Pages

10 March, 2014

Menjaga kesucian

Yang kutakutkan kepadaMu, tentang amal ibadahku
Terkotorkan oleh jiwa yang lemah tiada berdaya
Yang kukhawatirkan diri ini, tiada mampu memilahkan
Bara kesucian dan misi syaitani

(Suara Persaudaraan: Munajahku)


Ada tiga hal pencarian atau perantauan manusia, yakni, panggilan jiwa (passion), belahan jiwa dan muara jiwa (tujuan hidup). Demikian saya menyarikan kalimat Ahmad Fuadi--penulis buku trilogi 'Negeri 5 Menara'--secara singkat. Kali ini, saya ingin berkicau tentang rantau dalam pencarian belahan jiwa. Isu yang cukup krusial di episode kehidupan saya saat ini.

Saya yakin, setiap orang menginginkan keberkahan Allah pada pernikahannya. Berharap Allah memberikannya belahan jiwa yang diidamkan dengan cara yang baik. Bukan semata dilempar karena Allah kesal kita terlalu mendiktenya, hingga Allah berkata, "Nih, ambil jodoh yang lo mau! Gw udah ga peduli, terserah lo mau ngapain, guling-gulingan kek, bodo amat. Biar lo diem,"

Tentu tidak seperti itu.

Kita ingin belahan jiwa yang diidamkan itu hadir dalam bingkai nan suci, terjaga dan disajikan dengan santun. Hanya saja, semua kembali pada diri kita. Sejauh apa kita telah mempersiapkan, tak henti memperbaiki diri. Inilah yang sering menjadi dilema--khususnya bagi saya--bagi mereka yang belajar untuk meraih hal itu.

Urusan ini cukup rumit dan berkali mementokkan kepala pada kalimat "entahlah". Banyak sekali, saya jumpai akhwat yang berupaya untuk menghindari maksiat, demi mencapai barakah dalam pernikahannya, masih dalam taraf belajar namun merasa minder pada akhirnya. Pasalnya, mereka merasa diri mereka jauh dari sempurna. Hijab masih asal-asalan, salat masih sering bolong, interaksi dengan lawan jenis masih baur dan intens, sehingga merasa kalah dengan akhwat yang istiqamah, lalu mundur dari jalan cinta para pejuang ini, dan menyerah pada jalan maksiat, pacaran.

Saya sendiri, masih tergolong akhwat taraf belajar. Tak dapat saya pungkiri, interaksi saya dengan lawan jenis kadang membuat dilema. Semisal, di kantor saya terpaksa harus sering berdua dengan rekan kerja. Kadang tak terasa matahari telah beranjak ke peraduan dan menyisakan saya dan karyawan lelaki lainnya. Perkara diantar pulang dengan membonceng motor, belum lagi ditambah interaksi khalwat dalam media sosial semacam bbm, WA, twitter, dan lainnya. Kadang terjerat ruang dan waktu yang membuat saya agak kendur terhadap penjagaan diri saya. Namun, apakah dengan begitu, lantas saya tak layak menginginkan menikah di jalan cinta para pejuang?

Pernah saya hampir putus asa, dan banyak tawaran cinta semu nan menggoda. Namun beruntunglah, Tuhan masih mengingatkan saya pada sebuah kalimat yang saya pegang sepanjang puasa syahwat saya selama ini,
"Orang suci, menjaga kesuciannya dengan pernikahan, menjaga pernikahannya dengan kesucian."

Lalu kesadaran perlahan datang kembali, mengembalikan kepercayaan diri yang nyaris tersapih. Tak mudah memang, memenuhi perintahNya. Sebab itulah takwa, tak hanya menuruti perintahNya yang kita sukai, pun mencoba berusaha menjalankan perintahNya yang tak kita sukai.

Kadang saya sedih, ketika mendapati teman yang curhat merasa tak pantas lalu memilih pacaran. Semoga saya dan mereka diampuni olehNya. Kelalaian kita yang menyebabkan kita terkadang terlalu merendahkan diri sendiri. Padahal sudah diperingatkan, "Jangan sekali-kali merendahkan manusia. Sebab Tuhan pun tak pernah!"

Maka, jangan khawatir, malu atau pesimis. Sebab Nabi sendiri yang menyuruh kita untuk maksimal dalam sabdanya, "Mintalah surga Firdaus paling tinggi!"

Surga firdaus adalah surga teratas, paling tinggi derajat, paling indah dan paling lainnya. Masih pula kita diminta untuk meminta surga firdaus yang paling tinggi. Dalam keimanan, akhirat, kita harus menstandarkan diri kita begitu tinggi. Memaksanya keluar dan muncul potensi sebagai hamba terbaik. Walau, mungkin untuk saat ini kita masih ada di tangga dasar yang masih jauh dari pintu surga ketujuh itu. Masih jauh jalan yang harus ditapaki, didaki. Niat, itulah yang harus tetap hidup, meski kekecewaan, kepedihan, kesakitan berkali menyerang.

Lewat tulisan ini, saya hanya ingin berkata, tak perlu malu, minder atau merasa tak pantas untuk sebuah niat, cara yang baik dan sesuai syariat. Seperti senandung nasyid di kalimat pembuka tulisan ini, takutlah pada Tuhan saja tentang amal ibadah dan niat kita yang masih sering tercampur baur antara kebenaran dan kebathilan. Itu semua dapat tersebab karena kurangnya ilmu atau banyaknya maksiat. Maka, tetaplah berproses dalam kebaikan. Sebab, hanya di dunia ini kita mendapatkan nikmat yang tak ada di surga, yakni nikmatnya proses dan kelelahan akan proses itu.

Astagfirullah.. Maaf bila tulisan saya kurang bermanfaat.

Tetap semangat ukhti, tetaplah berlomba dalam kebaikan. Sebab kita setara di mataNya.

Meta morfillah
-masih dan selalu berproses menuju kebenaran hakiki-

No comments:

Post a Comment

Text Widget