Pages

20 November, 2013

[Cerbung] Rumah Nomor 22 -part 1-

Prolog


Gadis menanggapinya dengan keraguan. Ia ragu masuk ke dalam rumah itu. ia tak kenal siapa pun. Tapi Jaslim sangat bersemangat sekali mengajaknya tinggal beramai-ramai dengan empat belas penghuni lainnya. Daripada mengekos sendirian dan jatuhnya lebih mahal, bukankah lebih enak mengontrak sebuah rumah? Walau pun ada lima orang lelaki di sana, tapi mereka mampu memisahkan batas wanita dan pria. Insyaa allah aman. Itu janji Jaslim pada Gadis. Di ibu kota yang jauh lebih kejam dari ibu tiri ini, sendiri adalah pilihan terakhir. Maka Gadis menerima ajakan itu. 

Banyak hal yang harus dipelajarinya dari lima belas karakter lain di rumah itu. Jaslim yang sudah ia kenal lebih dahulu, adalah wakil ketua—bidang perempuan—di rumah itu dan merupakan salah satu teman sekamarnya. Berwatak agak keras, sensitif, sangat mencintai ranah Minangnya dan easy going. Lalu teman sekamar kedua Gadis adalah Tria, yang baru saja memulai kuliahnya setelah berhenti bekerja di perusahaan elektronik. Ramah dan suka menolong. Mereka bertiga menempati kamar nomor dua, terletak di ujung dekat dapur.

Di kamar pertama—sebelah kiri dari ruang tamu dan kamar terdepan di rumah itu—berisikan empat orang wanita. Yaitu kakak perempuan terdewasa—tidak boleh bilang tertua di sini. Sensitif usia.. hehe—di rumah ini alias Kak Via, mojang asal Bandung. Jarang berkomentar namun baik dan welcome jika diajak untuk berbicara secara pribadi. Bekerja sebagai guru dan sangat mencintai kucing. Lalu ada Tina, perawat asli Yogyakarta yang sedang praktik di sebuah Rumah Sakit. Tina cerewet, tidak bisa diam, dan stylish—sangat suka memburu barang-barang hijabers dan begitu update tentang hijabers yang dikaguminya seperti Dian Pelangi. Setelah Tina, ada Ilma, calon dokter gigi yang sedang merampungkan skripsinya. Wanita kalem asli Palembang dengan tuturnya yang lembut. Ia pun aktif ikut mentoring sebuah pengajian. Terakhir, penghuni kamar pertama adalah Laya. Wanita asli Makassar yang sedang merampungkan skripsinya—seperti Ilma—di Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Bekerja sampingan sebagai editor dan sudah menerbitkan beberapa buku. Suaranya begitu lantang—bagi yang tidak biasa mendengar ia berbicara, mungkin akan mengira ia sedang marah-marah—dan kadang terdengar galak, namun sebenarnya baik dan cenderung cengeng. Namun ia sering menutupinya dengan seabrek kegiatan hingga tak jarang kegiatan-kegiatan itu membuatnya sering sakit.

Di kamar ketiga—samping dapur sebelah kanan—berisikan lima orang lelaki. Ada Zou, lelaki penyandang disabilitas yang begitu aktif, humoris walau agak sedikit sensitif. Masih kuliah namun kegiatannya begitu banyak. Kadang membuat Gadis merasa malu jika ia ingin mengeluh. Satu kamar dengan Zou, ada Fauzi arek Malang—atau bisa disebut kera ngalam. Kebiasaan orang Malang yang suka membalik-balik kata—yang suka frontal dalam menghadapi masalah, pendiam namun agak menyeramkan dengan kediamannya itu. Lalu Zaladi, lelaki asli Kendari yang mahir berbahasa Jawa. Satu-satunya di antara penghuni rumah ini yang sedang melanjutkan kuliah S2 dan merupakan ketua umum. Senang sekali travelling dan bermain badminton, serta menggoda para wanita di rumah ini dengan gaya playboy cap kabelnya yang lucu. Playboy selanjutnya yang sangat setia seperti namanya, adalah Setyo. Yaa.. dia setia untuk mencintai tiap wanita di rumah ini atau pun di luar rumah, makanya sering dibilang pakarnya playboy, hehe. Masih kuliah dan sedang depresi dengan kuliahnya yang terlalu lama sehingga sering kali ia melarikan dirinya ke gunung atau pantai seperti puisi yang dibacakan Cinta dalam film “Ada Apa Dengan Cinta”—apakah aku harus berlari ke hutan? Atau ke pantai?—untuk mengusir kejenuhannya. Terakhir, lelaki penghuni kamar ketiga adalah Malud, pribadi paling kritis dan besar sekali rasa ingin tahunya—kalau tak boleh dibilang kepo—yang sedang menyiapkan diri untuk magang di kampusnya. 

Di kamar terakhir—kamar keempat yang berhadapan dengan ruang tengah sebelah kanan—berisikan empat wanita. Pertama, ada Foren, wanita asli Berau Kalimantan timur yang sedang magang di sebuah Sekolah Menengah Atas sebagai guru bahasa inggris. Pribadi yang humoris bahkan terkesan konyol, suka joget “Bang Jali” dan ketagihan menggombal dari buku “Sadgenic” yang diberikan oleh Gadis. Lalu ada Fathia, wanita asal Medan yang baru saja diwisuda dan berhasil melamar pekerjaan di sebuah perusahaan Multifinance. Seringkali berfilosofi dengan “e’e” yang selalu memancing tawa di rumah ini. Namun akhir-akhir ini dia sedang diam, mungkin terlalu lelah usai bekerja. Wanita ketiga di kamar nomor empat adalah Dyani, asli Lampung yang masih sibuk kuliah. Suaranya bagus sekali saat menyanyikan dangdut, cengkokannya pas. Gadis menyukai suara wanita ini saat ia menyanyi. Pendiam, tapi kalau dipancing bicara dia pun bisa konyol seperti yang lainnya. Terakhir dan merupakan yang paling bungsu secara usia, adalah Naita. Wanita lembut asli Semarang yang baru saja berhijab dan masuk kuliah. Dia memang paling kecil, namun kisah percintaannya sudah begitu pesat. Seringkali dijadikan teman curhat dan konsultasi wanita-wanita di rumah ini.

Dalam satu bulan, Gadis sudah menikmati perkenalan dan persaudaraannya (ukhuwah) dengan kelima belas kepala di rumah itu. dan satu kesamaan yang paling menonjol di antara mereka semua, adalah kegemaran membaca buku dan menuliskannya kembali dalam berbagai cerita, baik fiksi maupun non fiksi. Kehidupan di rumah bernomor 22 di kawasan Jakarta Pusat itu pun mulai berdetak. Banyak kisah yang terjadi di sana, dan rangkaian cerita pun dimulai…

(bersambung)

With love,
Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget