Pages

21 January, 2014

Belajar itu

Belajar itu memang bisa di mana saja, kapan saja, dengan siapa saja, melalui peristiwa apa saja.

Yaa.. Hari ini entah mengapa, mulai dari kitab berisikan firman Tuhan yang saya baca pagi ini hingga perkataan-perkataan selentingan dari rekan kerja, teman main, chat, dan sebagainya merujuk pada satu hal.

Menjaga hati.

Di kitab Al Qur'an surah Luqman ayat 13, saya terpekur dan berulang kali membaca terjemahannya. Saya garisbawahi pada kalimat:
"Yaa bunayya laa tusyrik billah"
Artinya: wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah.

Kalimat nasihat dahsyat dari seorang ayah pada anak lelakinya. Rasanya, saya seperti ditegur kembali akan keimanan saya. Menyadarkan saya, bahwa mungkin doa-doa saya yang belum terkabul disebabkan adanya dosa syirik kecil pada diri saya. Mempersekutukannya dengan ramalan, atau hal lainnya. Secara tidak sengaja, dengan perkataan lain yang membuat saya yakin akan terjadi, melampaui takdirnya.

Lalu dari kata-kata rekan kerja saya yang sedang diambang perceraian setelah puluhan tahun menikah dan memiliki beberapa orang anak.
"Terus jaga hati, Met. Lebih baik menunggu orang yang tepat daripada menghabiskan waktumu dengan orang yang salah."

Saya terdiam mendengar nasihatnya. Lalu tak lama tersenyum tulus. Yaa.. Saya tersenyum tulus dan bahagia, karena rekan tersebut terbukti memperhatikan dan menyayangi saya. Ia menasihati saya di saat yang tepat, kemungkinan ia melihat saya agak gegabah dengan memaksakan diri menuruti keinginan orang tua tanpa memperhatikan kebahagiaan saya sendiri. Walau restu itu penting, namun hidup sepenuhnya ada di kendali kita. Maka yang menentukan bahagia atau tidak, adalah kita. Mungkin tidak selamanya kita mampu menuruti apa yang diinginkan orang tua. Seperti pekerjaan, jodoh, materi, dan lainnya. Namun kita masih bisa menegosiasikannya, agar kebahagiaan kita selaras dengan kebahagiaan orang tua. Toh, semua orang tua pasti akan bahagia melihat anaknya bahagia.

Lalu ucapan selewat teman kampus saya:
"Jujur itu sakit, tapi apa lo mau terus terbuai kebohongan?"

Sudah dua orang teman saya yang tak sengaja mengatakan kalimat dengan nada serupa pada saya. Di situasi bercanda, namun dalam maknanya bagi saya. Yaa.. Kenyataan memang pahit, tapi lebih baik kita sadar itu daripada terus terbuai dalam kebohongan. Manis memang, namun lama-lama membuat eneg, obesitas dan mematikan.

Bukan dari siapa yang penting, kalimat-kalimat itu tersampaikan pada saya. Yang penting adalah, APA yang disampaikan kalimat-kalimat itu. Maknanya, hikmahnya, pembelajarannya.

Demi zat yang jiwaku ada di tanganNya, aku diajarkan melalui berbagai perantara.
Demi zat yang begitu mudah membolak-balikkan hati, terima kasih begitu besar.. Membuatku sensitif akan ajaranMu yang meneguhkanku kembali.
Demi zat yang mampu menjadi tempat penghiburan di kala aku sedih dan tempat bersandar di kala aku kelelahan, sesungguhnya hambaMu yang sedang terombang-ambing dalam ketidakpastian ini begitu bersyukur mendapatkan nikmat kecerdasanMu.

Jika kamu mau sadari, begitu banyak ayat-ayatNya yang terbentang sebagai pertanda. Tinggal kitalah yang menentukan, mau memikirkannya atau tidak? Mengambilnya sebagai pembelajaran atau mengabaikannya?

Sebab belajar itu memang bisa di mana saja, kapan saja, dengan siapa saja, melalui peristiwa apa saja.

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget