Pages

26 August, 2015

[Review buku] Kaas/keju

Judul: Kaas (Keju)
Penulis: Wilem Elsschot
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Dimensi: 176 hlm, 11 cm, Mei 2010
ISBN: 978 979 22 5767 0

Frans Laarmans telah lama menjadi seorang kerani di penggalangan kapal. Hidupnya biasa saja, tak ada yang dapat dibanggakan. Begitu biasa. Hingga hari di mana ibunya yang sudah pikun meninggal, ia berkenalan dengan Van Schoonbeke. Schoonbeke adalah teman kakak tertuanya--Dokter Laarmans--yang kaya dan memiliki teman-teman eksklusif. Setiap hari rabu, Schoonbeke mengadakan pertemuan bersama teman-teman eksklusifnya tersebut. Frans pun diundang.

Hingga beberapa waktu, Frans merasa hidupnya begitu menyedihkan. Ia seakan batu kerikil yang tak dianggap di pertemuan itu. Bila ia bersuara, ia hanya akan memperlihatkan kebodohan serta kemiskinannya. Schoonbeke pun tak ingin Frans hanya hidup begitu-begitu saja. Dengan kekuasaannya, ia mengirim Frans ke Belanda untuk berkenalan dengan Hornstra--bos keju. Pertemuan Frans dengan Hornstra menerbitkan harapan besar pada Frans. Ia melihat jalan keluar dari hidupnya yang stagnan dan membosankan.

Ia memutuskan untuk menjadi pengusaha keju dan meninggalkan kariernya yang mandek sebagai kerani setia. Sayangnya, Fine--sang istri--kurang setuju dengan ide itu. Fine menyarankan agar Frans tidak meninggalkan pekerjaannya sebagai kerani. Lalu ia memberikan ide pada Frans untuk mengajukan cuti selama tiga bulan dengan alasan sakit. Frans pun meloloskan permintaan istrinya. Ia memulai usaha kejunya dengan berbohong sakit saraf--dipertegas dengan surat keterangan sakit dari kakaknya, Dokter Laarmans--, bersedia cuti tanpa digaji selama tiga bulan.

Namun berdagang ternyata tak semudah bayangan Frans. Ia harus berjuang mendirikan kantor, menawarkan keju, hingga mengantarkan sendiri keju kepada pemesannya. Hal ini semakin rumit saat bosnya--Hornstra--mengabarkan akan datang menemui Frans sementara keju yang dijualnya belumlah banyak. Sesungguhnya, Frans pun tak menyukai keju.

Membaca novel ini membuat saya tertawa. Ternyata permasalahan seperti rasa tidak enak menolak permintaan orang, terintimidasi oleh nama besar dan kekuasaan orang lain, serta ketidakpuasan antara pekerjaan dan keluarga tetap menimpa orang-orang Belgia. Saya kira di sana sudah lebih maju, tak seperti di Indonesia yang masih berkembang. Masalah yang disajikan begitu sederhana, yakni kurangnya rasa syukur tokoh utama terhadap apa yang sudah dimilikinya. Ia hanya berfokus pada titik kelemahannya. Meratapi nasibnya. Lalu barulah ia mensyukuri ketika ia merasakan kehilangan itu. Karakter tokoh utama yang begitu naif, selalu beralasan dengan mencari pembenaran, suka merendahkan istri, keluarga, dan pekerjaannya kadang menyebalkan. Bahkan pada awal cerita pun, tokoh utama tetap menyalahkan orang lain.

Dengan sudut pandang orang pertama (aku), pembaca diajak merasakan konflik batin yang dialami Frans. Hingga ia menyadari apa yang terpenting dalam hidupnya. Alur mundur sebagai pembuka, lalu maju yang digunakan cukup oke, membuat cerita tak tertebak begitu saja, dan bahasa yang digunakan begitu ringan, mengalir.

Saya apresiasi 4 dari 5 bintang.

"Aku percaya hal ini terjadi karena aku terlalu penurut. Ketika Van Schoonbeke bertanya apakah aku mau melakukannya, aku tak mampu menentangnya dan menolak keju-kejunya, yang seharusnya kulakukan. Karenanya kepengecutan itu harus kutebus. Cobaan keju ini patut kuterima." (Hlm. 142)

"Aneh, selama bertahun-tahun tak kusadari bahwa kantor ini dapat begitu menyenangkan. Di tengah keju aku tercekik, sementara di sini, di sela waktu mengetik surat yang satu dengan yang lain, dapat kudengar sejenak suara batin." (Hlm. 150)

Meta morfillah

2 comments:

  1. assalamualaikum meta salam kenal :D kamu baca buku tiap hari ya sampai bisa buat post resensi tiap hari? wow keren :D keep up the good work :D

    ReplyDelete
  2. 'Alaikumsalam wr wb.

    Iya, terima kasih dan salam kenal kembali hana (n_n)

    ReplyDelete

Text Widget