Pages

30 October, 2015

[Review buku] Jingga dan Senja

Judul: Jingga dan Senja
Penulis: Esti Kinasih
Penerbit: Gramedia
Dimensi: ebook, no ISBN, 267 hlm

Sebelumnya, saya tidak tahu kalau ternyata ini adalah buku pertama dari trilogi Jingga dan Senja. Sehingga memang terasa agak lama atau sengaja dipanjang-panjangkan alurnya, yang membuat saya merasa aneh. Sebab saya suka karya esti kinasih, dan biasanya novel teenlit garapannya tetap menarik dan langsung menuju konflik. Kali ini tidak... dan di beberapa part malah terasa aneh, kurang logis, dan agak memaksa.

Cerita dalam novel ini hampir mirip sebagaimana tokoh utama dalam karakter tulisan esti. Di mana laki-lakinya selalu macho, tampan, dominan dan wanitanya tidak terlalu populer, tapi manis, baik, lalu lama-lama menentang. Persis fairish, cewek!, dan still. Kali ini bersetting di sebuah SMA Jakarta yang kerap tawuran dengan SMA tetangganya. Tokoh cowok bernama Ari yang tampan, atletis, tajir dan cool terhadap cewek, merupakan raja geng dan paling disegani serta dikenal sebagai biang kerok. Hingga guru pun sudah menyerah. Berawal dari perjumpaan pertama saat upacara, di mana Ari menyelinap di barisan kelas sepuluh, yakni kelas Tari. Seorang cewek yang begitu tergila dengan pernak-pernik berwarna oranye dan matahari, yang serupa namanya.

Hubungan mereka menjadi rumit, saat Tari didekati oleh Angga, pentolan SMA lawan, yang merupakan musuh bebuyutan Ari dan geng. Tari pun menjadi rebutan. Uniknya lagi, kebetulan yang amat jarang terjadi adalah kemiripan nama mereka. Nama lengkap Tari adalah Jingga Matahari, dan Ari adalah Matahari Senja. Sungguh bagaikan benda dan bayangan.

Menjelang tiga perempat bagian novel, muncullah sosok Ata yang mengenalkan dirinya bahwa ia adalah kembaran Ari. Bernama lengkap Matahari Jingga dan tinggal di Bogor. Perlahan Tari merasa lebih nyaman dengan Ata dibandingkan dengan Ari. Hingga saat nomor Ata dihapus oleh Ari dari ponselnya, Tari begitu sedih. Namun Ari menangkap ada kesedihan lain, dan itulah yang menjadi ending novel ini serta premis awal novel sekuelnya.

Ada beberapa adegan yang saya merasa terlalu kebetulan dan aneh. Misalnya saat perjumpaan pertama kali dengan Ari, mengapa Ari begitu baik melindungi Tari dari terik matahari, di saat dia begitu cuek pada wanita? Pun saat perjumpaan pertama dengan Ata, yang terlalu kebetulan dengan setting mall, tapi hanya karena Tari melihat ke dia terus, dia langsung menyimpulkan bahwa Tari dekat dengan Ari. Untuk kasus saudara kembar yang terpisah begitu lama, menurut saya itu absurd. Belum lagi saat beberapa kali Ata dan Ari saling menghubungi via telepon. Terlalu berbarengan, dan menurut saya ribet bila apa-apa harus via Tari, mengapa tidak langsung saja. Kecurigaan saya anat besar, bahwa sosok Ata itu adalah Ari yang menyamar. Tapi saya yakin, bahwa ada sosok Ata yang sesungguhnya, beserta luka lama Ari yang belum terkuak di novel ini.

Untuk karyanya kali ini, saya kurang merasa greget, tak seperti esti kinasih yang biasanya. Mungkin karena ini adalah trilogi, yang seperti saya bilang di awal. Terpaksa dipanjang kata...

Tapi untuk ukuran teenlit, penulis masih jadi favorit saya. Emosi tokoh dalam tiap penggambaran adegan, masih bisa saya rasakan nyata. Bagaimana kesalnya, mau nangis, melawan, malu, sedikit tersipu romantis, kadang membuat saya tersenyum sendiri.

Saya apresiasi 3 dari 5 bintang.

Meta morfillah

2 comments:

  1. Review yang menarik Meta. Jadi pengen deh buku gue direview Meta juga.. :)

    ReplyDelete

Text Widget