untuk bangkit lagi dan berjalan.

Sesak nafas yang kurasakan dan pening di kepala, serasa dihantam godam membuatku berpikir yang tidak-tidak. Bagaimana jika aku mati sekarang? Belum pernah aku berpikir demikian dalam sakitku. Tapi, kali ini berbeda. Demam yang kurasa lain dari demam-demam yang pernah kualami. Di bulan ramadhan, saat yang lain sedang beribadah puasa. Aku yang sedang tidak berpuasa, justru diberikan sakit yang tidak biasa. Dalam keputusasaan karena perjalanan menuju rumah yang kurasa begitu lama, aku merapal sebuah kalimat dalam sela zikirku. Ya allah, jika aku harus mati hari ini... aku mohon agar aku berada di dekat orang yang kusayangi dan menyayangiku. Dan terlintas wajah mama di rumah.

Sesampainya di rumah, mama langsung panik melihat keadaanku yang lemas dan terduduk di depan pintu. Tak kuat lagi berjalan. Dilepaskannya semua beban yang kubawa, dibalurkannya minyak tawon agar badanku hangat, dikompresnya kepala dan mataku yang panas, dan dipijatnya aku dengan lembut hingga aku tak sadar lagi. Beragam igauan dan rintihan membuat tidurku tak nyenyak. Saat aku tersadar, kondisiku belum membaik. Nafasku masih terasa begitu berat. Mama memutuskan untuk mengerik. Menurut mama, aku masuk angin yang sudah ke dalam tulang. Harus dikerik tiga kali. Aku yang sudah tak kuasa hanya bisa pasrah. Kuterima segala upaya mama menyembuhkanku. Juga segala nasihatnya untuk menjaga diriku. Mengingatkanku tentang bagaimana mau membantu orang lain, jika menjaga diri sendiri saja tidak becus.

Seharian aku membuat mama sibuk. Sibuk mengingatkanku makan, membuatkanku makanan yang mudah dicerna, memberiku obat, mengompres kepalaku, membalurkan minyak angin dan menghangatkanku dengan air panas. Dalam ketakberdayaanku, aku berkata pada tuhan... sungguh aku belum siap mati... tapi, bila memang ini saatnya, aku akan berterima kasih, sebab kau matikanku dalam keadaan dekat dengan orang yang kusayangi dan juga menyayangiku. Bukan dalam keterasingan, kesendirian apalagi kesepian. Rasanya, mati seperti inilah yang kuinginkan. Mati dalam keadaan tersenyum menahan sakit,  namun tetap hangat dalam pelukan orang yang kusayangi dan juga menyayangiku.

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget