Pages

30 September, 2015

Tuan kesepian

"Aku semakin menjadi kesepian, sementara kau tak pernah patah hati," ujarmu.

Haruskah aku bertanggung jawab atas perasaanmu? Bukankah perasaan kita adalah kendali kita masing-masing? Itu yang kukatakan pada dirimu.

Lalu kaudiam. Kulihat dari bahasa tubuhmu, seakan kamu belum rela. Bahwasanya, aku harus kesepian sebagaimana dirimu.

Maafkan aku, Tuan... bukan aku tak pernah patah hati. Hanya saja... aku memilih untuk segera melupakan dan berfokus ke hal lain yang bisa membahagiakanku. Sebab aku tak ingin meratapi nelangsa yang sama, sebagaimana aku menertawakan lelucon yang sama berulangkali. Hambar.

Bangkitlah, Tuan!
Kamu lelaki, jangan cengeng dan tenggelam dalam nada-nada sendu yang kauperuntukkan semata bagiku. Sungguh, aku tak butuh itu... bila sekadar pemanis kisah tragis. Wanita selalu mencari kepastian. Saat aku mendapati kamu tak bisa memberikan itu, Tuan... maka pergilah dengan tenang dari hidupku. Tak usah meratap. Aku pun tak pernah berharap puisi dan lagu yang kaubuatkan akan terus mengalir. Hentikan, Tuan.

Jangan sampai masa lalumu merusak masa depanmu.

Relakan aku, Tuan. Bukankah semakin besar seseorang mencintai, semakin besar pula ia mampu melepaskannya?

Kumpulkan kepingan hatimu yang terserak, Tuan. Semoga, kita tetap dapat menjadi teman yang baik dalam rumah yang berbeda.

Meta morfillah

[Review buku] Rumah tangga

Judul: Rumah tangga
Penulis: Fahd Pahdepie
Penerbit: PandaMedia
Dimensi: x + 286 hlm, 14 x 21 cm, cetakan pertama 2015
ISBN: 978 979 780 813 6

"Kita adalah dua orang biasa yang saling jatuh cinta. Lalu, kita bersandar pada kekuatan satu sama lain. Terus berusaha memaafkan kekurangan satu sama lain.
Kita adalah dua orang yang berbagi rahasia untuk menyublimkan diri masing-masing. Saling percaya dan berusaha saling menjaga.
Kita adalah dua pemimpi yang kadang-kadang terlalu lelah untuk terus berlari. Namun, kita berjanji saling berbagi punggung untuk bersandar, berbagi tangis saat harus bertengkar.
Kita adalah dua orang egois yang memutuskan menikah.
Kemudian, setiap hari, kita berusaha mengalahkan diri masing-masing.
Dengan sejumlah rasa pengertian dan kesepahaman, engkau bersenang hati menghormatiku sebagai suami dan aku berbahagia menyayangimu sebagai seorang istri."

Itu adalah kalimat yang tertera sebagai blurb di belakang cover buku ini. Merupakan penggalan kalimat dari sebuah tajuk dalam beberapa kisah di buku ini. Kalimat yang rendah hati, romantis namun berdaya gigantis, yang menurut saya tak mengherankan bila penjualan buku ini langsung drastis hingga mencapai cetakan kelima dalam waktu kurang dari satu tahun.
Kisah-kisah dalam buku ini sebenarnya seperti catatan harian Fahd tentang perjalanan cintanya hingga menjalani bahtera rumah tangga bersama Rizqa. Diawali dengan pembuka cerita yang mengisahkan tentang akad nikah mereka, lalu napak tilas tentang hubungan mereka yang bahkan terancam gagal menikah karena tak mendapat restu. Tapi dengan satu keyakinan, bahwa Fahd hanya akan menikahi Rizqa, bukan wanita lainnya, maka pernikahan itu pun terwujud. Tentu saja itu adalah awalan, menikah tidak melulu tentang kenikmatan. Ada banyak penyesuaian yang membutuhkan kesabaran bagi dua insan tersebut. Mungkin mudah untuk mereka meleburkan diri, tapi tidak mudah meleburkan dua keluarga mereka. Terlebih seiring waktu berjalan, bertambahnya personil--anak--keluarga mereka, yang membelajarkan mereka untuk pandai membagi cinta dengan adil. Ada cinta orangtua pada anaknya, dalam hal ini ayah dan ibu Fahd yang bijak menasihatkan kalimat dan pengalaman hidup yang mereka alami. Itulah... kisah cinta sederhana yang dibagi oleh penulis.

Beberapa kisah pernah saya baca dalam status facebook atau blog penulis. Ya, saya mengenal tulisan Fahd sejak ia masih lajang dan memakai nama pena Fahd Djibran. Memang belum semua karyanya saya baca, tapi saya menyukai gaya tulisan dan pilihan katanya yang terasa jujur, sederhana namun dalam. Setelah membaca karyanya ini, saya merasa Fahd semakin matang, baik secara kepribadian, pemikiran dan cara bercerita atau menulisnya. Saya semakin suka.

Secara alur, kisah dalam buku ini seperti potongan-potongan ingatan yang cukup urut berdasarkan kronologisnya. Dari awal akad, flashback ke masa pacaran, lalu pernikahan, flashback ke kisah cinta orangtua fahd, punya anak pertama, adik fahd yang menikah, anak kedua dan ditutup dengan ending refleksi pernikahan selama lima tahun. Gaya berceritanya pun ada yang melalui kisah, surat, puisi dan bahkan nyanyian. Saya temui sedikit typo dan cetakan yang agak berbayang di halaman awal. Namun secara overall, saya suka dan merekomendasikan buku ini bagi Anda semua, baik yang belum, akan, atau sudah menikah. Oh ya, buku ini cukup quotable menurut saya, jadi izinkan saya membagikannya yaa... heheh

Saya apresiasi 5 dari 5 bintang.

"Bagaimana rasanya bila seseorang yang paling kaucintai berjalan ke arahmu, dengan pakaian dan riasan terbaiknya, menggenapkan langkah-langkah kecilnya untuk berjanji sehidup-semati menemanimu dalam sedih atau bahagia untuk selama-lamanya? Bagaimana rasanya bila langkah-langkah itu kian dekat, semakin dekat, dan semakin dekat lagi, hingga membuat dadamu berdebar hebat? Sementara, tatap mata dan senyuman terbaiknya hampir membunuhmu dalam kebahagiaan?" (Hlm. 2)

"Mencintaimu adalah berhenti mengandaikan semua hal baik yang tak ada dalam dirimu sekaligus memaafkan semua hal buruk yang ada dalam dirimu." (Hlm. 17)

"Kelak, jangan bercita-cita membelikan rumah untuk istrimu, bercita-citalah untuk tinggal bersama dan hidup berbahagia dengannya, selama-lamanya." (Hlm. 36)

"Aku menemukan diriku dalam dirimu, lalu aku tak memerlukan penjelasan apa-apa lagi untuk mencintai dan menyayangimu." (Hlm. 57)

"Cara Tuhan tidak mengabulkan sebagian doa kita adalah untuk mengabulkan doa-doa kita yang lainnya. Tuhan maha tahu mana yang paling baik bagi kita, sementara kita hanya bisa mengira-ngira." (Hlm. 109)

"Cinta itu sederhana. Selalu sederhana. Kadang-kadang kita hanya perlu memastikannya. Dengan cara yang sederhana." (Hlm. 174)

Meta morfillah

Hati, nikah, dan left grup

Pembahasan tentang hati dan nikah, tak ada habisnya di grup mana pun. Pembullyan terhadap jomlo-jomlo pun tersebar di media sosial mana pun. Bila sudah ada yang memulai topik ini, tak jarang langsung ramai atau langsung senyap. Ada yang bahkan left. Mungkin dia sudah eneg sama bahasan itu, sementara masih banyak bahasan lain yang lebih bermutu. Well... kadang saya juga merasa seperti itu. Atau bahkan saya pelakunya? (Duh, maafin meta, ya allah).

Tapi, saya berpikir kembali... bila ini dibiarkan, berlanjut dengan fenomena left grup yang mengganggu psikologis teman-teman dalam grup, agaknya harus mulai diperhatikan. Tentu saja, topik itu akan selalu menjadi trending topic, terlebih bila grupnya diisi jomlo semua. Tapi, jangan sampai pembahasan monoton itu menyebabkan teman kita yang lain jadi apatis, skeptis, pesimis, dan malah menganggap nikah adalah momok. Padahal nikah adalah ibadah.

Perhatikanlah akhlak rasul dalam menegur atau mengingatkan Rabi'ah dan Julaibib yang buruk rupa dan miskin untuk menikah. Bukan dibully, tapi ditanya beberapa kali, itu pun tidak dalam rentang waktu seharian dan dalam kondisi yang santai.

"Tidakkah kamu mau menikah, wahai Rabi'ah/Julaibib?"

Rasul pun tak menuntut atau menasihati macam-macam saat mendengar jawaban dan alasan yang dikemukakan keduanya. Ia hanya menanyakan hal itu kembali di saat yang dirasa tepat. Hingga kedua orang itu akhirnya memiliki sudut pandang baru dan berbeda tentang pernikahan.

Ah... alangkah rindunya, belajar dari perilaku rasul. Nasihat, dorongan, motivasi yang disampaikan dengan cara yang benar dan baik, bukankah itu yang para jomlo butuhkan? Bukan disudutkan.

Afwan bila ada yang tersungging eh tersinggung sama pemikiran saya.

Meta,
Masih belajar perkara nasihat-menasihati

29 September, 2015

Kembali belajar dari Ali & Fatimah

KEMBALI BELAJAR DARI ALI & FATIMAH

Kisah cinta Ali dan Fatimah adalah lambang cinta suci yang dipendam dalam hening sejak kecil, diwujudkan dalam halalnya pernikahan. Happy ending. Tapi kali ini, saya ingin melihat kisah itu dari sudut pandang parenting.

Sebagai wanita, tentulah kita malu menyebutkan siapa yang sedang kita cintai, bahkan kepada orangtua. Sebab memang mahkota wanita ialah malu, dan bila malu sudah hilang darinya, maka berbuatlah sesuka hatinya. Begitu pun Fatimah. Mungkin, cintanya akan kandas, bila ia tak memiliki ayah yang beriman pada Allah dan peka pada anak. Yaa... rasulullah yang cemerlang perilakunya, paham benar akan perasaan Fatimah pada Ali, meskipun Fatimah tak pernah memberitahukannya. Dengan santun, Rasul menolak pinangan untuk Fatimah, bahkan pinangan dari sahabat-sahabatnya yang mulia seperti Abu bakar dan Umar bin khattab. Tetapi, saat Ali, pemuda miskin yang hanya memiliki baju perang sebagai hartanya mengajukan lamaran, apa yang dikatakan Rasul?

"Ahlan wa sahlan ya Ali... Selamat datang, lamaranmu diterima."

Redaksi kalimat itu, bagi saya semacam penantian Rasul akan lamaran Ali. Menegaskan bahwa Rasul sudah menunggu Ali melamar Fatimah. Bukankah terlihat betapa rasul sebagai ayah dari seorang anak perempuan bernama Fatimah, begitu penuh dan sempurna menunaikan kewajibannya sebagai ayah? Beliau melindungi hati dan cinta Fatimah pada Ali. Bertindak sebagai pelindung, pengayom dan mempermudah cinta itu bermuara di gerbang pernikahan.

Sungguh, saya rindu sosok orangtua, terutama ayah seperti Rasul. Ayah yang paham tanpa perlu dipahamkan, mengerti tanpa perlu dijelaskan pengertian. Tentunya, hal itu lahir sebab hubungan yang baik antara anak dan ayah. Tentunya, restu orangtua itu dibangun sejak lama. Sehingga, tidak ada keraguan saat orangtua menerima pinangan untuk putrinya. Sebab, orangtua sudah paham tabiat anaknya, dan bisa melihat siapakah yang cocok menjadi partner hidup anaknya kelak, mengimbangi segala kelemahan dan kekurangan anaknya.

Berbahagia sekali... memiliki orangtua yang menjalankan fungsinya dengan benar.

Selain itu, pelajaran lain yang saya dapatkan dari kisah ini adalah mengenai komunikasi anak terhadap orangtua. Kita tentu tahu bagaimana akhlak Fatimah terhadap orangtuanya, begitu penurut dan menunaikan birrul walidain. Sehingga saat ia menginginkan sesuatu, orangtuanya memudahkan bahkan merestui. Patutlah kita contoh. Sebab terkadang kita lalai memerhatikan orangtua dan haknya. Lalu saat kita butuh restunya, kita paksakan kehendak kita pada mereka. Inilah yang sering memicu permasalahan anak dan orangtua. Terutama dalam hal pernikahan.

Menurut saya, restu itu sangat penting. Harus dikomunikasikan jauh sebelum kita memulai ta'aruf. Komunikasikan dengan baik dan tidak mendadak. Jangan sampai demi pujaan hati, kamu abaikan hati dua orang yang menyebabkan kamu lahir ke dunia. Untuk para lelaki, memang pernikahan kalian sah tanpa restu orangtua, tapi percayalah itu tidak akan berkah. Akan ada banyak masalah di kemudian hari bila kalian tak memedulikan restu orangtua.

Pada akhirnya, saya kira menggapai bahagia tidaklah harus merusak kebahagiaan orang lain, dalam hal ini orangtua.

Yuk, bangun hubungan baik lagi dengan orangtua! Maksimalkan doanya, sebab orangtua adalah pintu surha yang tengah. Jangan kamu siakan! Semoga kelak kita mampu menjadi orangtua terbaik bagi anak-anak kita.

Meta morfillah

28 September, 2015

Kisah haru di #KhitananMassalPAY

Anyway, tadi itu yang berkesan saat ada anak kecil. Dengan semangat sendirian dia menuju kasur "eksekusi", celingak-celinguk ini orang tuanya mana ya.. ternyata yang datang menghampiri seorang wanita tua, sontak saya  bertanya "Ibunya ya?"
Sang ibu tua menjawab, "Saya neneknya"
Lantas menyelidik, saya bertanya kembali, "Ibu bapaknya menunggu di luar?"
Sang ibu tua menjawab dengan polosnya, "Itu anak gak punya bapak ibu."
Lanjut ibu tua itu, "Bapaknya pergi, dia ditinggal gitu aja, ibunya meninggal".
Saya terdiam sejenak sembari melihat semangat dan keberanian anak itu. Lantas diri ini benar-benar merasa kecil.

Suatu hari nanti saat momen sekali seumur hidup kita, pastinya mendambakan ada dua sosok menemani kita. Bagi seorang pria bisa saja saat dikhitan, saat ia wisuda, pun saat menikah, harus ada sosok yang menjadi penyebab ia terlahir ke dunia menemaninya. Namun hidup tak seindah itu kan?

Pada akhirnya semangat dan keberanian diri kitalah yang mengantarkan diri kita menjadi lebih baik. Di saat kita kehilangan sosok itu atau pun sosok itu yang sengaja menghilang begitu saja dari hidup kita. Pastinya menjadi lebih mudah jika orang yang dicintai selalu membersamai kita, pun jika mereka tak ada, yakinlah cinta mereka tetap ada dalam hati kita dalam tiap nafas kita dalam tiap aliran darah kita, walaupun kita sama selalu tak pernah berjumpa dengannya.

(Ucil, yang galau malam ini)

*Kisah di atas terjadi di acara #KhitananMassalPAY bersama #112AnakYatimDoeafa Minggu 27 September 2015 lalu. Banyak kisah haru lainnya. Saya sendiri sebagai CP pendaftaran terkadang suka sedih saat mengajukan pertanyaan "KTP orangtuanya mana?" pada anak yang yatim. Sebab saya merasa mengajukan pertanyaan yang salah. Pasti, dalam hati mereka ada rasa nyeri karena diingatkan bahwa mereka tidak memiliki orangtua yang lengkap lagi. Meski wajah mereka tetap menampilkan senyum & kepolosan tapi mereka tetaplah anak kecil yang butuh kasih sayang. Saya sendiri sudah yatim selama 14 tahun, dan tetap rindu sosok bapak saya. Apalagi mereka.

Jadi... itulah yang memotivasi kami untuk #BuatMerekaTersenyum
Sesungguhnya, kami hanya meringankan sedikit saja kecemasan mereka dengan acara-acara... beban hidup mereka tak berkurang begitu banyak dan kehilangan mereka akan sosok orangtua tak akan pernah terobati.

Masihkah kalian enggan berbuat baik untuk mereka, di tengah rezeki yang kalian nikmati?

Jangan bosan berbuat baik, meskipun terlihat membosankan.

Meta morfillah

25 September, 2015

[Review buku] 1984

Judul: 1984
Penulis: George Orwell
Penerbit: Bentang
Dimensi: viii + 392 hlm, 20.8 cm, cetakan II februari 2014
ISBN: 978 602 291 003 9

Winston Smith seorang karyawan Partai di Departemen Catatan tiba-tiba saja melakukan hal tak biasa. Ia mencoba menuliskan catatan harian pada sebuah buku. Tindakannya itu bisa terkena disiplin berat bila tertangkap oleh polisi pikiran, teleskrin, dan mikrofon tersembunyi. Saat memulai tulisannya pun, Winston gamang akan tahun yang sedang dijalaninya saat itu. Ia mengira-ngira bahwa itu adalah tahun 1984. Sangat sulit bagi siapa pun di masa itu untuk mengingat waktu, kronologis suatu peristiwa, atau kenangan masa silam. Sebab semua telah dikendalikan oleh partai. Tidak ada kebebasan. Semua tingkah lakumu dipantau oleh teleskrin, kata-katamu disadap oleh mikrofon tersembunyi, dan sedikit saja ada keengganan mematuhi aturan partai--yang bisa diindikasikan dari mimik wajah serta kalimat yang kauucapkan--maka polisi pikiran akan menangkapmu tengah malam, saat kau tertidur. Lalu bersiaplah untuk diuapkan. Yaa... kamu akan ditiadakan, segala jejakmu akan dihapuskan hingga tak ada yang merasa pernah mengingat eksistensimu. Semua media dikuasai dan menjadi alat propaganda. Berkali-kali masa silam diedit sesuai keinginan partai atau Bung Besar.

Sepanjang hidupnya, Winston berusaha menaati peraturan dengan baik hingga hari itu, hari di mana ia membeli buku harian dan hari di mana ia menerima pesan singkat dari seorang gadis bernama Julia yang mengaku mencintainya. Perlahan, antipati terhadap kediktatoran partai yang lama bersemayam di hati dan pikirannya menjelma menjadi tindakan pelanggaran. Ia dan Julia menabrak batas-batas namun tetap melaksanakan tugasnya dengan baik. Mereka menganggap itu adalah sebuah pemberontakan terhadap partai. Namun ternyata polisi pikiran berada di mana-mana, termasuk di kalangan kaum proletar yang miskin. Mereka pun tertangkap dan menjalani hukuman di kamar 101 dan berakhir dengan pertobatan pikiran.

Membaca novel ini tanpa tahu konteksnya menurut saya tetap menarik, sebab terasa seperti cerita fantasi. Terbayang adegan film divergent, escape, hingga hunger games. Lalu saat saya membaca tentang pengarangnya, bahwa ini adalah novel terakhir yang ditulisnya sebelum meninggal di tahun 1950, di mana saat itu perang tengah dahsyat. Saya teringat bom atom di Nagasaki dan Hiroshima, serta rezim Nazi dan uni soviet, kekacauan di mana-mana. Maka novel ini semakin bertambah nilainya bila ditempatkan dalam konteks masa itu. Bukankah pengarang begitu berani menggambarkan keadaan sebuah negara dengan kediktatoran terhadap warganya serta tokoh-tokoh yang sangat apa adanya, juga waktu yang sebenarnya merupakan masa depan saat novel ini dicetak. Bayangan masa depan tahun 1984 di tahun 1950. Tentu saja berbeda bila kita mengira novel ini relevan sepanjang masa. Mungkin ada pula anggapan novel ini tidak lagi up to date. Kembali, kalau menempatkan konteksnya, novel ini menurut saya hebat. Penulisnya benar-benar cerdas memikirkan sejauh itu tentang konsep negara di masa depan.

"Segala sesuatu kabur menjadi kabut. Masa silam dihapus, penghapusannya dilupakan, dusta menjadi kebenaran." (Hlm. 92)

Mengerikan juga membayangkan begitu kuasanya partai mengendalikan sejarah dalam seluruh aspek media. Bahkan ditegaskan dalam novel ini, satu koran times bisa ditulis ulang sebanyak 12 kali, dengan alasan penyesuaian. Hingga bahasa pun dikerucutkan menjadi lebih sedikit, partai menginginkan keseragaman total, tak ada seni, tak ada sastra, semua dirangkum dalam bahasa kaku bernama Newspeak.

"... Akhirnya, kelak mereka akan melihat Anda seperti apa adanya Anda, lalu mereka akan mencabik-cabik Anda." (Hlm. 333)

Kalimat itu menunjukkan perlawanan seorang warga yang dalam novel ini diwakili oleh Winston terhadap rezim partainya. Menyiratkan kemuakan akan semua dusta yang dijejalkan.

"Satu-satunya kepastian ialah bahwa ajal tidak pernah datang pada saat yang terduga dan diharap." (Hlm. 345)

Ditutup dengan ending yang cukup tragis. Meski ada sedikit typo, tapi saya suka dengan gaya bahasa Orwell yang mudah dipahami, meski yang disampaikan sesungguhnya amat berat.

Saya apresiasi 5 dari 5 bintang.

Meta morfillah

24 September, 2015

Menjadi dewasa

Dewasa adalah saat kamu mampu menerima konsekuensi dari pilihanmu, tanpa mengeluh apalagi menyalahkan.

Seperti menerima konsekuensi mengikuti kegiatan amal yang menguras energi, waktu, pikiran dan dana yang kamu miliki. Lalu saat orangtuamu meminta haknya dari dirimu, dalam keadaan remuk dan payah, kamu berusaha tampil kuat semata agar orangtuamu tak mengkambinghitamkan kegiatan amal yang kamu ikuti. Kamu tahan rasa lelah dan payah itu bulat-bulat.

Seperti konsekuensi saat kamu memilih mengendarai motor untuk kemudahan mobilitasmu meski harus bertentangan dengan nasihat orangtuamu. Lalu kamu jatuh berdarah, sangat sakit rasanya, tapi kamu abaikan dan kamu tutupi semata agar orangtuamu tidak menyalahkan pilihanmu naik motor dan tidak menuruti nasihatnya.

Seperti konsekuensi kamu menolak pacaran dengan pilihan orangtuamu dan lebih memilih sendirian hingga datang seseorang yang paham cara yang baik untuk memulai sebuah bahtera. Namun semua selalu kandas di tengah upaya baikmu, kamu tahan pedihnya hati dan selalu tampakkan keceriaan, seakan itu hanya episode kecil yang tak berarti banyak bagi hidupmu. Semata agar orangtuamu tak menyesalkan pilihanmu yang menurutnya aneh dan tak biasa di zaman ini, yang di matanya kamu seperti melewatkan banyak kesempatan pada mereka yang memujamu. Berandai kalau saja kamu mau pacaran.

Seperti konsekuensi keuanganmu yang terbatas semenjak kamu memilih meninggalkan kantoran demi menemani orangtuamu satu-satunya. Kamu tahan sakit hatimu, terutama egomu yang dulu bisa kamu penuhi dari uangmu sendiri, semata demi meneguhkan diri bahwa janji Allah itu pasti jika kamu berusaha ikhlas memuliakan orangtua.

Menjadi dewasa itu tidaklah mudah. Seringkali, membuatmu rindu akan alam rahim. Saat kamu begitu nyaman dalam kegelapan kandungan kasih sayang ibumu. Atau saat kanakmu, di mana kamu bisa berlari ke pelukan ibu dan bersembunyi di balik punggung ayah saat kamu tak mampu menghadapi masalahmu sendiri.

Menjadi dewasa... haruslah berdiri di kaki sendiri, menelan bulat-bulat kekecewaan dan segala konsekuensi dari pilihanmu... tanpa sedikit pun mengeluh apalagi menyalahkan keadaan.

Meta morfillah
Masih belajar mengeja kedewasaan.

23 September, 2015

[Review buku] Panggil aku kartini saja

Judul: Panggil aku kartini saja
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Dimensi: 304 hlm, 15 x 22.5 cm, cetakan 4 maret 2009
ISBN: 979 97312 11 6

Dari judul buku ini, saya sudah menangkap sebuah kerendahhatian dari sosok yang diceritakan dalam biografi ini. Jujur saja, saya selama ini termasuk dalam jajaran mayoritas yang tak paham dengan perayaan 21 april dan hanya tahu sebatas mitos, bahwa ia layak dijadikan pahlawan karena ia menulis, dan menghasilkan sebuah karya fenomenal berjudul "Habis gelap terbitlah terang". Sedangkan saya sendiri tak paham mengenai sosoknya, mengapa ia dipilih menjadi sosok pahlawan ketika ada banyak pahlawan wanita yang sebenarnya juga berkiprah pada masanya, sebut saja dewi sartika. Belum lagi ditambah pengetahuan saya yang minim dan belum pernah membaca karyanya tersebut, yang merupakan kumpulan 105 surat pribadinya.

Melalui buku ini, saya bisa mengenal lebih dekat sosok kartini dalam mata Pram. Meskipun agak sulit dan belum sempurna disebabkan minimnya biaya riset dan kesulitan pelacakan historisnya, terkait dokumen-dokumen yang dimaksudkan tak diketahui jejaknya. Juga narasumber di Belanda yang sulit dilacak.

Dalam buku ini Pram memulainya dengan kekalahan perang diponegoro, yang berlanjut ke politik tanam paksa Van den Bosch yang menyengsarakan rakyat berkali lipat. Lalu penjelasan tentang silsilah kartini dan para leluhurnya yang termasuk dalam kaum ksatria--bila disejajarkan menurut kasta hindu--yang artinya termasuk golongan bangsawan. Kemudian masuk ke masa kelahiran, masa kecil, bersekolah, hidup dalam pingitan hingga kembalinya kebebasan kartini untuk melongok dunia luar yang mendekatkan dirinya pada kotanya, Jepara. Beranjak dewasa, ditemani buku semasa dalam pingitan--yang sebenarnya juga merupakan pelarian dirinya atas keresahan budaya pingitan jawa, sehingga ia beralih ke dunia pustaka--kartini mulai melihat adanya perbedaan, jurang pemisah antara kelompok pribumi dan belanda. Kemiskinan, sistem kasta--terutama di kalangan pribumi/jawa sendiri--feodalisme yang membuatnya resah mengenai dunia pribumi yang dikenalnya. Sedang pada saat bersamaan, ia mengenal dunia barat dan menguasai alatnya: bahasa belanda. Ia temukan setitik jalan keluar bagi bangsanya melalui bacaan, dan budaya barat yang dalam hal ini diwakili oleh eropa--Belanda khususnya di Indonesia--sebagai kekuatan terbesar di zamannya.

Kartini berjuang melalui seni. Seni utama yang ia kuasai tentulah mengarang. Namun ia juga menghayati seni membatik, melukis, bermusik, dan menggagas kehidupan yang lebih baik untuk para seniman di Jepara. Berkat dirinya pula, Jepara dikenal akan ukirannya oleh orang Belanda. Kemudian Pram menutup buku ini dengan menjelaskan sedikit tentang kondisi kejiwaan kartini. Tentang pandangannya akan Tuhan, yang pada masa itu ia mengakui bahwa ilmu agama tak dipelajari dengan baik. Maka meski menganut Islam, Kartini tidak menutup diri akan beragam pengetahuan agama lain--dikabarkan ia menguasai Injil. Ia berpegangan bahwa Tuhannya adalah kebajikan dan cinta, lebih pada kebatinan. Bahkan, disinyalir ia memiliki kemampuan berbicara dengan roh dan bertelepati. Pada akhirnya, ia mengedepankan akal/ilmu sebelum beribadah. Kartini cukup kritis dan memiliki daya observasi serta intelegensi yang cukup tinggi bagi wanita sebangsanya di masa itu.

Buku ini ditutup dengan epilog dari Ruth Indiah Rahayu, seorang peneliti dari yayasan kalyanamitra dengan judul "Kartini di akhir abad 20: Sebuah relikwi atau inspirasi?" Tulisannya cukup menohok saya, saat diingatkan kembali untuk mengenal Kartini sebagai dirinya, dengan memahami jalan pikirannya, membaca karya dan tulisannya yang terserak, memahami zamannya, hingga tidak lagi memberikan penilaian yang melebihi kapasitasnya.

Menurut saya, pendekatan yang dilakukan Pram cukup holistik, dari lahir hingga tiada--hanya saja saya tak mendapat terlalu banyak penjelasan mengenai pernikahan, keadaan rumah tangga, hingga bagaimana kematiannya. Mungkin ini terkait hal yang dijelaskan pada kata pengantar, bahwa sehubungan diri Pram yang dituduh golongan kiri, maka karyanya pun diberanguskan. Dari empat jilid karyanya mengenai kartini, hanya dua jilid yang selamat. Dan dua jilid inilah yang disatukan menjadi buku ini.

Penelusuran historis yang dilakukan Pram cukup memberikan gambaran mengenai konflik batin yang dialami Kartini, dari sisinya sebagai wanita jawa, pribumi, ningrat, berkawan dengan orang belanda, hingga ke perjuangannya untuk rakyatnya. Juga situasi di mana ia sering menghadapi kesulitan buah simalakama, terlebih dalam menghadapi ayah yang dicintainya.

"Betapa mengherankan cinta itu, dia adalah sorga dan sekaligus neraka itu juga." (Hlm. 281)

Betapa tak henti dan saya terpesona akan kegigihan serta kecerdasan seorang kartini yang otodidak, meski lahir dari kekecewaan.

"Pada mulanya untuk menyelamatkan hatinya sendiri dari perkosaan adat yang merampas kemerdekaan dan fungsi sosialnya. Maka ia raih buku-buku, dan menyelamatkan hatinya di dalam dunia pustaka. Seperti dengan sendirinya ia tinggalkan dunia kenyataan dan memasuki dunia intelektual, dan di situ pula ia dapat temukan nilai-nilai sosial yang lebih bermutu di dalam peradaban eropa." (Hlm. 275)

Serta mampu melihat peluang besar dari pilihannya sebagai pengarang dibanding menjadi seorang guru.

"Rupa-rupanya sastra juga yang dipilihnya, karena mempunyai daerah juang yang luas dibandingkan dengan yang lain-lain. Sedang sebagai guru misalnya benar ia dapat 'langsung mendidik' tetapi 'dalam lingkungan terbatas' saja, demikian halnya sebagai dokter atau jururawat." (Hlm. 207)

Seandainya buku sejarah ditulis dengan gaya pram, mungkin saya akan sedikit lebih menyukai pelajaran sejarah di masa sekolah. Hanya saja kekurangan buku ini adalah dalam pengemasannya. Jenis pemilihan huruf, ukuran serta kerapatan paragraf sangat ampuh membuat saya mengantuk. Bahkan beberapa kali saya alami baru membaca satu halaman, saya tertidur satu jam. Dan itu terulang hingga tiga kali dalam sehari. Butuh niat yang cukup tinggi untuk menuntaskan buku ini!

Sebenarnya banyak sekali kalimat yang saya sukai di buku ini, tapi bila saya tampilkan, khawatir akan memberikan spoiler. Jadi kali ini saya tidak akan memberikan kutipan di akhir review.

Saya apresiasi 4 dari 5 bintang.

Meta morfillah

21 September, 2015

Hujan dan Kenangan

21 september 2015

Tepat pukul tiga menjelang senja, hujan datang. Akhirnya ia pulang ke kotanya. Mungkin, ia sudah lelah akan perjalanannya. Atau mungkin, ia teramat rindu pada kota yang melekat dengan namanya, Kota Hujan.

Persis sebuah orkestra, hujan datang diawali gerimis ritmis nan romantis. Tak lama, mati listrik. Kegelapan menyelimuti pandangku. Akhirnya kuseretkan langkahku ke teras depan demi mengais cahaya, melanjutkan ritual membacaku. Tapi sepertinya, aku harus menangguhkan niat kembali. Sebab hujan meminta perhatian. Ia tidak lagi membelai syahdu, malah membuat sebuah pertunjukan. Tingkah hujan semakin menghentak, liar, deras. Angin diajaknya bersekongkol mencipratkan titik air di mukaku.

Kini kuperhatikan saksama sudut di bekas pohon pepaya yang kini telah ditebang. Sebuah bangku berkaki patah yang kosong, menampung rinai hujan. Perlahan, aku terbius aroma petrichor dan kuasa hujan yang membahkan kenangan. Bangku itu. Seakan ia menatapku lamat-lamat... menegur kesendirianku. Mengingatkanku padamu. Pada langkah-langkah yang kuambil jauh di depanmu. Sebab, aku tak ingin tertinggal di belakangmu dan menelan bulat-bulat punggungmu. Punggung yang kuharapkan menjadi sandaran.

Hujan... kaumenyebalkan bila sudah memulai tarian mistismu ini! Mengapa kauselalu identik dengan kenangan dan sendu?

Meta morfillah

[Cerpen] Bintang Jatuh

“Maukah kau kucintai dengan cinta yang pernah kecewa?”

Astra tersenyum sembari melayangkan pandangannya ke arah sepasang kekasih di pojok ruangan. Ia tahu bahwa ini tidak akan pernah mudah. Dengan Bintang, semua tidak akan semudah yang dibayangkannya. Sebab Bintang begitu rapuh di balik ketegaran yang ia munculkan dalam keseharian. Gadis itu selalu memendam ketakutannya akan cinta, di saat ia selalu yakin akan kekuatan terbesar dari cinta. Paradoks yang begitu indah. Itulah yang membuat Astra ingin selalu melindunginya.

Bintang masih menunggu jawaban Astra, tanpa memandangnya. Ia seperti terpekur menatap bibir gelas lemon tea yang hanya bersisa seperempatnya saja. Sesungguhnya, Bintang tak akan pernah mampu menatap mata orang yang akan ia cintai. Ya… akan.

Astra menyeret pandangannya kembali pada wajah Bintang. Menghela nafas pendek sebelum melahirkan kata-kata yang akan menentukan kelanjutan nasib perasaannya.

“Bintang… bukankah setiap orang pernah kecewa? Maka tentu saja aku akan menerima cintamu yang pernah kecewa. Lalu akan kuusahakan agar cintaku tidak mengecewakanmu lagi. Kumohon, percayalah padaku.”

Bila Bintang tetap tidak memercayainya, Astra pasrah. Di balik sifat tidak tegaan Bintang, ia juga adalah wanita keras kepala nomor satu yang begitu yakin dengan segala yang ia putuskan. Jangan pernah harapkan Bintang akan menarik kembali keputusannya, meski ia harus menderita karenanya. Bagi Bintang, pantang menjilat ludah sendiri. Ah… lagi-lagi paradoks yang indah. Juga menyulitkan Astra, tentu saja.

“Jadi… bagaimana jawabanmu, Bintang?”

Bintang mengangkat kepalanya dan menatap mata Astra dengan pandangan rapuh, seakan lelah ingin bersandar namun tertahan.

***

Bintang

Lelaki di hadapanku ini—yang selalu kuanggap lebih bocah dariku sebab memang usianya yang lebih muda tiga tahun dariku—menawarkan sesuatu yang begitu serius. Ia meyakinkanku untuk memberinya kesempatan menggenapi takdirku. Namanya Astra, lelaki yang kukira awalnya pendiam, namun ternyata suka berkelakar dan menggodaku, berkacamata—yang justru bukan tipeku—dengan tinggi menjulang dan badan sekurus tiang. Sangat berbeda dengan lelaki-lelaki sebelumnya yang berusaha memenangkan hatiku. Bahkan secara fisik, mereka jauh lebih keren dibandingkan Astra. Tapi ada satu yang mereka tak miliki, sedang Astra memilikinya.
Ketenangan.

Astra mampu membuatku tenang. Sejauh ini.

***

Astra

Belum pernah aku sejauh ini.

Bahkan nekat dan begitu bodoh. Melamar seorang gadis—yang berusia tiga tahun lebih tua dariku—secara langsung pada orangtuanya tanpa diketahui sang gadis sebelumnya. Ayah dan kakak lelakiku pun kaget saat aku menyatakan bahwa aku ingin menikah. Meski awalnya mereka agak enggan dan mencoba membujukku untuk mengurungkan niat, tapi akhirnya mereka mengabulkan pintaku. Mungkin tekad di mataku yang begitu membara terlihat jelas oleh mereka.

Ya… memang belum pernah aku segigih ini memperjuangkan seorang gadis. Usiaku saat ini 24 tahun, bahkan tidak sesuai dengan rencana hidupku yang ingin menikah di usia 27 tahun. Tapi dengan Bintang, aku tak bisa berlama-lama. Ia persis seperti namanya, Bintang Jatuh. Bintang yang bila tidak kautangkap dengan cepat, akan melesat hilang kerlipnya dalam sekejap. Ia tak pernah mau menunggu. Memesonamu sekaligus memaksamu memutuskan dalam detik pertama kau melihatnya.

Sudah sering aku dibuatnya gila dengan tingkahnya. Sudah sering pula aku dibuatnya rindu hingga sesak di dada. Seperti saat ini, saat semua—keluarganya dan keluargaku—sudah menyetujui lamaranku, Bintang malah mempertanyakan perasaanku. Bukankah sudah begitu jelas?

Kadang, Bintang memang begitu naïf dan tetap menganggap tidak ada apa-apa di antara kami. Ia bertingkah tanpa beban saat ditanya teman-teman kami mengenai hubungan kami. Mereka mungkin mengendus ada sesuatu yang serius di antara aku dan Bintang, karena gelagatku. Aku memang payah menyembunyikan perasaanku. Bagaimana tidak, aku begitu riang dan menjadi bawel setiap melihat dirinya. Selalu menanggapi perkataannya, selalu ingin agar ia mempertimbangkanku sebagai seorang lelaki dewasa, bukan sebagai adik lelaki yang manis.

“Biasa saja. Jangan cie-ciein aku sama Astra. Kasihan Astranya.”

Selalu begitu jawabnya.

Pernah kutanyakan padanya langsung mengapa ia menjawab seperti itu, padahal aku sudah melamarnya.

“Bahkan satu detik ke depan, aku tidak tahu apa yang akan terjadi, Astra. Hati-hati dengan harapanmu, jangan kau kira karena kau telah melamarku minggu lalu, maka kau telah memilikiku. Harapan seringkali merupakan akar kekecewaan. Bukankah kau bahkan belum mendapat restu ayah dan kakak lelakimu?”

“Apakah kau mencintaiku, Bintang?”

“Sudah sejak lama aku meyakini bahwa mencintai adalah sebuah keputusan. Tidak pernah terjadi secara tiba-tiba. Saat kau memutuskan untuk mencintai seseorang, maka kau akan mengizinkan hati, jiwa, dan ragamu untuk mencintainya. Dan aku memutuskan akan mencintai suamiku kelak. Kalau kau tanyakan apakah aku mencintaimu sekarang, tentu dengan tegas akan kujawab tidak. Sebab kau bukanlah suamiku, Astra.”

Jawabannya saat itu membuat aku semakin mencintainya. Tapi kini, aku menjadi ragu akan perasaannya padaku. Salahku memang, sedari awal aku tidak memastikan perasaannya padaku.

***

“Jadi… bagaimana jawabanmu, Bintang?”

Bintang mengangkat kepalanya dan menatap mata Astra dengan pandangan rapuh, seakan lelah ingin bersandar namun tertahan.

“Dampingi aku. Jangan pernah coba memahamiku, sebab kau akan lelah, Astra. Cukup berjalan bersamaku dan genggam tanganku erat. Jangan sekali pun kau coba untuk melepasnya, sebab mungkin aku akan terbang menjauh persis di detik kau melepaskan genggamanmu.”

“Apakah itu sebuah YA untukku, Bi?”

Bintang mengangguk dengan senyum.

***

Meta morfillah
Jakarta, 27 Agustus 2015
*cerpen ini diikutsertakan dalam #LelangBukuBayarKarya edisi Romance Bintang & Astra di grup LoveBooksALotID. Memenangkan juara 3.

19 September, 2015

[Review buku] Prajurit Schweik

Judul: Prajurit Schweik
Penulis: Jaroslav hasek
Penerbit: Dunia pustaka jaya
Dimensi: 279 hlm, cetakan ketiga 2008
ISBN: 978 979 419 106 4

Schweik adalah prajurit resimen 91 yang dinyatakan lemah otak yang sebab itu ia dikeluarkan dari militer. Ia hidup bersama pesuruh wanita tuanya yang setia--Nyonya Muller--dan mencari nafkah dengan menjual anjing. Pada suatu pagi, di hari Ferdinand putra mahkota terbunuh, Schweik pun ditangkap di kedai minum langganannya karena tuduhan pengkhianatan dan penghinaan atas keluarga kerajaan. Dari peristiwa itu, dimulailah perjalanan Schweik kembali dalam dunia militer. Beragam kesalahpahaman dan keberuntungan tetap setia menemaninya. Mulai dari perannya di garis belakang yang pada awalnya menjadi tahanan, pasien rumah sakit jiwa, tahanan militer, lalu pesuruh pendeta hingga berakhir menjadi pelayan Letnan Lukash. Bersama Letnan Lukash, ia dipindahkan ke garis depan untuk ikut berperang. Sayangnya, kelemahan akalnya membuat ia malah tersesat, menjelajah dan dicurigai menjadi mata-mata Rusia. Hingga ia berakhir dengan begitu bodohnya kembali menjadi tahanan tentara Austria saat ia memakai baju tentara Rusia--yang ia temukan di tepi kolam dan demi menuruti rasa penasaran bagaimana penampakan dirinya dalam seragam musuh--lalu dijatuhi hukuman kerja paksa. Begitulah kisah prajurit Schweik yang bodoh, namun sebenarnya begitu jujur, tulus, sederhana dan patuh pada atasan.

Sepertinya baru kali ini saya membaca karya penulis Cekoslovakia yang juga merupakan angkatan perang Austria. Buku ini memuat humor satire, persis seperti tokoh Allan di karya Jonas Jonasson yang saya baca sebelumnya. Hanya saja, tidak ada pemutarbalikan fakta sejarah seperti dalam karya Jonas. Buku ini hanya memotret keadaan dan budaya saat perang di Austria. Betapa lucunya mengetahui bahwa banyak yang berpura-pura gila hingga berani membayar demi membuat dirinya sakit agar tak dikirim ke medan perang. Juga gaya hidup dan kebodohan para petinggi militer yang cukup arogan. Sangat terasa sindiran dalam humor penulis, yang sebenarnya menyasar pada semangat patriotisme bangsanya sendiri melalui tokoh Schweik. Tentunya, tokoh seperti Schweik akan cepat mati, bila saja bukan fiksi. Keberuntungan yang dialaminya cukup banyak. Untuk penderita encok, daya tahan tubuh Schweik pun luar biasa dalam menanggung siksaan. Wajahnya yang lugu, terutama matanya yang polos seringkali mengundang iba dan meredam kemarahan orang lain terhadapnya. Bahkan terlalu polos saat ia tak menyadari akibat sikapnya yang tenang, ia telah melakukan banyak kesalahan fatal yang mengacaukan sekelilingnya, dan tetap saja merasa tidak berdosa.

Alur ceritanya konsisten progresif, maju teruuuss. Sayangnya, di bagian ketiga menjelang akhir buku saya lama-lama merasa bosan. Rasanya cerita berulang seperti itu-itu saja, sehingga saya pun scanning. Ditambah pengemasannya yang kurang bagus, karena font yang digunakan berkait, ukuran kecil, dan jaraknya terlalu rapat sehingga cepat membuat ngantuk. Juga banyak sekali typo yang saya jumpai.

Saya apresiasi 3 dari 5 bintang.

"Makin banyak urusan seseorang, makin banyak pula orang itu akan berbuat kesalahan." (Hlm. 24)

"Perbuatan paling buruk bagi seseorang adalah berdusta. Begitu ia terdesak nanti, sehingga kata-katanya sendiri bertentangan, ia tak tertolong lagi. Paling benar adalah berbuat jujur, serta mengakui kesalahan. Sebab akhirnya kejujuran itu sangat menguntungkan. Orang jujur selalu dihormati di mana saja, ia puas dengan dirinya sendiri, dan ia bisa merasa bagai bayi yang baru lahir saat pergi tidur dan dapat berkata: 'Aku telah berbuat jujur lagi hari ini'." (Hlm. 97)

"Setiap sangkalan membuat pengakuan sulit." (Hlm. 138)

Meta morfillah

18 September, 2015

Amanah

"Faizaa faraghta fansoob [Q. S. Al Insyirah: 7]

Maka bila engkau telah selesai dari suatu urusan, tetaplah bekerja keras untuk urusan yang lain."

Jadi ingat perkataan Imam Hasan Al Banna kalau tak salah, bahwa hidup manusia merupakan sepenggal pagi dan malam. Tiap pagi dan malam berlalu, maka berkuranglah hidup manusia. Kita berjuang dalam helai nafas per detik.

Menurutku, hidup kita pun sebenarnya merupakan rangkaian amanah yang tak ada habisnya. Bahkan saat kita tak memegang amanah apa pun, sesungguhnya kita sedang menjaga amanah dari Tuhan: hidup kita sendiri. Tak lain adalah waktu.

Persis seperti ayat yang saya kutip di atas, bahwa kita bagai dalam permainan tentang amanah. Bila amanah diibaratkan sebuah batu di sungai, kita harus segera melompat dari satu batu ke batu lainnya untuk mencapai tujuan. Jangan berhenti terlalu lama. Bergegas dan lekas bila telah selesai dengan satu amanah. Dan tetaplah berusaha keras. Sebab sejatinya tak ada amanah yang mudah. Sekecil apa pun, akan dimintai pertanggungjawabannya di dunia dan akhirat. Dalam memegang sebuah amanah, coba letakkan visi jauh menembus apa yang kasat mata. Visi bahwa sejatinya kita sedang berurusan dengan Tuhan, sebagai wali urusannya di bumi.

Lalu kini, setelah amanahmu selesai, bersiaplah untuk amanah lain yang akan memilihmu. Ingat, bukan kamu yang memilih amanah, tapi amanahlah yang menghampirimu, bahkan meski kamu merasa tak pantas menerimanya!

Meta morfillah

[Review buku] Omerta

Judul: Omerta
Penulis: Mario Puzo
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Dimensi: 432 hlm, 18 cm, cetakan kedua 2001
ISBN: 979 655 795 9

Keputusan Don Zeno memilih Raymonde Aprille sebagai ayah pengganti bagi Astorre--anaknya yang berusia 2 tahun--merupakan keputusan yang tepat. Don Aprille membesarkannya dengan baik, tanpa melupakan darah mafianya. Bahkan, Astorre menjadi pelindung bagi ketiga anak Don Aprille; Valerius, Marcantonio, dan Nicole serta menjaga banknya. Terlebih saat Don Aprille pensiun, lalu tak lama kemudian dibunuh. Pembunuhan yang terlalu sepi untuk seorang pemimpin mafia. Bahkan polisi, FBI, dan jaringan mafia sekitarnya terlihat tak peduli dan bungkam. Selama enam bulan, Astorre paham bahwa kebungkaman itu adalah bentuk Omerta--Hukum tutup mulut Sisilia yang telah berabad-abad menjadi dasar ukuran kehormatan kalangan mafia. Tapi, Astorre pun paham bahwa dunia kini tak lagi sama seperti dahulu, tanpa integritas dan penuh keserakahan. Dengan uang, Astorre berhasil mengumpulkan informasi dan membuat lawannya melanggar omerta. Ia memegang kendali yang cerdas, licin, dan tepat hingga ia pun menemukan siapa pemilik motif yang menyewa pembunuh bayaran profesional untuk membunuh sang Don Aprille. Beragam intrik dan negosiasi ditempuhnya, berurusan dengan para pimpinan mafia; Timmona Portella, Inzio Tulippa, Michael Graziella, diplomat peru Marriano Rubio, hingga pihak kepolisian dan FBI yang korup. Untungnya dia pun memiliki orang kepercayaan yang juga dapat diandalkan dan dimintai nasihat seperti Octavius Bianco, Benito Craxxi, dan Mr. Pryor. Tentu saja, dunia mafia tak lepas dari kesenangan akan harta, tahta, dan wanita. Bumbu romansa pun hadir sepanjang jalinan cerita.

Meski pengemasan buku ini sebenarnya cukup membuat ngantuk--sebab kertasnya yang sudah menguning, berpotongan pendek dan kecil sehingga begitu tebal, serta margin yang rapat--bagi saya yang menyukai genre crime dan detective, tentulah buku ini tetap menarik. Alur ceritanya maju mundur, banyak kepentingan dan tokoh yang hadir, membuat konflik semakin meluas. Pemaparan beragam hukum mafia di Sisilia dan Amerika, serta akibat yang harus ditanggung bila melanggar seperti Fissolini--bahwa keluarga harus selalu berada di atas segalanya--pun menarik. Mungkin bila dijadikan film, akan menjadi film action yang keren.

Sebenarnya, untuk mengungkap siapa pembunuh Don Aprille dapat dengan mudah diketahui di perempat halaman pertama buku ini. Penulis tidak menyajikan twist yang membuat saya terkejut, tapi penulis pandai membuat saya betah dan tak bosan untuk terus menekuri halaman demi halaman cerita ini dengan gaya bahasanya. Endingnya pun tidak terlalu luar biasa dan menurut saya cukup happy ending untuk kisah bergenre ini.

Saya apresiasi 4 dari 5 bintang.

"Aneh bahwa seseorang tidak menyadari kefanaannya setiap detik dalam hidupnya." (Don Aprile, Hlm. 78)

"Dengan semua pengetahuan bukuku, aku tidak pernah bisa membaca kepribadian seseorang yang sebenarnya." (Rosie, hlm. 192)

"Jangan mengandalkan rasa terima kasih untuk kebaikan yang kaulakukan pada orang di masa lalu. Kau harus membuat mereka merasa berterima kasih untuk apa yang akan kaulakukan bagi mereka di masa depan." (Don Aprile, hlm. 279)

Meta morfillah

17 September, 2015

[Review buku] Kubah

Judul: Kubah
Penulis: Ahmad Tohari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Dimensi: 216 hlm, 20 cm, cetakan keempat september 2012
ISBN: 978 979 22 8774 5

Karman gamang. Sejujurnya ia merasa takut menghadapi kebebasannya setelah terpenjara begitu lama--12 tahun--di Pulau Buru yang terpisah ribuan kilometer dari kampung halamannya. Ia merasa begitu kecil, hina, dan rapuh karena beban dosa politik yang ia lakukan. Dua belas tahun di penjara, membuat Karman sadar bahwa dirinya telah begitu salah dan menyakiti hati orang-orang yang disayangi dan menyayanginya. Dalam kurun waktu itu pula, Karman telah kehilangan keluarganya. Istrinya telah menikah dengan lelaki lain, anak bungsunya meninggal, dan anak yang masih hidup tak mengenal dirinya. Kekosongan melanda jiwa Karman.

Di tengah pikiran buruk bahwa masyarakat desa Pegaten tidak akan menerimanya, terbit secercah harap saat Pak Haji Bakir--orang terpandang di desanya yang pernah dikhianatinya karena dia sendiri berpaling dari Tuhan--memercayakan padanya untuk membangun kubah masjid di desa itu. Totalitas dalam mengerjakan kubah masjid itu membuat Karman menemukan kembali dirinya dan martabat hidupnya. Perlahan, ia bersyukur bahwa masyarakat desanya begitu ramah dan pemaaf.

Novel ini, dikatakan terbit kali pertama tahun 1981 dan merupakan novel terbaik menurut Yayasan Buku Utama Kementerian P&K di masa itu sebab menjelaskan tentang tragedi pasca peristiwa 1965 yang ditulis paling awal dan berani untuk diterbitkan. Bagi sebagian masyarakat Indonesia ada luka yang mendalam bahkan hingga saat ini terkait peristiwa 1965 yang melibatkan partai komunis terbesar di indonesia saat itu.

Rangkaian hidup Karman yang dimulai dari masa kini lalu mundur ke masa lalu, berakhir lagi ke masa kini, ditambah cerita tentang konflik yang dialami istri dan anaknya cukup apik menegaskan konflik batin yang dialami tiap tokoh. Rasa bersalah serta kebodohan yang lahir dari keluguan yang dimanfaatkan pihak-pihak licik mungkin menggambarkan banyak perasaan masyarakat Indonesia di kurun masa itu. Pengkaderan partai yang memanfaatkan kelemahan rakyat jelata serta isu spionase, menyelusup ke dalam partai lain dan bermuka dua adalah gambaran politik indonesia di masa itu--atau hingga kini?

Judulnya sendiri, baru berkait di akhir cerita. Saat kubah masjid disimbolkan sebagai tobat dan penerimaan diri pendosa. Novel ini dengan gaya bahasa yang ringan, menyampaikan sesuatu yang sebenarnya cukup berat karena merupakan bagian dari kelamnya sejarah negeri ini. Namun kepiawaian penulisnya memang terbukti. Hanya saja, saya merasa klimaks endingnya masih kurang. Bagaimana kisah lanjut antara Marni dan Karman? Lalu, sosok Rudio yang tak dijelaskan lebih dalam mengenai perasaannya dan keputusannya memilih tinggal terpisah dari sang ibu. Terasa terlalu cepat selesai dan berakhir begitu mudah... tak seperti bayangan ketakutan Karman saat bebas.

Saya apresiasi 4 dari 5 bintang.

"Sebelum datang kematian, setiap orang akan mengalami satu di antara tiga cobaan; sulit mendapat rezeki, kesehatan yang buruk, dan hilangnya orang-orang terdekat. Yang kini sedang terjadi padamu, saya kira, adalah gabungan ketiga cobaan hidup itu. Luar biasa memang. Namun apabila kamu percaya dan berserah diri pada Tuhan, maka jalan keluar selalu tersedia. Jadi, hanya kepercayaan terhadap kebesaran dan kasih sayang Tuhanlah yang bisa membuat kamu tenang, tak merasa sia-sia." (Hlm. 27)

"Kelas penindas menggunakan agama sebagai candu untuk meninabobokan orang-orang tertindas agar terlena dan tidak menuntut hak-hak sosial mereka." (Hlm. 178)

Meta morfillah

[Review buku] The 100-year-old man who climbed out the window and disappeared

Judul: The 100-year-old man who climbed out of the window and disappeared
Penulis: Jonas Jonasson
Penerbit: Bentang
Dimensi: viii + 508 hlm, 20.5 cm, cetakan keempat november 2014
ISBN: 978 602 291 018 3

"Segala sesuatu berjalan seperti apa adanya, dan apa pun yang akan terjadi, pasti terjadi." (Hlm. 40)

Begitulah falsafah Allan Karlsson dalam menghadapi apa pun sepanjang hidupnya yang begitu panjang. Falsafah yang didapatnya dari sang ibu saat menerima kematian ayahnya. Yaa.. usianya menjelang 100 tahun, dan itu akan dilewatkan dengan perayaan meriah, sebab wali kota akan hadir, seluruh penghuni rumah lansia turut merayakan, dan pers akan meliputnya, jika saja ia tidak melompat dari jendela kamarnya. Satu-satunya orang yang tidak berniat datang ke pesta itu adalah dirinya sendiri yang berulangtahun. Tanpa pernah berpikir lama dan panjang dalam hidupnya, Allan kabur. Dimulailah sebuah perjalanan luar biasa yang penuh kegilaan.

Dari perjalanan itu, ia mendapatkan teman baru dan masa depannya dengan mengungkap masa lalunya yang ternyata memegang banyak peranan penting di abad kedua puluh. Tak ada yang pernah menyangka bahwa lelaki biasa, yang tampak sederhana, menyenangkan, tidak macam-macam dan tidak menyukai politik dan agama ini ternyata membantu menciptakan bom atom, berteman dengan beberapa orang penting seperti presiden amerika, tiran rusia, presiden korea utara, bahkan membuat pemimpin komunis di Tiongkok merasa berhutang budi padanya. Siapakah Allan Karlsson sebenarnya?

Novel ini sungguh menggelitik! Membacanya membuat saya puas tertawa. Pengemasan sejarah yang diceritakan dengan satir dan jenaka serta kadang memutarbalikkan fakta ternyata bisa begitu menghibur. Karakter Allan yang santai dan tidak pernah merasa penting padahal karena dirinyalah dunia berubah, tampak begitu ironis! Dari swedia, rusia, tiongkok, korea utara, himalaya, amerika, prancis, hingga Indonesia, para pejabatnya terkena cipratan sindiran satir sang penulis. Jujur, agak malu dan tersenyum miris mendapati seorang penulis swedia menggambarkan negeri tercinta ini.
"Seharusnya kau berkarier di Indonesia saja. Kau pasti akan berhasil di sana." (Perkataan Allan pada gambar Nixon di surat kabar, Hlm. 470)

Bahkan epilognya sungguh membuat saya ngakak!

Menjadi Allan, mungkin satu-satunya orang yang bisa mengalahkan keberuntungan si untung di serial donal bebek. Bahkan ungkapan 9 nyawa saja kurang untuk Allan. Betapa berpikir positif dan sikap pasrahnya sering menolong dirinya. Alur kisah yang maju mundur pun memberikan banyak twist tak terduga. Penulis begitu pandai menggiring pembaca perlahan-lahan pada kenyataan-kenyataan klimaks seorang Allan. Membuat saya tak habis pikir, bisa-bisanya penulis kepikiran membuat cerita seperti ini.

Lalu terbayang, bila berusia 100 tahun seperti Allan, akankah kita seberani Allan untuk 'memanjat keluar jendela' dan menghilang untuk bertualang? Atau mungkin, tak perlu menunggu 100 tahun, saat ini juga... apakah kita berani memanjat batas itu...

Saya apresiasi 5 dari 5 bintang.

"Begitu mencapai usia tertentu, lebih mudah merasakan kapan segalanya terasa benar." (Hlm. 351)

Meta morfillah

16 September, 2015

[Review buku] Bridging the culture gap

Judul: Bridging the culture gap - Komunikasi lintas budaya
Penulis: Penny Carte & Chris Fox
Penerbit: PT Indeks
Dimensi: xix + 217 hlm, 2006
ISBN: 979 683 788 9

Globalisasi banyak membuat perusahaan melampaui batas nasional yang akhirnya mempertemukan pelaku bisnis dengan ragam budaya yang berbeda. Hal itu membuat banyak sekali peluang untuk terjadinya kesalahpahaman dan konflik saat berkomunikasi. Untuk sukses secara internasional, sangat penting bagi para pebisnis untuk mengetahui apa saja hambatan-hambatan budaya, bahasa, dan pola pikir rekan kerjanya. Buku ini ditulis oleh dua orang pelatih yang paling berpengalaman dari Canning--perusahaan konsultansi internasional. Mereka membaginya menjadi tujuh bab, yaitu "Menginterpretasikan kebijakan kantor pusat", "Mengetahui posisi Anda", "Tahu batas", "Tata krama", "Melakukan presentasi", "Melakukan transaksi", dan "Mengenali diri Anda sendiri".

Dikemas dengan kasus-kasus menarik, skala kesadaran budaya, tes gaya komunikasi, dan tips-tips praktis, buku ini memudahkan pembaca untuk memahami dan berusaha menjadi komunikator yang lebih baik. Gaya bahasanya pun tak terasa kaku sebagaimana textbook umumnya. Saya merasa sedang membaca cerita alih-alih belajar ilmu komunikasi.

Menarik sekali mendapati bahwa hubungan antar manusia, komunikasi, waktu, kebenaran dan arti hidup di suatu negara yang dianggap bermoral, bisa jadi dianggap tidak bermoral di negara lainnya. Memacu diri untuk keunggulan diri sendiri bahkan dianggap sebuah tindakan sombong dan memecah belah di di Skandinavia dan Australia. Hingga mereka memiliki "Hukum Jante" dan "Tall Poppy Syndrome", di mana yang tertinggilah yang paling mudah diserang. Beragam ilustrasi perbedaan budaya yang disajikan dalam buku ini, menyadarkan saya bahwa tidak ada kebenaran absolut, semua bergantung pada situasi dan kondisi. Benarlah pepatah "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung." Akan tetapi bila kesulitan memahami semua budaya dalam waktu singkat, kembalikan pada hati Anda dan perasaan bagaimana Anda ingin diperlakukan secara manusiawi. Tentu saja bahasa tubuh memegang peranan besar dalam setiap pertemuan setelah verbal dan lisan.

Sayangnya, contoh yang banyak disampaikan berkisar pada negara Amerika, Inggris, Jerman, Prancis, Jepang, Arab, Swedia, Meksiko yang hampir kebanyakan berasal dari benua Eropa dan Amerika, hanya Jepang dan Arab yang mewakili sedikit budaya ketimuran. Penulis sendiri mengakui bahwa hal ini terjadi disebabkan dunia manajemen sendiri masih berkiblat pada Amerika. Sehingga kebanyakan tips komunikasi yang digunakan pun berasal dari gaya komunikasi dan budaya Amerika. Meski penulis berdua berasal dari Inggris.

Saya apresiasi 4 dari 5 untuk buku ini.

"Tidak ada penulis yang bisa sepenuhnya objektif membahas masalah perbedaan budaya. Anda sebagai pembaca juga tidak dapat sepenuhnya bersikap objektif. Cara Anda menafsirkan tulisan kami juga akan dipengaruhi latar belakang budaya Anda." (Hlm. Xvii)

"Bagaimana pun besarnya perbedaan budaya yang ada, rekan bisnis Anda adalah manusia biasa yang memiliki kebutuhan dasar yang sama dan perasaan seperti Anda. Perbuatan yang tampaknya sepele tapi mencerminkan kebaikan hati, empati, dan perhatian dapat memberi pengaruh yang terkadang lebih besar dalam menjaga hubungan baik dibandingkan dengan hadiah-hadiah yang mahal." (Hlm. 73)

"Sudut pandang seseorang selain memengaruhi bagaimana mereka berperilaku, juga akan memengaruhi bagaimana mereka menafsirkan perilaku Anda." (Hlm. 163)

Meta morfillah

[Review buku] Ashabul kahfi melek 3 abad

Judul: Ashabul Kahfi melek 3 abad
Penulis: Nadirsyah Hosen & Nurussyariah Hammado
Penerbit: Noura books
Dimensi: xx + 258 hlm, cetakan I september 2013
ISBN: 978 602 1606 03 2

Buku ini terbagi menjadi tujuh bagian berjudul "Ketika kedokteran dan neurosains mutakhir menjelajah al quran", "Kisah kang ujang dan kawan-kawan memahami al quran", "Sosok ilmuwan besar dari rahim al quran", "Saat akal sehat menjelajah al quran", "Saat al quran menggugah kalbu", "Puasa persembahan cinta", dan "Hati-hati dengan permata hati". Total terdapat 60 artikel atau cerita dalam buku ini. Ya.. ini adalah bunga rampai.

Gaya bahasa yang digunakan ringan dan mudah dipahami. Sayangnya, ekspektasi saya di awal membaca buku ini adalah sebuah kajian mendalam mengenai ashabul kahfi dan fenomenanya ditinjau dari aspek neurosains. Namun nyatanya itu hanya salah satu kisah pendek di buku ini. Penjelasannya pun tidak terlalu akademik dan tak terlalu memberi perspektif baru buat saya.  Menaruh harap pada kisah-kisah selanjutnya, yang ada saya malah merasa aneh dan sering berucap "Loh, kok!?" Sebab dari judul buku ini, ekspektasi saya tak lepas berharap besar peninjauan dark akademis kesehatan, nyatanya tetap saja kisah-kisah yang sudah berulang. Bahkan, kadang hanya menautkan kisah berdasarkan pemahaman penulis seperti cinderela dan ayat kursi. Yang sebetulnya menurut saya agak terlalu dipaksakan. Kurang pas untuk menautkan dengan konteksnya. Jadilah semakin membaca lebih jauh, saya merasa tak ada yang baru. Tidak ada solutif bahkan bau-bau akademis kesehatan. Saya merasa judul buku ini, hingga judul tiap babnya tidak sinkron dan konsisten dengan apa yang dibahas. Aneh.

Saya apresiasi 3 dari 5 bintang.

"Semakin Tuhan mencintai hambaNya, semakin berat cobaan dan ujian dihidangkan kepada hambaNya itu." (Hlm. 155)

Meta morfillah

14 September, 2015

[Review buku] Running for hope

Judul: Running for hope
Penulis: Dina Sikoembang
Penerbit: Bentang
Dimensi: viii + 236 hlm, 20.5 cm, cetakan pertama februari 2013
ISBN: 978 602 7888 15 9

Mona merasa kesal akan hidupnya. Seakan-akan kemiskinan adalah penyakit turunan atau warisan, yang begitu sulit untuk dipisahkan dari hidupnya. Meski keadaan keluarga tak mendukung, ia tetap berupaya untuk bisa kuliah. Gengsi pun kerap menjadi konflik batinnya di tengah beragam situasi yang harus membuatnya memutuskan pilihan yang tak mudah. Hingga ia berpikir haruskah ia berserah atau menyerah?

Perjalanan berliku memang tak mengantarkan dirinya dengan mulus untuk menggapai mimpinya. Tapi skenario Tuhan tetaplah yang terbaik. Sebab pada akhirnya ia menemukan apa yang benar-benar ia cari dan butuhkan. Meski tak sesuai apa yang ia inginkan. Begitu pula dengan kisah asmaranya dengan Timur yang terpisah jarak--Mona di Padang, Timur di Jakarta.

Novel ini bertujuan baik, ingin memberi inspirasi dan keyakinan untuk mengejar mimpi. Sayangnya, penyampaian gaya berceritanya menurut saya masih terlalu kaku, mentah dan terkesan menggurui. Bahkan cenderung datar. Sering saya harapkan ada klimaks konflik yang akan mewarnai cerita ini, namun penulis suka sekali mementahkannya kembali menjadi antiklimaks. Dan itu menyebalkan sekali buat saya. Jatuhnya jadi garing dan membuat tak menarik. Malah karena sudah tertebak dan merasa tidak terlalu penting, saya hanya scanning di beberapa halaman. Cukup saya sayangkan ide baik yang kurang digarap dengan baik, ternyata malah jadi membosankan.

Beragam testimoni tokoh yang cukup terkenal di cover belakang buku menurut saya pun tak sesuai. Kesan terharu, menyentuh, hingga menginspirasi tak saya dapatkan. Rasanya malah jadi ironi. Terkesan dipaksakan untuk membuat sedih. Sedih secara fakta, tidak dengan hati. Miris.

Saya apresiasi 2 dari 5 bintang.

Meta morfillah

[Review buku] Kambing dan hujan

Judul: Kambing dan Hujan
Penulis: Mahfud Ikhwan
Penerbit: Bentang
Dimensi: vi + 374 hlm, 20.5 cm, 2015
ISBN: 978 602 291 027 5

Pernah kudengar kalimat "Seringkali anak-anak harus menanggung dosa para ayah."

Mungkin sedikit ada benarnya kalimat tersebut terkait cerita dalam buku ini.

Adalah Miftahul Abrar--kelak kita panggil saja dia Mif--anak dari tokoh pemuka agama di Masjid Utara Centong, yang dididik ayahnya dengan pemahaman islam modern, jatuh hati pada seorang gadis. Tentu itu akan menjadi perkara biasa, bila saja gadis yang dicintainya bukanlah Nurul Fauzia--kelak kita panggil dia Zia--anak dari tokoh pemuka agama Masjid Selatan Centong, yang dididik ayahnya dengan pemahaman islam tradisional. Tak pernah ada sejarahnya kedua masyarakat--Utara dan Selatan--Centong berdamai dengan mudah. Sedikit saja perbedaan (ikhtilat) dalam ritual ibadah, memicu pergesekan antara keduanya. Semakin kentara dengan peneguhan organisasi Islam Nahdatul Ulama di Masjid Selatan dan Muhammadiyah di Masjid Utara. Jalan terjal dan rumit nyatanya tak membuat Mif dan Zia mundur untuk memperjuangkan cinta mereka, meski sempat keduanya berada pada titik terendah kuasa mereka, hampir nelangsa dan ingin kabur.

Nyatanya, di balik kisah cinta mereka, ada kisah lebih besar mengenai para ayah mereka. Kisah tentang persahabatan, luka hati, yang diwarnai agama dan kultural masyarakat setempat, serta tak dapat diabaikan konteks sejarah yang terjadi di masa lalu pun memengaruhi beragam keputusan yang bermuara pada perbedaan dua kelompok tersebut. Persis seperti kambing dan hujan, sesuatu yang hampir mustahil dipertemukan, sulit mencari titik temunya. Setelah mengetahui rahasia dan alasan para ayah mereka yang menyebabkan keadaan masyarakat Centong menjadi terbelah dua, Mif dan Zia semakin berat untuk melangkah. Jauh lebih berat dibanding sebelumnya saat mereka belum tahu perkara penyebabnya. Pada akhirnya, Allahlah yang menjadi sandaran, disertai derasnya doa dan usaha yang kian mengeras. Untuk membuktikan patutkah cinta mereka diperjuangkan, atau justru harus dikaramkan.

Saya kira keputusan novel ini dijadikan pemenang I sayembara penulis novel Dewan Kesenian Jakarta begitu tepat--meski saya tak tahu naskah pesaing lainnya seperti apa. Tapi novel ini memotret keadaan umat mayoritas--Islam--di negeri ini dalam miniatur desa bernama Centong--yang bahkan saya tak tahu letaknya di peta. Benarkah nyata ataukah khayalan penulis semata. Betapa perbedaan yang sebenarnya sangat wajar bisa berdampak besar bila tak pandai disikapi. Bahkan itu dalam satu kesatuan--dalam hal ini temanya adalah satu agama, yakni Islam. Penulis terang sekali menunjukkan melalui dua organisasi besar di negeri ini, NU dan Muhammadiyah. Diwarnai beragam nilai lokalitas desa Centong dan tentunya jangan pernah melupakan sejarah, masalah kecil pun tak bisa diselesaikan semudah membalik telapak tangan. Namun, pada kekuatan cinta, penulis menunjukkan bahwa masih layak dan patut dipercaya cinta adalah energi terbesar di dunia ini yang mampu meredam segala perbedaan--bukan meniadakan.

Gaya bahasa penulis pun begitu ringan, mengalir dan membuat saya tak ingin melepas buku ini sejak kali pertama membacanya. Meski ada beberapa kebingungan saat menebak siapakah tokoh yang sedang bercerita saat ini. Sebab, ada banyak pencerita dan penggunaan sudut pandang dalam cerita ini.

Saya rekomendasikan buku ini untuk dibaca. Saya apresiasi 5 dari 5 bintang.

"Orang tak akan bisa sama-sama terus. Masing-masing orang akan berubah. Masing-masing orang akan mendapati jalannya sendiri-sendiri, baik jalan hidup di dunia maupun jalan hidup di akhirat." (Hlm. 82)

"Kamu hendaki anak gadisnja, tentu harus pula kamu maui keluarganja." (Hlm. 150)

"Kalau maksudnya baik, tapi dilakukan dengan cara yang kurang baik, ujungnya akan tidak baik. Cara kadang tidak kalah penting dengan tujuan." (Hlm. 166)

"Kegagalan seorang guru adalah ketika murid yang dididiknya tetap saja menjadi seorang murid, tidak beranjak meningkat jadi seorang guru." (Hlm. 170)

"Orang-orang terbiasa menunggu ajakan. Dan, itu jelas tak boleh terjadi dalam sebuah organisasi. Ada komando ketua, tapi siapa pun semestinya ambil bagian dalam percaturan." (Hlm. 220)

Meta morfillah

Takut mati

Mati.

Setiap mendengar atau membaca kata itu, aku diliputi ketakutan.
Bukan takut membayangkan bahwa nanti aku akan bersemayam sendirian dalam tanah yang gelap dan sempit, yang menimbulkan klaustrophobia.
Bukan.
Justru aku amat menyukai kegelapan.
Tidak percaya?
Coba saja kaucek ponselku, laptopku, semua kusetting brightnessnya menjadi 0.
Hingga seringkali teman-temanku berkomentar saat meminjam pakai keduanya, bahwa settingannya terlalu gelap.
Aku sangat menyukai gelap.
Terlebih saat migrain melanda kepalaku, yang menyebabkan aku menjadi fotophobia.
Sedikit saja cahaya, mampu menusuk mata dan membuat kepalaku berdenyut hebat.
Sebaliknya, saat gelap pekat hingga tanganku tak terlihat, aku malah riang.

Mati.

Setiap mendengar atau membaca kata itu, aku diliputi ketakutan.
Perlahan aku menyadari hal yang paling membuatku ketakutan.
Saat aku tahu bahwa segala lakuku semasa hidup ternyata tak bernilai apa pun.
Kebaikan yang kulakukan ternyata tak tulus saat ditimbang amalnya.
Mungkin terselip riya', tak ikhlas, dan rasa lainnya.
Jerih payahku bahkan tak mengundang tangis orang yang kusayangi, yang kuharapkan akan merasa kehilangan saat sosokku telah tiada.
Yang jauh lebih kutakutkan adalah bahwa aku akan kehilangan rasa kehilangan.
Lupa akan rasa lupa.
Mungkin aku tak akan lagi merasa kehilangan akan dunia ini.
Aku akan lupa tentang kalian, tentang mimpi yang belum tercapai, bahkan tentang kebersamaan dan kenangan indah hidipku.
Aku mungkin akan terlalu sibuk merutuki diriku sendiri.
Sebab hanya dua pilihan.
Nikmat atau azab.
Surga atau neraka.

Mati.

Setiap mendengar atau membaca kata itu, aku diliputi ketakutan.
Sering kubayangkan, bagaimana perasaan mereka yang tengah menderita penyakit serius, yang telah divonis dokter bahwa hidupnya tak akan lama lagi.
Apakah mereka juga ketakutan sepertiku?
Sering aku bertanya-tanya, bagaimana rasanya memasuki usia 40 tahun lalu mulai menua perlahan, menjadi orang tua, sadar bahwa helai napasnya mulai menipis.
Apakah mereka juga memiliki ketakutan sepertiku?
Seraya aku sibuk dengan semua itu...
Aku merayap perlahan mendekati ketiadaan.

Mati.

Setiap mendengar atau membaca kata itu, aku diliputi ketakutan.

Meta morfillah

13 September, 2015

[Review buku] Jadilah istriku

Judul: Jadilah istriku
Penulis: Asma Nadia & BiruLaut
Penerbit: Lingkar Pena
Dimensi: 200 hlm, 18 cm, agustus 2005
ISBN: 979 3651 61 X

Duet Asma Nadia dan Birulaut yang menyajikan sepuluh cerpen tentang pernikahan ini benar-benar menggugah. Ringan dan begitu mengalir mengangkat permasalahan umum yang dihadapi dalam pernikahan. Membacanya tak membosankan meski isunya mudah ditebak.

Cerita pertama berjudul "Diet" berkisah tentang seorang istri yang mati-matian diet demi suami, namun sang suami dirasanya tidak peka. Cerita kedua berjudul "Jadilah istriku" berkisah tentang seorang istri yang bertahan setia meski suaminya menebar cinta pada wanita lain, twistnya saya suka di cerpen ini. Cerita ketiga berjudul "Krisdayanti" berkisah tentang permintaan aneh seorang istri yang ngidam anak pertama. Cerita keempat berjudul "Sepi" berkisah tentang penantian istri akan kehadiran seorang anak setelah 15 tahun pernikahan. Cerita kelima berjudul "Istri" berkisah tentang ragam kriteria istri di mata empat lelaki bujang.

Cerita keenam berjudul "Dia!" berkisah tentang kecemburuan seorang istri pada seorang janda muda yang aktif dalam kegiatan sosial. Cerita ketujuh berjudul "Kesempatan" berkisah tentang keikhlasan sepasang orangtua muda yang mengeja ikhlas saat menerima kondisi anak pertama mereka yang mengalami kelainan. Cerita kedelapan berjudul "Satu kecupan" berkisah tentang prasangka istri terhadap suaminya yang ganteng dan membuatnya resah. Cerita kesembilan berjudul "Kangen!" berkisah tentang perubahan seorang istri yang lupa akan keluarga sebab terlalu asyik meniti karier. Cerita terakhir merupakan kelanjutan kisah Bandi dan Nia dalam kumpulan cerpen sebelumnya 'Aku ingin menjadi istrimu', berjudul "Sebab cinta belum selesai" yang mengisahkan penantian Nia pada Bandi selama 6 tahun, padahal Bandi tak pernah menjanjikan apa pun.

Menurut saya kumpulan cerpen ini cukup komplit memotret beragam kisah dan konflik dalam rumah tangga. Menarik dibaca oleh siapa pun, terutama pria untuk memahami perasaan wanita.

Saya apresiasi 5 dari 5 bintang.

"Tapi, layakkah menghukum seseorang berdasarkan masa lalu?" (Hlm. 20)

"Bahkan seorang perempuan sederhana berhak merasa terluka." (Hlm. 28)

"Aku ingin kau orang terakhir yang kuajak bicara sebelum tidur." (Hlm. 145)

Meta morfillah

[Review buku] Aku ingin menjadi istrimu

Judul: Aku ingin menjadi istrimu
Penulis: Asma Nadia & BiruLaut
Penerbit: Lingkar Pena
Dimensi: 176 hlm, 18 cm, cetakan kedua februari 2005
ISBN: 979 3651 06 7

Sepuluh cerpen dengan tema cinta dan pernikahan, berselang-seling karya asma nadia dan birulaut. Cerita pertama berjudul "Ngambek", menceritakan fenomena pertengkaran suami istri yang biasa terjadi dikarenakan kesalahan komunikasi hal-hal kecil. Cerita kedua berkisah tentang perjuangan suami istri yang ingin membelikan rumah untuk anaknya, berjudul "Rumah buat langit". Cerita ketiga berkisah tentang seorang wanita yang setia memendam perasaannya pada seorang lelaki dan selalu berbisik "Aku ingin menjadi istrimu". Cerita keempat berkisah tentang kesetiaan suami yang teruji kala istrinya sakit, berjudul "Dan maknannya aku cinta".

Cerita kelima--pernah saya baca di buku sakinah bersamamu karangan asma nadia--berjudul "Mata yang sederhana" mengisahkan seorang suami yang ingin istrinya yang sederhana lebih merawat diri dan penampilan. Cerita keenam berjudul "Lebaran", berkisah tentang fenomena lebaran yang identik dengan pemborosan dan memaksakan harus memiliki segala yang baru. Cerita ketujuh berjudul "Klise" mengisahkan penemuan mencengangkan tentang ketidaksetiaan seorang ayah yang selama hidupnya dikenal begitu setia, hanya karena sebuah klise. Cerita kedelapan mengisahkan firasat seorang istri saat suaminya iseng dengan wanita lain, berjudul "Maaf". Cerita kesembilan mengisahkan dua orang yang saling memendam rasa hingga salah satunya berkeluarga sementara satunya setia menunggu, berjudul "Cinta begitu senja". Cerita terakhir berjudul "Modis" mengisahkan tentang suami yang terobsesi agar istrinya berpenampilan modis lalu pada akhirnya menyesali keputusannya.

Di antara kesepuluh cerita itu saya paling suka cerpen berjudul "Cinta begitu senja", "Klise", dan "Mata yang sederhana". Ketiganya karangan asma nadia.

Gaya bahasa kedua penulis sangat mengalir, ringan, dan mudah dicerna. Kekhasan asma nadia yang cukup puitis namun lugas disertai birulaut yang gemar memberikan twist di akhir membuat buku ini menarik dibaca. Isu-isu yang sebenarnya cukup serius bisa diramu menjadi cerpen yang ringan, tentunya karena kedua penulis berpengalaman dan jeli dalam melihat permasalahan di tiap cerpen.

Saya apresiasi 4 dari 5 bintang.

"Aku sering heran, mengapa Tuhan tak mengabulkan saja semua keinginan-keinginan kita."
"Karena tidak setiap keinginan selalu baik buat kita." (Hlm. 49)

Meta morfillah

Meta morfillah

12 September, 2015

[Review buku] Maaf, bila aku membencimu

Judul: Maaf, bila aku membencimu
Penulis: Nurhayati Pujiastuti
Penerbit: Lingkar Pena
Dimensi: 106 hlm, 18 cm, agustus 2004
ISBN: 979 98216 9 X / 979 3651 10 5

Menjadi seorang istri tidaklah mudah. Setidaknya itu yang dirasakan oleh Lies. Meski statusnya seterang purnama, bahkan ia telah memiliki anak berusia 5 tahun bernama Bunga, Baskoro yang lebih muda 5 tahun darinya tetap saja menyatakan keseriusannya dan ingin menikahinya. Semua ini terjadi sebab, Baskoro melihat sendiri perlakuan tidak baik suami Lies--Yus yang merupakan pelukis wanita telanjang--kepada Lies. Bunga sendiri lebih menyayangi Baskoro dibanding ayahnya yang gemar memukuli ibunya. Konflik batin tokoh utama semakin terasa saat ujian bekerja. Awalnya Lies disuruh melepas jilbab demi menjabat sekretaris. Namun kegigihannya mempertahankan jilbab itu--meski melawan kakak perempuannya--berbuah manis. Bahkan sangat manis, sebab bosnya yang masih lajang dan diincar banyak wanita ternyata juga serius mencintai dan ingin menikahinya.

Melihat novel ini diterbitkan tahun 2004, di mana konteks isu masih banyak perusahaan yang menolak karyawati berjilbab, membuat novel ini cukup bagus. Konflik batinnya sendiri, pergumulan seorang istri yang baru saja mereguk hidayah di dua tahun terakhir pernikahannya dan berusaha mengeja ikhlas membuat saya salut. Kalimat-kalimat pendek, ringkas, beragam tokoh berdialog dan cepat berganti semakin menghidupkan karakter tokohnya. Betapa tidak mudah mempertahankan sebuah komitmen pernikahan seorang diri, ditambah dua godaan yang begitu deras dan memiliki kubu pendukungnya masing-masing. Geregetan pun ada, saat saya membayangkan betapa naifnya sang tokoh, sekaligus kagum dan ingin menirunya. Hahaa... ironis ya!
Buku ini menyadarkan saya kembali mengenai pernikahan, bahwa tidak selamanya terlihat baik dan betapa harus diperjuangkan oleh keduanya. Sebab, bila sendiri akan begitu berat... maka pantas diganjar surga. Komitmen selalu menjadi hal terakhir yang menyatukan dua insan saat cinta hilang. Saat yang indah-indah dalam kepala ternyata harus runtuh pelan tapi pasti.

Saya apresiasi 5 dari 5 bintang.

"Tapi, terkadang yang baik memang bukan untuk kita, kan? Bertemu dengan orang baik tapi saya sudah bersuami dan komitmen istri terhadap suaminya toh harus dipegang teguh." (Hlm. 19)

Meta morfillah

[Review buku] Please look after mom

Judul: Please look after mom
Penulis: Kyung sook shin
Penerbit: Gramedia pustaka utama
Dimensi: 296 hlm, 20 cm, cetakan keempat april 2015
ISBN: 978 602 03 1540 9

Kisah diawali dengan hilangnya ibu di Stasiun Seoul. Saat itu musim panas, menjelang perayaan ulang tahun ayahnya yang akan dirayakan sekaligus dengan ulang tahun ibunya--yang sebenarnya sebulan setelah ulang tahun sang ibu. Sepasang suami istri tua itu berangkat dari desa ke kota demi mengunjungi anak-anak mereka yang telah dewasa dan sibuk, hingga tak bisa menjemput. Saat sang suami bergegas naik ke gerbong kereta bawah tanah dan mengira istrinya mengikuti di belakangnya, ternyata setelah beberapa stasiun, barulah ia sadar istrinya tertinggal di stasiun. Berbagai cara ditempuh untuk menemukan sang ibu/istri/ipar tersebut. Selama masa pencarian, satu per satu mereka teringat hal-gal di masa lalu yang kini membuat mereka menyadari betapa pentingnta peran sang ibu bagi mereka dan betapa sedikitnya mereka mengenali sosok sang ibu, bagaimana perasaannya selama ini, apa harapan dan mimpi-mimpinya.

Dalam lima bagian dan sudut pandang berbeda, penulis mengisahkan kenangan tentang sang ibu sebelum menghilang. Pertama, di mata Chi hon, anak perempuan sulung yang merupakan anak ketiganya yang berprofesi sebagai penulis ternama dan belum juga menikah. Dengan sudut pandang kedua, seakan pembacalah yang menjadi Chi hon, sosok ibu digambarkan dengan begitu tegar dan menyembunyikan sakitnya yang begitu serius seorang diri.

Kedua, dengan sudut pandang ketiga, penulis mengisahkan sosok ibu di mata Hyong Chol, anak lelaki sulung. Betapa banyak mimpi dan janji Hyong Chol untuk membalas budi ibunya yang terlupakan dan belum diwujudkan.

Ketiga, dengan sudut pandang kedua, penulis membuatmu seolah-olah menjadi sang ayah, atau suami dari ibu/istri yang menghilang tersebut. Perlahan suami tersebut menyadari akan peran besar istrinya yang selama ini setia melayaninya, meski ia pernah berkhianat.

Keempat, dengan sudut pandang orang pertama, mengambil sosok sang ibu yang hilang itu sendiri. Ia seperti roh yang melayang dari tubuh yang sekarat, sedang mengunjungi orang-orang yang disayanginya. Bahkan, ia menyimpan sebuah rahasia. Dosa termanisnya, bahwa ia membangun persahabatan dengan seorang lelaki duda yang perlahan juga ia cintai. Namun keduanya tetap saling menjaga kehormatan meski saling merindukan. Juga perasaan sesungguhnya pada sang anak perempuan kedua, si bungsu yang kini telah menjadi ibu tiga orang anak di Amerika; kakak iparnya yang lebih seperti ibu mertuanya; suaminya; dan anak-anaknya yang lain. Bahwa ia menyadari waktunya sudah dekat untuk meninggalkan dunia ini.

Kelima, dengan sudut pandang kedua, penulis mengakhiri kisah ini dari sudut pandang Chi Hon yang juga memulai kisah dengan sudut pandangnya. Tentang kepergian Chi hon ke santiago dan akhirnya menemukan rosario dari kayu merah yang dipinta ibunya sebelum menghilang. Rosario khusus dari negeri terkecil, yakni vatikan. Setelah 9 bulan ibunya menghilang, kali pertamanya ia berupaya untuk merelakan dan berdoa pada Tuhan, "Kumohon, Jagalah Ibu."

Penulis begitu cerdas memainkan alur dan tak tanggung menggunakan semua sudut pandang: pertama, kedua, dan ketiga. Alur maju mundurnya pun begitu mengalir. Konflik batin dan beragam hubungan kekeluargaan yang digambarkan terasa realistis. Berkali membuat saya tertegun, serasa #ngejlebb. Saat membacanya pun, hati saya terasa diiris, pedih, dan membuat saya menangis.

Saya rekomendasikan buku ini untuk dibaca. Saya apresiasi 5 dari 5 bintang.

"Kau tidak pernah berhenti menyebutnya Ibu. Sampai sekarang, setelah Ibu hilang. Saat menyerukan kata 'Ibu', kau ingin percaya bahwa dia sehat-sehat saja. Bahwa Ibu tetap tabah, tidak kebingungan. Bahwa Ibu adalah orang yang ingin kaupanggil setiap kali kau sedang menghadapi masalah di kota ini." (Hlm. 27)

"Bagaimana kau bisa hidup kalau tidak menaruh percaya pada orang lain? Lebih banyak orang-orang yang baik daripada yang jahat!" (Hlm. 92)

"Kata orang, rumah yang di dalamnya ada orang tua bisa kelihatan dari luar. Katanya rumah itu menjadi bau. Perempuan bisa mengurus diri sendiri dan tetap hidup, tetapi laki-laki jadi sengsara kalau hidup seorang diri. Bahkan, kalau pun kau ingin hidup lebih lama, setidaknya jangan lebih lama daripada aku. Kau akan kuberi pemakaman yang layak, lalu aku akan mengikutimu ke alam baka--aku bisa." (Hlm. 168)

"Rumah adalah benda yang sangat aneh. Benda-benda lain jadi semakin usang kalau sering digunakan, tetapi tidak demikian halnya dengan rumah. Bahkan rumah yang bagus pun akan hancur dengan cepat kalau tidak ada yang mampir mengunjunginya. Rumah hanya terasa hidup kalau ada orang-orang yang tinggal di dalamnya, menyentuhnya, menjadi penghuninya." (Hlm. 245)

"Kau membandingkan dirimu dengan Ibu, akan tetapi Ibu sungguh tak bisa dibandingkan dengan apa pun." (Hlm. 286)

Meta morfillah

[Review buku] Trilogi Soekram

Judul: Trilogi Soekram
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: Gramedia pustaka utama
Dimensi: v + 273 hlm, cetakan pertama maret 2015
ISBN: 978 602 03 1478 5

Sesuai judulnya, buku ini memuat tiga kisah tentang Soekram. Seorang tokoh yang menggugat pengarangnya sebab sang pengarang keburu meninggal sebelum menyelesaikan tulisannya. Artinya, Soekram merasa digantung.

Di cerita pertama berjudul "Pengarang telah mati", Soekram menuntut agar ceritanya diselesaikan dan dipublikasikan melalui teman si pengarang yang telah mati, yakni editornya. Ceritanya sendiri berlatar belakang kerusuhan bulan Mei tahun 1998 disertai konflik asmara antara Soekram dengan Ida, Soekram dengan Rosa, dan Soekram dengan istrinya.

Di cerita kedua berjudul "Pengarang belum mati", dikisahkan sang editor bertemu kembali dengan pengarang pencipta tokoh Soekram yang ternyata belum mati. Pengarang tersebut menggugat editor untuk menerbitkan cerita tentang Soekram yang telah dibuatnya hingga tuntas. Ceritanya tentang Soekram dan konflik keluarganya. Ayahnya penganut partai banteng, adiknya cenderung ke gerakan revolusi dan ia sendiri tergabung dalam partai nasionalis, tapi pasif dan apatis. Belum lagi kisah asmaranya dengan Maria yang berbeda keyakinan.

Di cerita terakhir, berjudul "Pengarang tak pernah mati", Soekram geram membaca cerita tentang dirinya yang dituliskan oleh pengarang yang ternyata belum mati itu. Akhirnya ia memutuskan untuk menuliskan sendiri kisahnya. Yaa... Soekram tokoh rekaan yang berniat menjadi pengarang atas kisahnya sendiri, sehingga pengarang tak akan pernah mati. Cerita dalam kisah ini sungguh menarik. Sebab berkelindan dengan kisah robohnya surau kami karya A.A. Navis, Kartini, Semar, dan Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Bahkan Soekram sendiri sempat bertemu dengan Marah Rusli. Lalu Soekram sempat kebingungan sendiri dengan identitas dirinya sebagai tokoh atau pengarang.

Ide ceritanya begitu menarik. Mengangkat tentang hubungan antara penulis dengan tokoh fiktif karangannya sendiri. Lucu yang mikir! Ditambah isu-isu yang disampaikan sebagian besar merupakan sejarah. Jika saja pembacanya tak membaca atau tahu tentang isu zaman dahulu yang dipakai pengarang, mungkin ia akan kesulitan menemukan apa menariknya buku ini. Terlebih di cerita ketiga. Saya banyak tertawa, membayangkan tokoh-tokoh itu diciptakan dan diubah sesuai keinginan Soekram. Alur cerita dibolak-balikkan, tidak sesuai cerita awal mula. Sungguh cerdas.

Gaya bahasa eyang sapardi seperti biasa, datar, dengan kalimat panjang-panjangnya. Selalu saya lebih suka puisi beliau dibandingkan cerpen atau novelnya. Tapi di buku kali ini, saya suka temanya.

Saya apresiasi 4 dari 5 bintang.

"Aku tahu, kau akan tetap terselip di antara huruf-huruf dalam buku yang kubaca, di antara butir-butir udara yang kuhirup, bahkan di sela-sela sel darah yang menghidupkanku. Aku tetap percaya kepada kata, kepada huruf." (Hlm. 72)

Meta morfillah

10 September, 2015

[Review buku] Find LOVE

Judul: Find LOVE
Penulis: Adityarakhman
Penerbit: de teens
Dimensi: 296 hlm, cetakan pertama januari 2014
ISBN: 978 602 255 461 5

Julian tidak pernah menyangka bahwa kalimat yang selalu digaungkan ayahnya--Herbert Dalton--memiliki misteri yang dalam. Find love! Ternyata merupakan sebuah rencana besar yang digagas oleh mafia besar bernama Mancore. Bahkan nama mancore sendiri pun menyimpan sebuah rahasia. Hingga semua tampak jelas di usia dua puluh tahun, lalu menyebabkan Julian depresi dan menyesal karena telah meninggalkan love yang lain, yakni ibunya. Penyesalan itu berujung maut. Julian membunuh ayahnya sendiri dan berusaha menguak misteri love lainnya bersama Larsson. Meski itu membahayakan diri dan keluarga yang sangat dicintainya--Maiki, Clarissa, dan Angeline.

Sungguh penulisnya pandai meramu ide yang menurut saya keren karena saya menyukai genre detective. Sayangnya, menurut saya beberapa bab terasa tak jelas alurnya, karena tak mencantumkan kurun waktu dan menumpuk sehingga membuyarkan saya akan kejelasan kronologisnya. Menyisakan kebingungan. Meski twist yang ingin disampaikan penulis cukup mengena--terutama di endingnya--tapi karena penyampaiannya yang terasa dangkal, sehingga saya merasa tidak wow! Sayang sekali... seandainya diramu lebih baik, pasti saya akan memberi 5 bintang.

Sementara part angeline dan rommedahl sendiri menurut saya tidaklah terlalu penting dan terkesan tempelan. Saya merasa pernah membacanya. Dan ternyata setelah saya ingat-ingat dan membaca kata pengantar novel ini, barulah saya sadar. Bahwa saya memang pernah membaca part angeline dan rommedahl dalam bentuk cerpennya, dan saya suka. Saya membacanya dari teman saya yang mengikuti kampus fiksi angkatan 2, yang ternyata memang berteman dengan penulis novel ini. Menurut saya jauh lebih bagus part  itu dilepas sebagai cerpen saja. Terasa kurang menyatu saat dimasukkan ke dalam novel ini, meski mungkin novel ini lahir dan merupakan perpanjangan dari cerpen itu.

Secara teknis bahasa, gaya bahasa penulis cukup bagus. Puitis, ringkas, mudah dipahami. Layout dan pengemasannya pun cukup cantik. Tapi ada beberapa kesalahan teknis seperti kurang spasi di sebuah kalimat.

Saya apresiasi 3 dari 5 bintang.

"Bermimpilah, karena mimpi-mimpi yang tercetus begitu saja dari bibir kecil akan terbang jauh dan terbang semakin tinggi, lalu hinggap pada sebuah bintang. Nun jauh di langit sana mereka dapat melihat mimpinya menggantung seraya tersenyum. Dan mimpi selalu menunggu sang pemilik mengambilnya." (Hlm. 53)

Meta morfillah

09 September, 2015

[Review buku] Love lock

Judul: Love lock
Penulis: Pia devina
Penerbit: GagasMedia
Dimensi: vi + 298 hlm, 13 x 19 cm, cetakan pertama 2014
ISBN: 978 979 780 714 6

Rhine belum bisa melupakan kejadian pahit yang membuat papa mamanya bercerai 7 tahun lalu. Ia membenci seorang perempuan dari masa lalu ayahnya. Ditambah lagi pertunangannya dengan Willy pun kandas karena kehadiran perempuan dari masa lalu willy. Sungguh masa lalu menyergap langkahnya untuk menata masa depan yang seharusnya begitu cerah tergenggam. Demi menenangkan dirinya, ia pun memutuskan resign dan mengajak papanya berlibur kembali ke jerman untuk menemui mamanya. Sayang, takdir berkata lain. Papanya berhalangan, momen yang ia harapkan untuk melihat lagi keluarganya utuh pun kembali kandas.

Sebagai gantinya, agar liburan rhiena tetap berjalan, papanya yang begitu menyayanginya menitipkan ia kepada mario. Lelaki muda yang berprestasi dan merupakan kepercayaan papanya tersebut pun tak bisa menolak saat dititipi rhiena. Perjalanan Mario ke Jerman pun bukan sekadar perjalanan bisnis, melainkan menyusuri jejak masa lalu perempuan yang dicintainya: mama erika.

Perjalanan yang awalnya canggung, perlahan mencair bahkan mencapai puncak kedekatan antara rhiena dan mario. Mereka berdua tanpa sadar saling mengisi dan muncullah tunas perasaan baru. Namun, masa lalu kedua orangtua mereka yang berkelindan menyeruak hadir dan memupuskan segala cita cinta itu.

Dari awal saya tertarik membaca buku ini adalah karena covernya yang menunjukkan foto gembok di besi jembatan. Saya tidak tahu namanya, tapi saya amat terkesan akan tempat ini karena film "Now you see me". Sebelum membaca buku ini, saya kira lokasi jembatan yang dikenal dengan mitos padlocknya itu adalah di Prancis. Ternyata ia terletak di Jerman, tepatnya di kota Cologne, Jembatan Hohenzollern yang dilewati sungai rhine. Tempat yang sempat saya catat dalam hati, setelah menonton film, bahwa saya ingin mengunjunginya dan melihat berapa banyak gembok yang terpasang di sana, dan kunci yang dibuang ke sungai rhine hingga mungkin mendangkalkannya. Ya, itu semua karena mitos yang mengatakan bahwa pasangan yang memasang gembok terkunci dengan tulisan nama mereka di pagar jembatan, lalu kuncinya dibuang ke sungai rhine dikabarkan akan menjadi pasangan yang abadi.

Menurut saya itulah titik kuat novel ini. Sebab dari alur cerita mudah tertebak, meski penulis berusaha memainkan alur mundur maju dan dari semua sisi dengan PoV orang ketiga. Gaya bahasanya pun biasa saja--meski setiap di awal bab selalu dicantumkam lirik lagu berbahasa inggris yang menurut penulis connect ke bab itu--sehingga membuat saya kadang agak bosan dan melewati narasi yang terlalu deskriptif.

Saya apresiasi 3 dari 5 bintang.

"Mungkin, banyak dari cerita cinta yang berakhir perih karena dibayang-bayangi oleh kisah dari masa lalu." (Hlm. 59)

"Dua orang bisa bersama karena kedua hati mereka saling memilih untuk bersama, bukan?" (Hlm. 142)

Meta morfillah

Text Widget