Pages

31 August, 2015

[Review buku] Orang asing

Judul: Orang asing
Penulis: Albert Camus
Penerbit: Yayasan pustaka obor indonesia
Dimensi: x + 124 hlm, 13.5 x 18.5 cm, cetakan kedua november 2013
ISBN: 978 979 461 862 2

Novel ini terdiri atas dua bagian--istilahnya diptik, cara penulisan umum di Prancis tentang roman manusia--yang bercerita tentang kehidupan Mersault. Dengan sudut pandang orang pertama--aku--Mersault memulai ceritanya dari kejadian pemakaman ibunya di panti wreda (ini typo atau bukan ya? Biasanya sih panti werda). Hal sepele baginya, namun berimbas besar pada masa depannya. Di bagian satu, dia menceritakan sedikit kilas balik sebelum ibunya dimakamkan. Alasan mengapa ia menitipkan ibunya di panti wreda dan beragam keterasingan yang ia rasakan. Mulai dari asing terhadap budaya di tempat tinggalnya, asing terhadap orang-orang lainnya, bahkan asing terhadap dirinya sendiri. Yang saya tangkap adalah, betapa sesungguhnya Mersault tidak memahami dirinya dengan baik, kehidupan sosialnya pun kurang bagus. Hingga akhirnya ia berani memulai interaksi dengan Marie, berpacaran, lalu mencoba berbicara dengan tetangganya, Salamano, dan berteman dengan Raymond.

Di bagian dua, fokus mulai berganti pada perjalanan persidangan Mersault yang dituduh melakukan pembunuhan berencana. Upaya pembelaan diri, malah berujung pada hukuman pancung. Ironisnya, Mersault tidak diberi kesempatan membela diri. Semua dilakukan seperti orang lain--hakim, penuntut, dan pembela--lebih memahaminya dan ia berada di luar cerita. Padahal ialah tokoh utamanya. Proses pengadilan yang tidak menggali permasalahan sesungguhnya tampak begitu lucu, apalagi saat dikaitkan dengan religiusitas, atau iman. Bahkan vonis Mersault dihubungkan dengan kasus pengadilan selanjutnya, pembunuhan terhadap seorang ayah. Mersault merasa kesal, tapi tak ada yang dapat ia lakukan. Semakin banyak ia bicara, semakin tampak bersalah dirinya.

"Nasibku ditentukan tanpa meminta pendapatku." (Hlm. 100)

Membaca novel ini membuat saya teringat kembali beberapa film yang menceritakan tentang pengadilan. Betapa seringkali fakta diputar, penggalian masalah sesungguhnya tidaklah dalam dan obyektif. Semua hanya berjalan secara seremoni, tata cara kaku, tanpa melakukan pendekatan dan sudut pandang si tertuduh. Padahal ia berhak mendapatkannya. Terlebih apabila tertuduh merupakan orang miskin seperti Mersault. Ungkapan yang lucu adalah ketika Mersault berpikir tentang munafiknya kalimat "Atas nama rakyat Prancis" yang dibacakan hakim. Yaa.. hukuman mati, apalagi pancung di hadapan orang banyak rasanya terlalu berat untuk kesalahan yang dilakukan Mersault dalam upaya pembelaan diri.

Juga konsep keterasingan yang dirasakan Mersault. Betapa berbahayanya bila kita tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan. Tata cara yang tidak kita mengerti, bisa menjadi pisau tajam yang membunuh kita. Seperti saat Mersault meminum kopi susu dan merokok di hari kematian ibunya. Padahal ia melakukan itu untuk menenangkan jiwa dan raganya yang letih. Tapi disalahartikan oleh orang sekitar, bahwa ia dikatakan tak berperasaan, bahkan soal ia tidak menangis, padahal itu karena ia laki-laki. Tidak semua kesedihan harus diungkapkan dengan tangis, kan?

Sedikit saya temukan typo dalam buku ini. Meski tipis, tapi font size dan type yang digunakan membuatnya cukup padat dan cepat mengantuk saat membaca.

Saya apresiasi buku ini 4 dari 5 bintang.

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget