Pages

13 November, 2013

Dialog

“Ma, apa yang sangat kau inginkan dalam masa senjamu?”

“Benarkah kau ingin tahu, Sayang?”

“Ya, jujur padaku sekali ini saja, Ma. Apa yang PALING kau inginkan dalam masa senjamu?”

“Baiklah…”

“…”

“Yang paling aku inginkan… adalah tetap bersama anak-anakku. Semakin senja, aku akan semakin bertingkah seperti anak kecil. Itu fitrah. Aku akan kembali seperti bayi. Dalam masa senjaku, mungkin aku akan banyak berdosa. Dosa karena aku akan banyak berbohong. Mengapa? Karena aku menutupi keinginanku yang egois. Aku akan berusaha tampak tegar dan baik-baik saja di hadapan anak-anakku. Ketika kau meminta ijin untuk pergi bertugas, aku akan menjawab iya, padahal hatiku sangat enggan melepasmu. Saat kau pergi jauh di sana, aku akan rajin bersujud di sini. Di enam petak ubin, mendoakanmu. Berharap engkau akan kembali secepatnya dan tidak pergi-pergi lagi. Kembali menemaniku. Ketika kau memutuskan untuk mandiri, entah itu ngekost atau ketika datang jodohmu kau memutuskan untuk berpisah denganku, aku akan kembali berbohong. Aku akan bilang aku mampu hidup sendiri. Aku akan terlihat menyibukkan diriku dengan membaca, menjahit atau mengerjakan pekerjaan rumah seperti aku baik-baik saja. Padahal sepi itu—jangankan terbunuh—terusir pun tidak. Tak jarang kadang aku merasakan ngilu pada tulangku. Namun aku akan tetap tersenyum padamu dan menyembunyikannya. Berharap kamu tak cemas atau menganggap aku adalah bebanmu. Saat kau menikmati hidupmu dengan kawan, pasangan, dan sosialita kehidupanmu, di sini aku menantikan sebuah telinga yang bersedia mendengarkan keluhanku yang semakin menumpuk. Aku akan sangat merindukan kehadiranmu. Sekadar hadir saja. Diam. Namun ada di hadapanku. Bahkan aku akan merindukan kicauan mulutmu yang tak berhenti bercerita. Aku akan menjadi pendengar yang baik tanpa pernah menyela. Mengapa? Karena dengan begitu kau mengingatkanku bahwa aku masih diperlukan di sini. Aku masih hidup. Aku tidak ditinggalkan. Andai kau tahu, Sayang… bukan penyakit yang membunuh kami—para orangtua—dengan cepat, melainkan kesepian. Karena kesepian akan membunuhmu dengan perlahan dan menyiksa, memburamkan eksistensimu lalu kemudian kau serasa batu kerikil di jalan, yang tak diindahkan lalu lalang pejalan. Bahkan tak jarang kau akan ditendang untuk disingkirkan karena mengotori jalan. Hanya itu yang kuinginkan. Sederhana namun rumit bagimu. Semoga kau tak mengalami atau pun merasakannya sedikit pun di masa senjamu, Sayang. Suatu hal yang wajar, anak-anak yang kau besarkan sibuk bertumbuh dan berkembang sementara kau sibuk menua. Mereka selalu lupa itu. Bahwa tak ada hari esok untuk kami—para orangtua.”

“…”

“…”


With love,
Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget