Pages

08 August, 2015

[Review buku] Ayah

Judul: Ayah
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: Bentang
Dimensi: xx + 412 hlm, 20.5 cm, cetakan keempat Juni 2015
ISBN: 978 602 291 102 9

Buku ini menceritakan kisah cinta Sabari terhadap Marlena, yang hingga akhir hayat pun bertepuk sebelah tangan. Dengan sifat sabar, sesuai namanya, Sabari teguh pendirian dan kokoh akan cintanya sehidup dan semati, hanya Marlena seorang. Sabari yang lugu, polos, dan tak memiliki sedikit pun sifat negatif, begitu yakin bahwa suatu hari ia akan mendapatkan balasan cinta Marlena.

"Tuhan selalu menghitung, dan suatu ketika, Tuhan akan berhenti menghitung." (Hlm. 48)

Itulah mantra yang kerap diyakini Sabari. Benar saja, suatu hari Marlena hamil tanpa diketahui siapa ayah dari bayinya. Markoni--ayah Marlena--yang begitu malu akhirnya memutuskan akan menikahkan Marlena dengan Sabari, yang saat itu telah menjadi karyawan teladannya dan mengajukan diri untuk menjadi ayah dari bayi Marlena. Pernikahan pun terjadi. Meski hanya bertemu Lena empat kali sepanjang pernikahannya hingga perceraiannya, Sabari tetap berpikir positif dan mencintai Lena. Terlebih pada anak yang dibesarkannya dan dipanggil Zorro. 
Semua tampak baik-baik saja, hingga suatu hari setelah perceraian Lena dan Sabari, Lena mengambil Zorro dari asuhan Sabari. Hampir delapan tahun Sabari berpisah dengan Zorro, dan ia menjelma nyaris gila. Bermula dari konflik inilah, penulis memasuki tema tentang ayah dan pengorbanannya demi anak yang disayangi.

Secara garis besar isi, andrea hirata tetap konsisten dengan isu lokalitasnya mengenai orang-orang Melayu di Belitong. Bahasanya yang puitis pun kerap ditampilkan melalui beberapa tokoh. Juga seperti yang diharapkan, endingnya pun begitu manis, meski tidak mengubah nasib Sabari. Ada banyak pelajaran menarik, lucu dan menggugah tentang hubungan seorang ayah dan anak lelakinya.

Hanya saja, ada beberapa hal yang merupakan kekurangan dan harus diluruskan karena berkaitan dengan logika cerita bagi saya. Seperti di halaman 71, perkara hitungan seratus itu berapa persennya empat ratus. Ditanyakan oleh guru bernama Ibu norma, lalu dijawab 30 %. Duhaai.. sejak kapan? Saya sampai menghitung dan yakin bahwa jawabannya adalah 25%. Lalu di halaman 188, perkara zorro bisa duduk dulu baru merangkak, mengapa diperdebatkannya sama? Harusnya merangkak dulu baru duduk, tapi didebat dalam dialog Ukun halaman 189 sama saja, duduk dulu baru merangkak. Lantas, kenapa didebatkan? Kurang efektif, kan? Atau salah ketik? Lalu di halaman 203, saat Sabari menerima surat gugatan cerai, Zorro sedang bermain dengan Abu Meong dan Marleni. Tapi di halaman 221 diceritakan bahwa karena sedih digugat cerai, Sabari membonceng Zorro naik sepeda tiap sore, hingga suatu hari mereka menemukan seekor kucing gang dinamakan abu meong, tak lama zorro membawa kucing yang dinamakan Marleni. Nah, urutan kronologisnya kacau, kan? Belum lagi endorsement berlebihan di awal buku hingga 8 halaman tentang buku Laskar Pelangi. Untuk apa dicantumkan? Toh, tidak terkait dengan cerita di buku ini. Feel tentang sosok ayah pun menurut saya kurang tergali, karena hampir sebagian buku berfokus pada kisah asmara Sabari dan Marlena. Bukan tentang sosok ayah.

Masih ada beberapa pertanyaan di benak saya mengenai buku ini, seperti siapa sebenarnya ayah kandung Zorro? Juga bagaimana kronologis Lena menikah dengan Amirza dan sebesar apa cinta Amiru pada Amirza? Sebab, saya merasa hati Amiru terbelah pada Sabari dan Amirza, meski di cerita ia tetap lebih banyak porsi ke Sabari. Terakhir, siapa sebenarnya tokoh Aku yang bertindak sebagai penutur di buku ini? Apakah Ikal ataukah memang Andrea Hirata sendiri?

Secara keseluruhan saya mengapresiasi 4 dari 5 bintang.

"Segala hal dalam hidup ini terjadi tiga kali, Boi. Pertama lahir, kedua hidup, ketiga mati. Pertama lapar, kedua kenyang, ketiga mati. Pertama jahat, kedua baik, ketiga mati. Pertama benci, kedua cinta, ketiga mati. Jangan lupa mati, Boi." (Ayah Sabari, hlm. 65)

"Tampak benar dia merasa beruntung menjadi seorang anak yang mendapat kesempatan untuk mengurus orangtua. Dari Amiru aku belajar bahwa tak semua orang mendapat berkah untuk mengabdi kepada orangtua." (Hlm. 392)

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget