Pages

03 March, 2014

Sendiri Menyepi

Sendiri menyepi
Tenggelam dalam renungan

"Kamu kenapa sih? Kok makin diam? Sering jalan sendirian pula. Ada apa?"

"Gak apa-apa. Lagi capek aja,"

Aku mengamatinya beberapa hari belakangan. Terlihat banyak orang tertarik ingin mengetahui sebab-musabab ia kian pendiam, tampak tak bersemangat. Namun, mereka enggan bertanya karena raut mukanya yang seakan berkata, "Jangan tanya-tanya. Gw malas jawab!"

Persis seperti pengumuman "Awas, anjing galak!"

Terbukti ampuh mengusir beragam pertanyaan yang hendak muncul akan sikapnya yang aneh belakangan ini.

Ada apa aku?
Seakan kujauh dari ketenangan

Diamnya tak tenang. Diam serupa amarah menggelegak. Tinggal menunggu waktu, kapan akan meledak. Begitukah amarah orang yang jarang marah? Jarang marah dengan serius. Ia terbiasa berkawan dengan senyum dan tawa, hingga begitu aneh melihat ia akrab dengan tangis, sedih, marah dan kesepian. Ada apa dengannya?

Perlahan kucari,
Mengapa diriku hampa?
Mungkin ada salah, mungkin kutersesat, mungkin dan mungkin lagi..

"Aku sedang lelah. Sungguh lelah. Itu saja."

Itulah jawabannya, ketika kudesak berkali-kali.

"Sepertinya aku banyak berbuat salah. Jauh dari Tuhan. Makin pemalas. Atau mungkin lainnya."

Terlalu baik atau pengecut? Ia selalu menyalahkan dirinya sendiri, jika ia marah atas sikap orang lain yang tak pantas pada dirinya.

"Tinggalkan saja semua hal yang membuatmu tidak tenang. Jika memang itu tak bermanfaat bagimu. Bumi Allah ini luas. Kamu bisa berkelana ke mana saja. Carilah apa yang ingin kamu cari. Jangan terlalu menyalahkan diri. Sekali-kali biar orang lain tahu, mereka salah. Tunjukkan kemarahanmu dengan kadar yang tepat."

"Aku bisa berkelana ke mana saja. Hanya pada titik ini, aku ingin diam di suatu masa. Menunggu. Apakah menunggu itu pasif? Aku lelah berjalan sejauh ini, tapi yang kutuju belumlah tampak. Aku sedang menunggu, ada sampan penyelamat menarikku. Mengajakku ke tempat tujuanku. Ada kawan berbagi cerita senang dan susah, saat berjalan ke tujuan. Apakah permintaan ini terlalu tinggi? Aku tak butuh kawan yang menyusahkan lagi. Sungguh, itu tak kuinginkan saat ini. Aku muak dengan segala permainan pameran kepintaran, yang menurutku adalah bodoh! Aku hanya ingin diam, duduk di tempatku. Menanti seorang yang biasa saja, berbagi apa saja, tanpa harus pamer otak. Cukup diam, berbagi keheningan, keramaian, kesusahan, kesenangan bersama."

Oh Tuhan, aku merasaaa...
Sendiriii..
Aku merasa sendirii..
Ingin kumenangis, menyesali diri, mengapa terjadi?

Lalu dia menangis. Sungguh-sungguh menangis! Terlihat penyesalan begitu pekat menguar dari aura tubuhnya. Dia tampak begitu rapuh, dalam kesendirian hatinya. Sesungguhnya, ia hanya butuh uluran tangan. Dengan pembicaraan yang baik. Ia akan memperlakukan orang yang berlaku baik padanya, berkali lipat. Namun ia pun akan sakit berkali lipat, jika disakiti. Tampaknya saja, seolah ia tak sesensitif itu. Padahal lukanya menganga begitu lebar dan dalam.

Sampai kapan kubegini?
Resah tak bertepi..
Kembalikan aku pada cahayaMu, yang sempat menyala..
Benderang di hidupku.

Kasihan. Ia yang sekarang, tak seperti ia yang dulu. Ada beberapa hal baik datang padanya. Pun hal tak baik. Tapi.. Kuamati, sepertinya dulu ia lebih bercahaya dan hidup. Apakah karena lingkungannya? Dia bukan manusia suci, tapi terkadang nampak seperti santa. Kasihan dia... Kasihan...

Aku lelah, menutup cermin besar di hadapanku dengan selembar kain lebar. Sudah cukup pembicaraan dengannya. Percakapan ke dalam diri yang menyesakkan. Ternyata, memang lebih lelah memahami diri sendiri dibandingkan orang lain.


*Cerita lirik Sendiri Menyepi - Edcoustic

Meta morfillah

4 comments:

  1. aaah, keren sekali mengkonversi lirik menjadi sebuah cerita..
    ada kalanya penyesalan itu ada, ketika melakukan kesalahan yang pada akhirnya membuat berubah.

    btw, saya taunya edcoustic cuma muhasabah cinta, hehe..

    ReplyDelete
  2. Hehe, makasiiihh...

    Iya, yang terkenal memang itu. Biasanya melekat edcoustic ya muhasabah cinta :)

    ReplyDelete

Text Widget