Pages

16 August, 2015

[Review buku] Warna tanah

Judul: Warna tanah
Penulis: Kim Dong Hwa
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Dimensi: 320 hlm, 24 cm, cetakan pertama juni 2010
ISBN: 978 979 22 5927 8

Novel grafis ini bercerita tentang dunia dalam mata dua perempuan dengan generasi yang berbeda. Dari sudut pandang Ehwa, gadis cilik yang berusia 7 tahun, dan ibunya, janda muda kota Namwon. Novel ini adalah seri pertama dari trilogi indah tentang cinta pertama dan kesempatan-kesempatan kedua.

Ehwa memulai perjalanannya menjadi seorang wanita dengan perlahan menyadari tentang seksualitas. Pertanyaan polos, lucu, namun membutuhkan jawaban cerdas seperti 'mengapa anak wanita tidak memiliki burung?'   dan lainnya. Secara cerdas penulis menggambarkan konflik batin dan ragam pertanyaan di benak anak perempuan usia 7 tahun dengan kultur korea yang cukup puitis--samar mengingatkan saya pada puisi kekasih musashi di novel musashi karya penulis jepang. Ada banyak senyum, saat saya mengikuti perubahan ehwa di tiap musim hujan yang semakin matang dalam pikiran mau pun tubuh. Begitu pula dengan tokoh biksu lelaki cilik yang menjadi cinta pertamanya. Bagaimana mereka khawatir saat perempuan mengalami haid pertama dan lelaki mengalami mimpi basah pertama. Kenaifan, keluguan dan keingintahuan begitu terasa secara natural... pada tokoh anak-anak di novel ini.

Sedangkan dunia dalam mata ibunya Ehwa, adalah kehampaan yang membuatnya merindukan hangat dekapan lelaki. Hingga ia bertemu dengan si tukang gambar dan jatuh cinta. Keterkaitan batin ibu dan anak pun menjadi salah satu hal yang membuat novel ini menarik. Tanpa segan ibu Ehwa membagi perasaannya pada Ehwa, meski Ehwa belum sepenuhnya paham akan kalimat puitis sang ibu. Bersama, mereka saling mendukung dalam menghadapi dunia dan sekitar yang tidak selalu ramah.

Sebab ini novel grafis, membuat saya tak terlalu lama menyelesaikannya. Mirip seperti komik. Sayangnya, di beberapa part mengandung konten dewasa. Tapi secara keseluruhan, saya suka dengan karya tulisan mau pun gambar sang penulis. Seri pertama novel ini begitu identik dengan hujan dan bunga. Saya menyukai filosofi bunga yang dijelaskan di sini, seperti bunga labu putih yang mekar setiap senja saat matahari terbenam mewakili perasaan sang ibu dalam menanti tukang gambar. Bunga kamelia yang melambangkan cinta bertepuk sebelah tangan, sebab mekar sendiri di musim dingin saat kupu-kupu tak mau keluar menghampiri bunga. Sedangkan hujan melambangkan potensi kekuatan kehidupan. Di tiap musim hujan ehwa kecil bertumbuh semakin matang. Tak lupa beragam ungkapan khas korea seperti menata sepatu, sebelah menghadap luar dan sebelahnya lagi menghadap dalam, menandakan hati sang ibu yang galau (hlm. 57).

Saya apresiasi 4 dari 5 bintang.

"Sebuah tatapan dapat mengungkapkan kedalaman cinta seseorang terhadap yang lain." (Tukang gambar, hlm. 53)

"Jikalau aku tidak bisa menolong diriku sendiri, bagaimana aku bisa menolong orang lain?" (Chung Myeung biksu cilik, hlm. 145)

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget