Dear B,
Really miss you! Agak sesak beberapa hari ini sampai sulit
meluangkan waktu untuk menulis di dirimu. Yah.. kamu tahu kan, kondisiku yang
sedang labil dan jet lag. Terutama hari ini. Oh, my Allah… terima kasih banget
sama Qur’anku yang setia mendampingi dan memberiku senyuman. Entah pada siapa
lagi aku mengadu. Aku bukan orang pertama yang mengalami hal ini. Yess… aku
masih merasa ini semua mimpi. Masih (akan) terus mengeluh hal yang sama padamu,
B! Masih tentang hal yang sama, yang amat membosankan bagimu. Masih tentang
kepengecutanku dan kenyataan dalam dunia karir yang kutapaki.
Hari ini saja, pukul 10.30 ketika seniorku tidak menunjukkan
tanda-tanda kehadirannya, aku mulai gelisah. Diam dan hanya bisa berzikir,
semoga orang-orang yang menemaniku akan masuk kerja. Namun hujan dan angin
menyampaikan berita duka. Mereka tak datang. “Oh Tuhan, tapi aku tidak boleh
merasa sendiri. Aku memilikiMU, Tuhan” demikian aku mensugesti diriku agar kuat
walau sesak rasanya. Imajinasiku mulai liar, membayangkan seperti inikah bila
seniorku benar-benar meninggalkanku sendirian?
Tiga orang baru, amanah berat bagiku. Kualitas kepemimpinanku
yang belum pernah tampak (atau mungkin memang tidak ada?) diuji. Intonasiku menghadapi
salah seorang yang lebih tua dan sering kali bertanya yang tidak kumengerti,
diuji. Bahasa tubuhku menanggapi komplain dan request proposal serta silabus
yang harus instan (hari ini jadi) serta tidak sesuai SOP (60 hari), diuji. Kecerdasan
emosionalku sungguh diuji hari ini. Entah mengapa, rasanya ingin kuputuskan
saluran telepon di meja kerjaku. Telepon itu serasa anak panah yang melesat
menuju padaku semuanya. Sedang sisi dalam diriku semakin mengerdil. Ketidakpercayaan
diriku begitu tamak menguasai pikiran.
APA YANG HARUS KULAKUKAN?
Pada akhirnya aku melarutkan diri pada kata-kata yang menari
dari jariku, melahirkan proposal demi proposal, desain demi desain dan tenggelam
dalam earphone yang melantunkan nasyid. Nasyid yang mencoba mendongkrak arti
diriku, membesarkan makna diriku yang bagai debu di jagat semesta ilahi. Saat aku
menuliskan ini, kondisi ruangan telah sepi. Tinggal aku… meresapi malam sembari
menatap papan di hadapanku, dengan pikiran melayang dan terngiang kata-kata
orang terkasihku.
“Teta pulangnya lebih
malam daripada kerja dulu. Mendingan teta ngajar lagi deh. Jadi bisa main lagi
sama aku.” –Galih, 9 tahun-
“Teta kerja mulu,
terus hari minggu ke bogor. Main sama aku kapan?” –Zahir, 5 tahun-
“Met, lo pergi kerja
kuntilanak belum bangun. Pulang kerja, kuntilanak udah pules. Kagak capek apa?”
–kakak perempuan satu-satunya, 33 tahun-
“Met, jaga kesehatan. Kerjaanmu
itu mikir, lebih banyak gizi yang dibutuhkan. Ingat kata dokter! Makan yang
banyak, jangan sering pulang malam. Jam 5 teng kamu langsung pulang, yaa.” –Mama-
“Met, kamu cari kerja
lain gih. Di Bogor aja sana. Kasihan mas lihat kamu kerja capek banget. Nanti kalau
nikah, gimana urus suami sama anaknya? Kapan istirahatnya?” –Kakak Ipar
satu-satunya, 35 tahun-
Lalu suara-suara itu tertelan gaungnya, ketika sesuatu yang
kukenal sejak aku lahir berkata,
“STOP! Ini hidupku. Aku bisa, aku tak pernah mengeluh pada
kalian. Jadi biarkan aku berdikari. Berdiri di atas kaki sendiri. Orang lain
hanya boleh tahu aku bahagia, yang tahu isinya cukup aku dan Tuhanku saja.”
Lalu semuanya berakhir.
Mengabu. Kelabu.
Seperti senja sore tadi,
Meta morfillah
No comments:
Post a Comment