Pages

10 August, 2015

[Review buku] Hujan bulan juni

Judul: Hujan bulan juni
Penulis: Sapardi djoko damono
Penerbit: Gramedia pustaka utama
Dimensi: 135 hlm, cetakan kedua juli 2015
ISBN: 978 602 03 1843 1

Berangkat dari puisi, lalu dikembangkan menjadi novel. Jujur, saya agak lupa dengan bait lengkap puisinya sendiri, sebab di novel ini tidak dicantumkan. Maka saya pun mencari tahu kembali sajaknya, agar ingat keterkaitan puisi tersebut dengan novel ini.

PUISI HUJAN BULAN JUNI

Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

Novel ini mengurai puisi tersebut menjadi prosa cinta antara dua anak manusia bernama Pingkan dan Sarwono. Perbedaan mendasar dari suku--Pingkan berdarah Jawa Manado yang sering merasa asing akan dirinya. Sedang Sarwono Jawa tulen yang masih memegang teguh kasta dalam keluarganya-- dan agama, namun dipertemukan oleh takdir. Dengan konflik utama serta ending yang dituju adalah akankah mereka berdua menyatu dalam ikatan pernikahan.

Terbagi menjadi lima bab. Bab pertama menceritakan masa kini dari sisi Sarwono. Lalu di bab kedua dan merupakan yang paling tebal atau inti di buku ini, alur mundur pertemuan Sarwono dan Pingkan. Bab tiga kembali ke masa kini, dengan keadaan Sarwono dan Pingkan yang terpisah jarak dan waktu. Lalu epilog yang menggantung di bab empat, sebab tak disediakan konklusi bagi pembaca... silakan menerka. Ditutup dengan tiga sajak pendek di bab lima.

Secara keseluruhan isi, selalu tak mudah bagi saya menerka maksud cerita dari eyang sapardi. Kata-katanya yang panjang seperti di halaman 44, 66, dan 124 yang hampir tidak memiliki tanda baca sepanjang satu paragraf, membuat saya harus pelan-pelan menangkap maknanya. Tapi saya suka akan pilihan diksi eyang. Jauh lebih suka pada puisinya yang sarat, jujur, namun lebih kaya dibandingkan cerpennya. Di usia 75 tahun, eyang masih update teknologi, terbukti dengan penggunaan whatsapp antara kedua tokoh di dalam novel ini. Meski cara berceritanya datar, mudah ditebak, dan di beberapa part saya kurang paham terkait kendala bahasa yang tidak ada footnote keterangan atau glosariumnya, saya cukup puas.

Saya mengapresiasi 4 dari 5 bintang.

"Nasib memang diserahkan kepada manusia untuk digarap, tetapi takdir harus ditandatangani di atas materai dan tidak boleh digugat kalau nanti terjadi apa-apa, baik atau buruk." (Hlm. 20)

"Bahwa kasih sayang beriman pada senyap." (Hlm. 45)

"Kesepian adalah benang-benang halus ulat sutera yang perlahan-lahan, lembar demi lembar, mengurung orang sehingga ulat yang ada di dalamnya ingin segera melepaskan diri menjadi qujud yang sama sekali berbeda, yang bisa saja tidak ingat lagi asal-usulnya. Hanya ulat busuk yang tidak ingin menjadi kupu-kupu." (Hlm. 81)

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget