Gadis menanggapinya dengan
keraguan. Ia ragu masuk ke dalam rumah itu. ia tak kenal siapa pun. Tapi Jaslim
sangat bersemangat sekali mengajaknya tinggal beramai-ramai dengan empat belas
penghuni lainnya. Daripada mengekos sendirian dan jatuhnya lebih mahal,
bukankah lebih enak mengontrak sebuah rumah? Walau pun ada lima orang lelaki di
sana, tapi mereka mampu memisahkan batas wanita dan pria. Insyaa allah aman.
Itu janji Jaslim pada Gadis. Di ibu kota yang jauh lebih kejam dari ibu tiri
ini, sendiri adalah pilihan terakhir. Maka Gadis menerima ajakan itu.
Banyak hal yang harus
dipelajarinya dari lima belas karakter lain di rumah itu. Jaslim yang sudah ia
kenal lebih dahulu, adalah wakil ketua—bidang perempuan—di rumah itu dan
merupakan salah satu teman sekamarnya. Berwatak agak keras, sensitif, sangat
mencintai ranah Minangnya dan easy going. Lalu teman sekamar kedua Gadis adalah
Tria, yang baru saja memulai kuliahnya setelah berhenti bekerja di perusahaan
elektronik. Ramah dan suka menolong. Mereka bertiga menempati kamar nomor dua,
terletak di ujung dekat dapur.
Di kamar pertama—sebelah kiri
dari ruang tamu dan kamar terdepan di rumah itu—berisikan empat orang wanita. Yaitu
kakak perempuan terdewasa—tidak boleh bilang tertua di sini. Sensitif usia..
hehe—di rumah ini alias Kak Via, mojang asal Bandung. Jarang berkomentar namun
baik dan welcome jika diajak untuk berbicara secara pribadi. Bekerja sebagai
guru dan sangat mencintai kucing. Lalu ada Tina, perawat asli Yogyakarta yang
sedang praktik di sebuah Rumah Sakit. Tina cerewet, tidak bisa diam, dan
stylish—sangat suka memburu barang-barang hijabers dan begitu update tentang
hijabers yang dikaguminya seperti Dian Pelangi. Setelah Tina, ada Ilma, calon dokter
gigi yang sedang merampungkan skripsinya. Wanita kalem asli Palembang dengan
tuturnya yang lembut. Ia pun aktif ikut mentoring sebuah pengajian. Terakhir,
penghuni kamar pertama adalah Laya. Wanita asli Makassar yang sedang
merampungkan skripsinya—seperti Ilma—di Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Bekerja
sampingan sebagai editor dan sudah menerbitkan beberapa buku. Suaranya begitu
lantang—bagi yang tidak biasa mendengar ia berbicara, mungkin akan mengira ia
sedang marah-marah—dan kadang terdengar galak, namun sebenarnya baik dan
cenderung cengeng. Namun ia sering menutupinya dengan seabrek kegiatan hingga
tak jarang kegiatan-kegiatan itu membuatnya sering sakit.
Di kamar ketiga—samping dapur
sebelah kanan—berisikan lima orang lelaki. Ada Zou, lelaki penyandang
disabilitas yang begitu aktif, humoris walau agak sedikit sensitif. Masih kuliah
namun kegiatannya begitu banyak. Kadang membuat Gadis merasa malu jika ia ingin
mengeluh. Satu kamar dengan Zou, ada Fauzi arek Malang—atau bisa disebut kera
ngalam. Kebiasaan orang Malang yang suka membalik-balik kata—yang suka frontal
dalam menghadapi masalah, pendiam namun agak menyeramkan dengan kediamannya
itu. Lalu Zaladi, lelaki asli Kendari yang mahir berbahasa Jawa. Satu-satunya
di antara penghuni rumah ini yang sedang melanjutkan kuliah S2 dan merupakan
ketua umum. Senang sekali travelling dan bermain badminton, serta menggoda para
wanita di rumah ini dengan gaya playboy cap kabelnya yang lucu. Playboy selanjutnya
yang sangat setia seperti namanya, adalah Setyo. Yaa.. dia setia untuk
mencintai tiap wanita di rumah ini atau pun di luar rumah, makanya sering
dibilang pakarnya playboy, hehe. Masih kuliah dan sedang depresi dengan
kuliahnya yang terlalu lama sehingga sering kali ia melarikan dirinya ke gunung
atau pantai seperti puisi yang dibacakan Cinta dalam film “Ada Apa Dengan Cinta”—apakah
aku harus berlari ke hutan? Atau ke pantai?—untuk mengusir kejenuhannya. Terakhir,
lelaki penghuni kamar ketiga adalah Malud, pribadi paling kritis dan besar
sekali rasa ingin tahunya—kalau tak boleh dibilang kepo—yang sedang menyiapkan
diri untuk magang di kampusnya.
Di kamar terakhir—kamar keempat
yang berhadapan dengan ruang tengah sebelah kanan—berisikan empat wanita. Pertama,
ada Foren, wanita asli Berau Kalimantan timur yang sedang magang di sebuah
Sekolah Menengah Atas sebagai guru bahasa inggris. Pribadi yang humoris bahkan
terkesan konyol, suka joget “Bang Jali” dan ketagihan menggombal dari buku “Sadgenic”
yang diberikan oleh Gadis. Lalu ada Fathia, wanita asal Medan yang baru saja
diwisuda dan berhasil melamar pekerjaan di sebuah perusahaan Multifinance. Seringkali
berfilosofi dengan “e’e” yang selalu memancing tawa di rumah ini. Namun akhir-akhir
ini dia sedang diam, mungkin terlalu lelah usai bekerja. Wanita ketiga di kamar
nomor empat adalah Dyani, asli Lampung yang masih sibuk kuliah. Suaranya bagus
sekali saat menyanyikan dangdut, cengkokannya pas. Gadis menyukai suara wanita
ini saat ia menyanyi. Pendiam, tapi kalau dipancing bicara dia pun bisa konyol
seperti yang lainnya. Terakhir dan merupakan yang paling bungsu secara usia,
adalah Naita. Wanita lembut asli Semarang yang baru saja berhijab dan masuk
kuliah. Dia memang paling kecil, namun kisah percintaannya sudah begitu pesat. Seringkali
dijadikan teman curhat dan konsultasi wanita-wanita di rumah ini.
Dalam satu bulan, Gadis sudah
menikmati perkenalan dan persaudaraannya (ukhuwah) dengan kelima belas kepala
di rumah itu. dan satu kesamaan yang paling menonjol di antara mereka semua,
adalah kegemaran membaca buku dan menuliskannya kembali dalam berbagai cerita,
baik fiksi maupun non fiksi. Kehidupan di rumah bernomor 22 di kawasan Jakarta
Pusat itu pun mulai berdetak. Banyak kisah yang terjadi di sana, dan rangkaian
cerita pun dimulai…
(bersambung)
With love,
Meta
morfillah
No comments:
Post a Comment