Pages

25 May, 2015

Sebulan tentang kemunduran

Bogor, 25 Mei 2015

Besok, tepat sebulan saya berdiam diri di rumah. Tepat sebulan sejak saya resmi resign dari kantor, demi menemani mama di Bogor. Tepat sebulan saya mencoba menjejakkan kaki di kota baru ini. Tepat sebulan saya dihinggapi kegelisahan. Tepat sebulan saya menahan ego, mencoba bertindak seakan hidup saya baik-baik saja. Nyatanya belum. Semua belum baik-baik saja.

Di usia saya saat ini, pertanyaan terbesar saya adalah dua hal. PR yang selalui menghantui saya untuk menemukan jawabannya. Bermuara, sebab saya hampir lelah. Dua hal itu adalah karir dan jodoh. Keduanya memiliki karakteristik yang hampir mirip bagi saya, tapi berbeda. Perkara jodoh, saya tidak terlalu memusingkan sebab saya pun sudah menyiapkan skenario terburuk dalam pikiran saya, bahwa hidup bukanlah bertujuan untuk menikah, melainkan untuk beribadah. Saya bisa mengalihkan perhatian saya tentang itu, melalui berbagai ibadah lainnya. Tapi, untuk karir, saya masih bodoh. Sebulan ini, saya merasa bagai benalu di keluarga. Tak bekerja, rasanya bagai sebuah aib bagi saya. Meski saya masih mencari penghasilan dengan berjualan parfum dan pulsa dari sisa tabungan saya, tapi itu belumlah cukup. Penghasilan itu tidak tampak, sebab memang itu hanyalah ibadah lain saya, bukan bermaksud menjadi bisnis utama.

Keterbatasan mobilisasi saya di bogor, sebab tak diizinkan mengendarai motor membuat saya sedikit stress. Bagaimana saya mau mencari peluang pekerjaan, bila saya hanya diam di rumah? Tak paham, tak kenal dengan sudut kota ini. Kenalan saya di bogor pun terbatas dan tak begitu membantu. Berbeda sekali dengan di jakarta. Contoh kecil, saat saya pulang kemalaman, ada banyak kenalan yang bisa saya hubungi untuk mengantar pulang ke rumah. Paling banter, bisa naik taksi. Tapi di bogor, saya merasa sendiri. Tiap kali pulang lewat dari maghrib, saya was-was. Siapa yang akan saya hubungi untuk mengantar saya ke rumah. Di sini tidak mudah mendapatkan taksi atau ojek untuk masuk ke gang rumah. Seringkali saya menangis saat mengalami situasi inj. Betapa saya jadi begitu sensitif dan selalu membanding-bandingkan dengan kota jakarta. Mungkin itu karena saya begitu terbiasa dan menyayangi tanah kelahiran saya itu dengan segala kekurangannya. Saya merasa bahwa jiwa dan diri saya masih di sana. Pergerakan saya ada di jakarta, bukan di bogor. Tapi saya berupaya sok menjadi pahlawan. Menemani mama. Sementara hati saya tidak tenang. Mau bilang pisah ke mama, saya tidak tega. Tapi berdiam diri di rumah, meminta uang pada mama begitu melukai harga diri dan perasaan saya.

Apa yang harus saya lakukan?

Beberapa hari terakhir saya sempat berdebat dengan mama tentang pekerjaan. Sebab ada beberapa tawaran mengajar, dan saya menolaknya. Di mata mama dan keluarga saya, tindakan saya itu aneh dan tampak tidak logis. Mengapa menolak menjadi guru, padahal sesuai background sarjana saya yang memang S.Pd. Tapi sejujurnya, itu bukanlah passion saya bekerja. Bidang pendidikan bukan semata harus menjadi guru. Saya senang mengajat orang, tapi bukan dalam sebuah sistem seperti sekolah. Saya lebih suka mengajar lepas, tanpa membuat orang merasa tertekan untuk belajar. Itulah mengapa saya kurang sreg menjadi pengajar di sekolah, sebab sistem pendidikan di indonesia masih saja shallow learning, bukan deep learning. Para guru seperti mengejat target, persis marketing. Tapi, saya salut pada mereka yang menjadi guru. Mereka sanggup menanggung beban moral itu. Tidak seperti saya yang pengecut. Jujur saja, saya lebih memilih jadi admin atau pekerjaan standar lain daripada menjadi guru.

Lalu pada malam ini, saya kembali merenung. Apalagi ikhtiar yang harus saya lakukan? Saya memberi batas minimal 3 bulan dan maksimal akhir tahun ini untuk keadaan seperti ini. Menganggur. Bila memang tidak ada pekerjaan untuk saya selain mengajar atau bekerja di bank, maka saya dengan berat hati bilang ke mama bahwa saya akan hidup sendiri di jakarta.

Ya allah... aku tak tahu skenario dan rencana terbaik apa yang Engkau siapkan dalam hidup ini. Tapi aku belajar, dengan tertatih mengeja ikhlas. Meski kutahu, ini bukanlah ikhlas, sebab masih ada ketidakrelaanku, suka membanding-bandingkan, dan kadang menyalahkan keadaan. Tapi, aku belum pernah kecewa dalam berdoa dan bergantung padaMu. Tunjukkanlah cahaya itu, saat pekat mulai menggelapkan pikiranku.

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget