Pages

02 January, 2014

Sumur, kesadaran & kematian

Kematian itu begitu dekat.

Yaah.. kesadaran itu selalu ada, tapi selalu hilang saat kau menghadapinya langsung.

Seperti siang ini, di rumahku yang terletak di Bogor. Tiga ponakan tercintaku menginap untuk liburan bersama neneknya tercinta, it means my lovely mom. Hanya ada mama, udaku yang disabilitas, tiga bocah lelaki yang tak dapat diam, dan tentunya aku. Satu-satunya orang dewasa yang dapat diandalkan menurut mereka.

Selesai memasak--baru saja aku melepas penat dengan bercengkerama di grup WA membahas tentang tipe psikologi manusia sembari memilihkan film anak-anak yang pas untuk tiga bocah itu--tiba-tiba terdengar teriakan dari galih--ponakan keduaku.

"Tetaaaaa... daffa niih daffa!!!" lalu ia menghambur masuk ke kamar dan menarikku.

Bersamaan dengan teriakan histeris lain dari mamaku "Ya allah, metaaaaaaaa!!! Tolongin iniii!!!"

Bergegas aku menuju sumber suara, yang ternyata berasal dari samping rumah. Kulihat ada yang janggal, sumur terbuka dan benda-benda di atasnya--seperti papan dan banner yang menutupinya--hilang. Mamaku berteriak-teriak sembari menunjuk ke arah sumur itu. Matanya merah, menangis tak karuan. Dua ponakanku terlihat pucat dan memegangiku. Saat aku melongokkan kepalaku ke dalam sumur yang lumayan dalam itu, barulah aku sadar. Ponakan pertamaku, daffa, terjatuh ke dalamnya. Ia berusaha menahan tubuhnya dengan merentangkan tangan dan kakinya sekuat mungkin, agar tak terjatuh lebih dalam.

Hal pertama yang kulakukan adalah, berkata dengan suara--yang diusahakan--tenang pada ponakanku, "Mas daffa, tenang. Jangan nangis. Baca al fatihah,"

Lalu pada mamaku, "Mama masuk ke dalam rumah. Duduk diam, minum dulu sana. Bawa zahir juga ke dalam. Galih, panggil orang lain di luar, teriak minta tolong yang kencang."

Sementara itu, otakku berpikir cepat mencari apa saja yang dapat menjangkau daffa di kedalaman sumur itu.

Seutas tali tambang disodorkan mamaku. Langsung saja kulemparkan ke bawah. Daffa sudah menangis menjerit-jerit. Ia ketakutan. Aku juga.

Beruntunglah, tak lama kemudian datang seorang lelaki muda menolongnya. Ia masuk ke dalam sumur itu dan meraih daffa, dibantu seorang bapak yang meraih lelaki itu ke atas.
Mama sibuk mengomel sembari menangis histeris pada daffa. Aku pergi mengambilkan minum untuk daffa yang berlumuran lumpur. Lalu kumandikan ia, dan kuobati luka-luka di sekujur badannya dengan betadine.

Setelahnya, kutenangkan mama. Mama terlihat begitu lemah dalam usianya. Gemetaran sekujur tubuhnya.
Satu jam kemudian, barulah ia tenang dan sudah bisa tertawa saat aku melucu.

Tahukah kamu?

Sesungguhnya aku tak dapat berpikir jernih jika pada saat itu aku sendiri. Namun kesadaran itu datang begitu cepat! Bahwa aku adalah satu-satunya orang dewasa yang sehat jasmani rohani yang diandalkan oleh mereka. Mana boleh aku terlihat gemetar, menangis dan kebingungan?

Aku harus tenang. Walau di pikiranku, kelebat kematian membayangi dan perasaan bersalah semakin menghantui.
Jika terjadi apa-apa pada daffa, entahlah bagaimana aku bertahan. Pasti akan kusalahkan diriku yang tak mampu menjaganya, memperhatikan tiga bocah itu saat bermain. Jika terjadi apa-apa pada mamaku, tak dapat kubayangkan betapa rapuhnya aku menghadapi mama yang begitu lemah dan kehilangan kekuatannya karena shock hampir saja kehilangan cucu tersayangnya.

Ah, kesadaran, kematian, berulang-ulang menghantam, menggodam kepalaku.

Kami masih berbicara banyak "keuntungan" dari kejadian ini.
Untung sumur itu, airnya tidak sedang penuh dan dalam.
Untung listriknya tidak hidup.
Untung ada orang yang mampu menolong.
Untung daffa tidak apa-apa.
Dan untung-untung lain yang membuat kami bersyukur.

Ya Tuhan, memang kami makhluk paling lalai. Kesadaran kami seringkali hilang saat menghadapi kenyataan, terutama kematian.

Tapi, kejadian ini memberikanku pelajaran. Tetaplah ingat Tuhan, tetap tenang, dan tetaplah jadi satu-satunya orang yang berusaha tenang. Sebab dengan ketenangan itulah, masalah mampu kau pecahkan, walau sesungguhnya kamu pun tak sehebat itu. Kamu rapuh, tapi demi orang terkasih, jangan perlihatkan emosi berlebih. Karena kamu adalah tumpuan mereka.


meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget