Pages

17 January, 2014

Kota Hujan

Kudatangi hujan ke kota asalnya. Ya, kota yang terkenal dengan nama masa lalu Buitenzorg. Rasa ingin tahuku yang terlalu tinggi membuatku menjejakkan kaki di kota ini. Bukankah segala sesuatu akan lebih spesial, lebih murni jika kau datangi ke kota asalnya? Maka inilah yang sedang kulakukan. Aku ingin memaknai hujan dari titik mulanya. Dari kota tempat asalnya.

Kota ini nampak sama dengan kota asalku. Suasana metropolitan masih tampak. Tak selugu yang aku bayangkan. Hanya celotehan orang-orang yang lalu lalang, yang menyadarkanku di mana aku sedang berada kini. Celotehan khas tanah padjajaran. Kata temanku, jangan mencari hujan di kota. Pergilah ke sudut kota yang masih belum terjamah manusia. Maka bergegaslah aku menuju salah satu tempat yang sudah disediakan oleh temanku. Tempat meresapi hujan.

Bertukar dua kali angkot, berganti sekali ojek motor, akhirnya sampailah aku di rumah sederhana itu. Tanah baru namanya. Karena memang tanah ini baru saja ditemukan di peta kota itu. Menarik sekali. Sebuah bagian yang terlupakan dari kota asal hujan ini. Suasananya masih sangat asri, hijau dan belum padat. Tak jauh dari sana ada ladang tebu yang cukup luas. Temanku bilang, jangan sekali-kali ke ladang tebu itu jika sudah lewat pukul lima sore. Kegelapan yang pekat akan menerjangmu, dan banyak sekali ular pohon di sana.

Pukul satu siang, aku tiba. Setelah menggelar tikar pandan, aku mulai menunggu. Tiada makanan cemilan atau pun minuman, aku hanya menunggu saja. Menunggu apa? Ya menunggu hujan, tentunya. Lumayan lama. Hujan baru datang pukul empat sore. Kedatangannya didahului oleh semilir angin dingin, langit yang berubah kelabu dan suara guntur bersahutan. Seperti orkestra yang diawali musik intro. Keren!

Setelah musik intro--kira-kira lima menit--berlalu, hujan menari dengan ritmis. Merayu-rayu mataku untuk mengantuk. Tak berhasil. Kesal mungkin, hujan menjelma lebat. Ia menderas, didukung oleh angin yang semakin kencang, guntur yang kian menyalak dan langit yang meredupkan diri. Seluruh pohon menari bersama hujan. Udara kian dingin, membuatku gigil. "Apa yang membedakan hujan di kota asalnya dan di kota lain?" Batinku.

Aku belum menemukan perbedaannya selagi hujan berkutat pada deras tariannya. Hingga perlahan hujan kelelahan, lalu ia mereda. Guntur berhenti menyalak, angin kembali sepoi dan langit mencerahkan dirinya. Tak juga aku menemukan bedanya.

Esok lusa, dengan pemahamanku yang bertambah baik, aku akan menemukan perbedaannya. Hujan ketika di kota asalnya, begitu meraja. Ia selalu turun sesuka hatinya. Bahkan tiada hari tanpa hujan. Seakan hujan menjelma denyut kota itu.

Oh ya, satu lagi! Hujan tak pernah dicaci di kota ini.

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget