Pages

07 June, 2017

#Day14 Tabah

#Day14 TABAH

Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

(Puisi "Hujan bulan Juni" - Sapardi Djoko Damono)

Mengapa harus bulan Juni?
Saat puisi ini ditulis, tahun 1989, siklus muson barat (hujan) dan muson timur (kemarau) masihlah stabil. Sebagaimana ingatan saat kita sekolah dulu hujan terjadi mulai bulan September-Februari. Juni, adalah saat hujan paling jarang berkunjung ke bumi.

Maka, maknanya menjadi dalam... betapa hujan menjadi tabah sebab ia patuh pada titah Tuhannya saat diperintahkan merahasiakan rindunya pada bunga, menghapus jejaknya di jalan, dan membiarkan perasaannya tak terucap. Hujan bulan juni bagai ramadhan bagi mukmin.

Saat mukmin jatuh hati, namun tak ia tampakkan hatinya sebelum Allah meridhai dalam pernikahan. Ia hapus jejak hatinya pada jalan yang meragu (mendekati zina). Ia biarkan rasanya terpendam dan hanya terserap akar bunga, sebelum ia mampu mengikat dalam akad. Bukanlah mukmin menelantarkan rasa, melainkan ia mengikat rasanya dengan iman. Bila ia belum mampu untuk mengikat dengan akad.

Di bulan ramadhan pula, mukmin belajar menjadi tabah bagai hujan bulan juni, menahan diri dari yang halal. Membatasi, meskipun halal, sebab Allah memerintahkannya begitu. Aah... mukmin, kalianlah hujan bulan juni. Kalianlah sosok tabah dalam puisi itu.

Tetaplah tabah, menunggu saat berbukamu. Berbuka dalam hal sebenarnya di kala maghrib, berbuka dalam makna kiasannya setelah penantian panjang, dan berbuka dalam makna sejatinya saat Allah membuka tabirNya dan memanggil nama kita sebagai hambaNya.

Meta morfillah

#Nulisrandom2017

No comments:

Post a Comment

Text Widget