Pages

26 November, 2013

Gumaman Kelabu

Dear B,

Really miss you! Agak sesak beberapa hari ini sampai sulit meluangkan waktu untuk menulis di dirimu. Yah.. kamu tahu kan, kondisiku yang sedang labil dan jet lag. Terutama hari ini. Oh, my Allah… terima kasih banget sama Qur’anku yang setia mendampingi dan memberiku senyuman. Entah pada siapa lagi aku mengadu. Aku bukan orang pertama yang mengalami hal ini. Yess… aku masih merasa ini semua mimpi. Masih (akan) terus mengeluh hal yang sama padamu, B! Masih tentang hal yang sama, yang amat membosankan bagimu. Masih tentang kepengecutanku dan kenyataan dalam dunia karir yang kutapaki. 

Hari ini saja, pukul 10.30 ketika seniorku tidak menunjukkan tanda-tanda kehadirannya, aku mulai gelisah. Diam dan hanya bisa berzikir, semoga orang-orang yang menemaniku akan masuk kerja. Namun hujan dan angin menyampaikan berita duka. Mereka tak datang. “Oh Tuhan, tapi aku tidak boleh merasa sendiri. Aku memilikiMU, Tuhan” demikian aku mensugesti diriku agar kuat walau sesak rasanya. Imajinasiku mulai liar, membayangkan seperti inikah bila seniorku benar-benar meninggalkanku sendirian?

Tiga orang baru, amanah berat bagiku. Kualitas kepemimpinanku yang belum pernah tampak (atau mungkin memang tidak ada?) diuji. Intonasiku menghadapi salah seorang yang lebih tua dan sering kali bertanya yang tidak kumengerti, diuji. Bahasa tubuhku menanggapi komplain dan request proposal serta silabus yang harus instan (hari ini jadi) serta tidak sesuai SOP (60 hari), diuji. Kecerdasan emosionalku sungguh diuji hari ini. Entah mengapa, rasanya ingin kuputuskan saluran telepon di meja kerjaku. Telepon itu serasa anak panah yang melesat menuju padaku semuanya. Sedang sisi dalam diriku semakin mengerdil. Ketidakpercayaan diriku begitu tamak menguasai pikiran. 

APA YANG HARUS KULAKUKAN?

Pada akhirnya aku melarutkan diri pada kata-kata yang menari dari jariku, melahirkan proposal demi proposal, desain demi desain dan tenggelam dalam earphone yang melantunkan nasyid. Nasyid yang mencoba mendongkrak arti diriku, membesarkan makna diriku yang bagai debu di jagat semesta ilahi. Saat aku menuliskan ini, kondisi ruangan telah sepi. Tinggal aku… meresapi malam sembari menatap papan di hadapanku, dengan pikiran melayang dan terngiang kata-kata orang terkasihku.



“Teta pulangnya lebih malam daripada kerja dulu. Mendingan teta ngajar lagi deh. Jadi bisa main lagi sama aku.” –Galih, 9 tahun-

“Teta kerja mulu, terus hari minggu ke bogor. Main sama aku kapan?” –Zahir, 5 tahun-

“Met, lo pergi kerja kuntilanak belum bangun. Pulang kerja, kuntilanak udah pules. Kagak capek apa?” –kakak perempuan satu-satunya, 33 tahun-

“Met, jaga kesehatan. Kerjaanmu itu mikir, lebih banyak gizi yang dibutuhkan. Ingat kata dokter! Makan yang banyak, jangan sering pulang malam. Jam 5 teng kamu langsung pulang, yaa.” –Mama- 

“Met, kamu cari kerja lain gih. Di Bogor aja sana. Kasihan mas lihat kamu kerja capek banget. Nanti kalau nikah, gimana urus suami sama anaknya? Kapan istirahatnya?” –Kakak Ipar satu-satunya, 35 tahun-

Lalu suara-suara itu tertelan gaungnya, ketika sesuatu yang kukenal sejak aku lahir berkata,
“STOP! Ini hidupku. Aku bisa, aku tak pernah mengeluh pada kalian. Jadi biarkan aku berdikari. Berdiri di atas kaki sendiri. Orang lain hanya boleh tahu aku bahagia, yang tahu isinya cukup aku dan Tuhanku saja.”

Lalu semuanya berakhir.
Mengabu. Kelabu.
Seperti senja sore tadi,

Meta morfillah


No comments:

Post a Comment

Text Widget