Pages

11 June, 2015

#Day12 Kesiapan

Sebenarnya, kapan kita benar-benar siap menghadapi kematian?

Pertanyaan itu melintas dan mengendap hingga memaksaku untuk menelurkannya ke dalam sebuah tulisan. Tak tahan aku menahan gemanya. Hal ini bermula saat aku telah mematikan lampu kamar di penghujung malam. Saat mama dan udaku telah terlelap dua jam sebelumnya. Tinggal aku yang beberapa malam belakangan keeulitan tidur segera. Yaa... banyak yang berkecamuk dalam pikiranku. Dua pikiran terbesar yang membuatku sulit tidur adalah tentang belum stabilnya keadaan diriku sebab belum mendapatkan pekerjaan tetap di bogor, dan tentang lamaran-lamaran pernikahan yang diajukan. Kautahu, cukup memusingkan ketika di satu sisi (pekerjaan) aku tak memiliki pilihan, di sisi lain (pernikahan) ada beberapa pilihan. Ironis.

Malam ini, aku memandangi wajah mamaku. Dalam remang yang tak terlalu gelap, wajahnya tampak seperti pahatan relief. Ada bagian-bagian yang begitu cekung, menandakan usia telah menyusutkannya. Pipinya yang dahulu penuh dan cantik, kini telah kempot karena sudah tak memiliki gigi. Keriput dan bengkok  tulangnya akibat penyakit remathoid athrotis membuatnya terlihat begitu tua dibandingkan usianya.

Lalu perasaan itu menyergap. Rasa takut kehilangan yang sudah lama tak menakutiku. Membuatku memeluknya, memastikan nafasnya masih ada, jantungnya berdetak meski lemah. Ya... rasa kehilangan. Pikiranku mulai berimajinasi. Macam-macam. Buruk-buruk. Lalu hatiku meminta pada tuhan "Jangan ambil dia, aku belum siap, Tuhan." Pada saat yang sama, suara lain dalam kepalaku bertanya, "Memang kapan kamu akan siap? Setelah stabil dalam bekerja? Setelah menikah?"

Yaa... kesadaran itu cukup menghentakku. Kapan sebenarnya kita siap? Menghadapi kematian. Kematian siapa pun. Terutama orang yang kita sayangi, dan diri kita sendiri. Kali ini, saat mengingat kematian yang niscaya, gundahku menguap begitu cepat. Bukan takut tidak dapat pekerjaan yang menghasilkan, bukan takut tidak menikah selamanya, bukan... bukan itu yang kutakutkan ternyata. Bukan itu ketakutan terbesarku, ternyata. Melainkan... takut kehilangan mamaku. Jauh lebih takut dibanding saat kehilangan bapakku. Mungkin karena usiaku yang masih kecil saat itu.

Meski kadang aku ingin jauh dari mama. Ingin mandiri dan tak diusik kecerewetannya, tapi... bukan berarti aku ingin ditinggalkan olehnya. Aku memang ingin berjarak dengannya untuk membuktikan padanya bahwa gadis bungsunya ini mampu berdiri di atas kaki sendiri. Tapi aku tidak ingin ketiadaannya. Berjarak, bukan berarti tiada, atau meniadakan.

Jadi, hanya syukur yang bisa kupanjatkan pada tuhan. Ia begitu paham, aku belum siap kehilangannya. Dan entah kapan aku akan siap. Meski mungkin tidak akan pernah ada kata siap untuk menghadapinya. Siap di depan kematian.

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget