Pages

17 January, 2014

Senandung Kecewa

Kamu lelaki kesekian, yang jujur mengungkapkan bendera putih untuk memperjuangkanku. Terima kasih, karena kamu telah meminta ijinku untuk pergi, ke luar dari hidupku. Walau masih tetap berada di lingkaran hidupku. Terima kasih, telah lugas menyerah dalam kedamaian dan kesadaranmu untuk menjadikanku wanitamu. Tenang saja, semua akan kembali seperti sedia kala. Kita akan baik-baik saja. Ini bukan kali pertama untukku.

Mungkin butuh waktu buatmu. Tapi ketahuilah, dalam bab aku dan kamu bertemu, semoga ada pembelajaran yang kamu ingat seumur hidupmu. Setidaknya jujurlah, walau itu pahit. Walau kebanyakan wanita lebih menyenangi kebohongan yang manis dibandingkan kenyataan pahit dari mulutmu, tapi aku lebih memilih kepahitan itu sendiri. Setidaknya pahit seperti obat, meracuni tapi menyembuhkan bila tepat meramu dan menakar dosisnya. Daripada ragam hal yang manis, lalu menjadikanmu obesitas kemudian komplikasi penyakit yang makin parah.

Terima kasih, telah singgah dalam persinggungan hidupku. Tidak, ini tidak berakhir. Kita hanya saling berjalan mundur, ke titik asal. Untuk menelaah lagi, ke arah mana seharusnya kita berjalan. Menyadari, seberapa jauh kita telah tersesat. Bukan tidak mungkin pula, di suatu waktu yang akan datang... Kita akan menjadi kawan, lawan atau bahkan dua orang yang tak pernah saling mengenal.

Lihatlah tulisanku ini, betapa hebat sebuah rasa. Mampu menciptakan aliran kata. Maka, pilihannya menikmati atau meratapi? Dan aku memilih pilihan pertama. Selamat menikmati, lirih senandung kecewaku untuk kali kesekian.

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget