Pages

29 October, 2015

[Review buku] Jangan main-main dengan alat kelaminmu

Judul: Jangan main-main dengan alat kelaminmu!
Penulis: Djenar Maesa Ayu
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Dimensi: ebook, 122 hlm, no ISBN

Ini adalah kali pertama saya membaca karya Djenar. Meski sering mendengar namanya yang cukup kontroversial, sebab ia dan ayu utami seringkali diidentikkan dengan sastra basah dan isu feminis. Pernah juga saya membaca cuplikan karya mereka dalam kritik sastra Helvy Tiana Rosa di bukunya yang berjudul "Segenggam gumam".

Buku ini sendiri merupakan kumpulan cerpen. Ada 11 cerpen yang isu utamanya berkisar pada perempuan, seks, dan pengkhianatan. Karakter tokohnya selalu mewakili keterasingan, kesepian, pengkhianatan, termarginalkan secara moral dan tentunya merupakan sosok yang kebanyakan dianggap negatif dan berperilaku tabu di masyarakat.

Dalam cerpen "Jangan main-main dengan alat kelaminmu!" dan "Staccato", saya menemukan gaya menulis kreatif yang mudah namun kuat, yaitu berupa pengulangan. Di JMDAK, pengulangan tersebut diulang hingga empat kali, mewakili empat tokoh, dan baru tertebak di tengah kalimat atau penghujung--kecuali tokoh istri, karena ia yang paling berbeda. Semua memakai sudut pandang orang pertama "saya". Sempat membuat saya terkecoh, mengira ada kesalahan teknis setiap di bagian kedua dan ketiga, yang ternyata berbeda tokoh. Awalnya saya hanya mengira tiga tokoh yakni suami, simpanan, dan istri. Ternyata tokoh kedua yang saya kira kesalahan teknis adalah tokoh sahabat suami.  Sedangkan di staccato, lebih menarik lagi, karena hanya penggalan ingatan dalam frase yang perlahan sempurna menjadi kata. Persis bagaikan seseorang yang hangover di pagi hari dan berusaha mengingat kejadian yang dialaminya semalam.

"Mandi sabun mandi" menjadi unik dengan menghidupkan karakter meja dan cermin di sebuah motel murahan yang menjadi saksi komitmen rapuh dalam sebuah hubungan gelap. Bahkan di endingnya, tercipta twist yang menunjukkan hal tersebut.

Agak ironis bila mengingat cerpen "Moral" yang disindir penulis dengan tajam. Moral diperdagangkan murah dari harga seribu, tiga ribu, hingga diobral lina ribu tiga di DPR! Kalah sama harga rok mini sejuta sekian.

"Menyusu dengan ayah" adalah cerpen kesukaan saya di buku ini. Tokohnya yang sedari--bahkan sebelum--lahir memiliki ingatan kuat tentang peristiwa di sekitarnya. Begitu polos, naif, dan bodoh, mencoba mengganti kerinduannya akan sosok ibu dengan sosok ayahnya. Namun pengingkaran sang ayah, menjadikannya salah arah dan malah dimanfaatkan oleh teman-teman ayahnya, hingga ia bernasib sama dengan ibunya dan mengulangi nasibnya sendiri melalui calon anaknya.

Dalam "Cermin" penulis mengkritisi hubungan ibu dan anak yang terlihat hangat namun ternyata dangkal. Sindiran pun terasa dalam kalimat "...menatap cermin tanpa mau melihat bayangannya."

"Saya adalah seorang alkoholik" menggunakan teknik penulisan rewind yang cukup menarik. Kegelisahan dan nasib yang tak jelas ujung pangkalnya bagi seorang alkoholik dan pelacur yang sudah sering aborsi, tetap merasa kesepian meski ada perkumpulan rehabilitasinya.

"Saya di mata sebagian orang" berkisah tentang pelacur yang mengidap HIV, namun tetap saja berprasangka baik pada pelanggannya yang ia anggap teman. Malah ia menggugat masyarakat yang menganggap dirinya negatif dan menyalahkannya terus.

"Ting!" cukup mencitrakan tokoh sedikit baik dari sekian cerpen di buku ini. Seorang pelacur yang sedang cuti dan merutuki kilasan hidup serta pandangan orang yang berpapasan di dalam lift. Namun semuanya sirna saat ia disambut oleh kejernihan suara anaknya.

Impian murni yang diharapkan sebuah benda mati seperti "Penthouse 2601" harus ternoda oleh ulah para manusia yang disindir penulis dalam kata yang cukup vulgar, seperti binatang.

Cerpen terakhir adalah "Payudara Nai-nai" yang menjadi konflik sepanjang cerita. Sebab kontras doa yang terkandung dalam namanya dengan kenyataan yang dihadapi.

Secara keseluruhan, saya suka sekaligus sebal membaca buku ini. Suka akan teknik penulisan, gaya bercerita, pilihan kata dan judul, serta isu yang diangkat. Tapi saya juga sedikit jemu dan agak sebal pada tokohnya yang hampir mirip semua dan yang ditekankan memang lebih banyak perihal seksnya. Persis seperti yang dikontroversikan orang-orang. Namun, ada beberapa hal yang bisa saya jadikan pelajaran untuk dicoba dalam praktik menulis saya yang mungkin cukup monoton dan terlalu putih.

Saya apresiasi 4 dari 5 bintang.

"Yaa...bertahan, bukankah hanya itu yang saya lakukan di separo perjalanan hidup yang melelahkan?" (Hlm. 65)

"...karena ternyata tidak semua orang mampu bercerita." (Hlm. 117)

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget