Pages

26 October, 2015

[Mentoring] Kisah sebuah apel

KISAH SEBUAH APEL

Minggu, 25 Oktober 2015
Bu Efi

Di siang yang begitu terik, seorang pemuda yang wara' (hati-hati) menemukan sebuah apel tengah hanyut di sungai. Didesak rasa lapar dan haus, ia pun mengambil apel itu lalu memakannya. Di tengah kenikmatan menyantap apel, pemuda tersebut sadar bahwa ia belum meminta izin untuk memakan apel tak bertuan tersebut. Dengan sisa apel yang belum dimakannya, saking ia menjaga diri dengan sifat wara'nya, ia pun berusaha menelusuri asal apel tersebut. Ia menyusuri sungai dan sampailah di sebuah kebun apel. Ia yakim, bahwa dari kebun itulah apelnya berasal.

Ia pun bergegas menemui pemilik kebun untuk meminta izin sembari memperlihatkan sisa apel yang telah dimakannya. Ia sangat berharap pemilik kebun apel tersebut meridainya. Namun, saat bertemu, pemilik kebun tidak mau menerima maafnya. Pemilik kebun malah menyuruhnya memuntahkan kembali apel yang telah ia makan. Ia pun menurut. Setelah muntah, ia pun bertanya kembali apakah ia sudah dimaafkan atau belum. Ternyata pemilik kebun belum mau memaafkannya, sebelum dia membayarnya dengan menggembalakan kambing milik pemilik kebun selama 10 tahun. Dengan berat hati, namun ia tak ingin dirinya disiksa api neraka karena apel yang tidak diridai, maka dijalankanlah hukuman tersebut.

Selang 10 tahun kemudian, ia pun menghadap ke pemilik kebun dan bertanya lagi, apakah ia sudah dimaafkan. Pemilik kebun berkata bahwa ia akan dimaafkan bila ia mau menikah dengan putri pemilik kebun yang cacat, bisu, tuli, dan buta. Berat sekali hatinya, hanya demi maaf gara-gata sebutir apel, dia harus menerima hukuman berat tersebut. Tapi sikap wara'nya memaksa ia untuk memenuhi permintaan tersebut. Ia pun menikah tanpa pernah bertemu atau melihat sang mempelai wanita. Hingga saat setelah akad, ia memasuki sebuah kamar yang di dalamnya ada mempelai wanitanya sedang menanti, ia pun terkejut. Sebab mendapati seoranf wanita cantik, sempurna tanpa cacat. Ia merasa salah kamar dan berlari menemui mertuanya. Ia menceritakan apa yang dialaminya, dan menanyakan di mana istrinya yang cacat, buta, bisu, dan tuli yang telah dinikahinya. Sang mertua pun tersenyum dan menjelaskan, bahwa wanita cantik itulah istrinya. Wanita itu bisu, buta, dan tuli karena tak mulut, mata, dan telinganya tak pernah digunakan untuk hal-hal yang haram.

Betapa bahagianya sang pemuda. Barakah dari sifat wara' itu pun terlihat dalam pernikahannya. Ia dikaruniai seorang anak tampan, cerdas, dan saleh yang di usia 7 tahun telah menghafal Al Quran. Anaknya kelak kita kenal sebagai Imam Syafi'i, yang juga begitu menjaga dirinya dengan sifat wara'.

Renungan:
Poin yang dikritisi kali ini adalah betapa pentingnya sebuah IZIN.
Semoga kita tidak begitu menggampangkan/menyepelekan/memudahkan terhadap pengajuan izin/maaf. Dalam kasus keseharian kita, seperti liqo ini contohnya. Ada adab izin bila tak dapat menghadiri liqo. Bukannya mempersulit orang untuk mengaji, tapi kita harus mencoba menghormati adab izin yang telah disepakati. Tidak keluar masuk seenaknya. Cobalah konsisten dengan adabnya. Izin bila tidak dapat hadir karena uzur yang syar'i. Agar kita sama-sama berusaha menghargai yang lain. Coba melobi dengan pindah jam/hari, kecuali terpaksa sekali uzurnya dan tidak memungkinkan untuk hadir. Ada yang berusaha memperjuangkan, dan ada yang berusaha mengorbankan.

*catatan sepahaman penulis

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget