Pages

18 November, 2013

Ada surga dalam diri mamaku

I’m just a little girl, lost in the moment
I’m so scared, but I don’t wanna show it.
Just enjoy the show.
(Lenka-The Show)


Aku ingin pulang. Harus secepatnya pulang, menuju sebagian besar hatiku yang kutitipkan pada mama di Bogor. Aku tahu batin dan ragaku menuntut untuk beristirahat sejenak. Ibarat mobil balap, aku harus masuk pit stop segera, bila masih ingin meneruskan perjuangan di balapan tersebut. Maka dengan nekat aku memutuskan pulang dan tak memikirkan esok sejenak. Meliburkan diri yang tidak produktif ini.

Sesampainya di rumah, mama menyambutku tanpa terkejut.

“Mama sudah punya feeling kamu mau datang malam ini.”

Demi Tuhan, apa yang tidak kau ketahui tentang anakmu ini, Ma? Bahkan semua orang bertanya-tanya akan alasan kepulangan dan keberadaanku—termasuk kakak.

“Mama sudah buatkan teh manis hangat dan risol. Makan dulu sana.”

Inikah surga? Tanpa kupinta, segalanya tersedia di depan mata.

Selepas berganti pakaian, aku menikmati teh hangat penuh cinta itu dengan khidmat. Menyesap dan memaknai tiap doa yang terangkum di dalamnya. Tak lama mama menghampiriku di kamar dan terdiam memandangku.

“Siapa yang ganggu kamu?”

DEGG!

Pertanyaan yang sama untuk kali kedua, di situasi berbeda. Seketika aku merasakan déjà vu. Mama pernah bertanya seperti itu, persis setelah beberapa hari Bapak meninggalkan aku untuk selamanya. Bedanya, dahulu aku “kecil” dalam keadaan menangis di kamar tengah malam. Tersadar bahwa aku tidak lagi memiliki bapak. Sedangkan aku “besar” saat ini di dalam kamar juga, namun tidak menangis. Aku sudah jarang menangis. Tapi masih luka yang sama. Luka karena ditinggalkan oleh orang yang kusayangi sepenuh hati. Salahku juga, membuatkan mereka ruang di hatiku—yang kini harus kubuatkan prasasti.

“Gak ada. Kenapa memangnya?”

“Pasti ada apa-apa, sampai kamu ke sini padahal besok masih kerja. Tapi ya sudahlah, istirahat saja. Kamu memang butuh istirahat, terlalu banyak kegiatan akhir-akhir ini yang mama lihat.”

Lalu mama pergi meninggalkanku. Tidak memarahiku ketika mendapati aku masih terjaga hingga pukul 01.00 pagi. Tidak menceramahiku untuk salat malam, mengaji dan hal lainnya yang biasa mama lakukan.

Yaa... mama adalah makhluk tercerewet di muka bumi ini—bagiku. Kadang aku terlalu “gerah” untuk mendengarkan ceramahnya, sering mengabaikan. Sering protes karena ceramah mama tidak sesuai dengan gejolak darah mudaku yang sedang mencari makna kehidupan. Tak jarang kami sering berdebat, beradu argumentasi. Mama terlalu “lurus” menurutku, hingga sering kali aku mencoba mematahkannya. Mencoba mendebatnya dengan alasan jaman kami yang berbeda, perkembangan IPTEK dan berbagai inovasi yang membentangkan jarak manusia konvensional dan manusia modern. Tapi semua selalu berakhir dengan kepalaku yang mengangguk-angguk seperti patung selamat datang di restoran Jepang yang terkenal itu. Itulah mamaku, wanita yang hanya mengenal dunia “putih”. Walau Tuhan menempanya dalam cara yang abu-abu bahkan kadang hitam.

Mama benar-benar memahami bahwa aku membutuhkan kesendirian—privasi. Hal ini terbukti, ketika subuh ia membangunkanku dengan lembut untuk salat subuh. Padahal itu pukul 05.15 pagi—waktu yang sudah sangat siang baginya untuk salat subuh—tapi mama tidak berteriak atau menyiramiku dengan air yang dingin kali ini. Setelah salat pun, aku tidur lagi. Puas. Terbangun pukul 07.30 tanpa dibangunkan oleh mama. Padahal di hari biasa, boro-boro boleh tidur lagi abis subuh. Bisa-bisa aku diceramahi sepanjang hari.

“Anak gadis gak baik tidur terus. Nanti aja puasin tidurnya pas mati.”

“Mau jadi istri sama ibu macam apa kalau kamu bangunnya siang? Tar yang nyiapin sarapan siapa? Kamu ini pemalas sekali!”

“Rejeki itu datang berlimpah di pagi hari. Udara masih segar, sana bebenah!”

“Jangan kebanyakan ngeluh. Manusia hidup ya memang capek. Orang mati aja capek, tidur terus!”

Yaah... semacam itulah bunyi nasehat yang sering digaungkannya padaku. Membuat telingaku panas, tapi memang semuanya benar sehingga kembali aku diam dan mengangguk-angguk. Ah... mama itu tak pernah salah. Karena ia telah merasakan semua yang dikatakannya. Ia berkata dan mencontohkan. Memaksaku meneladaninya secara tersirat atau pun tersurat dalam kesehariannya. Mama adalah kompetitor sejatiku. Bagaimana nanti aku akan mengalahkannya dalam cara mendidik generasiku nanti. Akankah aku seberhasil dia hingga menghasilkan diriku yang seperti sekarang? Akankah aku mampu memiliki kepekaan, pengorbanan dan cinta kasih sebesar dirinya? Ia memperlihatkannya dalam menjamu tamu, berbagi dengan orang lain dalam keterbatasannya. Walau kadang hatinya tersakiti karena ditipu, dimanfaatkan atau pun dibodoh-bodohi, tetap saja ia terus melakukannya. Sampai kami anak-anaknya kadang jera dan gemas dengan kebaikannya.

“Lebih sering mengurusi orang lain dan melupakan anak-anaknya. Dibiarkan lapar, yang penting berbagi. Dan tidak boleh kelihatan sedang kesusahan.”

Itu yang sering kami keluhkan dulu. Tapi sekarang aku mulai mengerti keindahan semacam itu. Mama sedang memanen hasilnya saat ini. Bukan untuknya, tapi untuk kami—anak dan cucunya. Mama seperti menanam kebaikan dan membiarkan kami yang menuai. Ia hanya tersenyum tanpa berharap menikmati. Ah, mama! Menyebalkan sekali membicarakan tentangmu. Tak akan cukup air laut bila kujadikan tinta untuk menggambarkan sosokmu (okesip, ini hiperbola. Tapi suka-suka aku lah. Ini kan ceritaku dan mama. *subjektif penulis*)

Ah… mama… mama… mama… menuliskan kisah keseharian kita bahkan menjadi obat mujarab bagiku. Aku menikmati kepulanganku kali ini. Terima kasih, Ma… telah memilihku untuk menjadi titipan yang harus kau jaga hingga akhir hayatmu. You’re really my paradise, my guardian angel, my life.


With love,
Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget