Sungguh lucu kehidupan menghadirkan orang yang menguatkan
sekaligus melemahkan kita pada kurun waktu yang sama, bergantian. Pada suatu
masa yang tenang—sebutlah masa transisi—saat kita sedang merasa damai, dan baru
saja pulih dari luka. Kehidupan menghadirkan kembali orang yang berbeda, namun
menyakiti pada letak luka yang sudah pulih itu. Tepat di sisi itu lagi. Sebelum
terluka kembali, kita berpikir bahwa orang itu tidak akan mampu menyakiti kita
di sisi yang sama itu, karena luka itu telah kebas, kebal. Kita merasa sudah
mengalami, sehingga akan imun dan tahu bagaimana menyembuhkannya kembali. Akan terasa
mudah, karena telah berpengalaman dalam recoverynya. Namun, ternyata kita
salah. Dengan orang yang berbeda, pada titik luka yang sama, ternyata sakitnya
semakin dalam, bahkan terakumulasi karena merecall kenangan lalu saat kita kali
pertama terluka.
Lalu kita menjadi
geram, ingin marah namun bingung dialamatkan pada siapa? Ingin sekali
menunjukkan pada semua orang, bahwa kita sedang terluka dalam, kecewa pada
kehidupan. Tapi itu hanya membuat lelah sendiri, capek hati. Pada akhirnya,
kita berkata pada diri sendiri, “Walau bisa saja aku memaki kehidupan ini
dengan ragam kata kasar, namun itu tak membuat kehidupan bersikap lunak padaku.
Lantas, mari kita tertawakan saja kehidupan ini!”
Lalu kamu memulai meminta maaf, padahal kamu tak sepenuhnya salah,
pun tak sepenuhnya benar. Tapi kamu mengalah, seperti orang waras yang mengalah
pada yang kurang waras. Bagimu, meminta maaf bukan perihal berani. Lebih ke
bagaimana kita menyadari dan berusaha memperbaiki. Kita makhluk yang belajar,
bukan?
Tapi apa tanggapan mereka? Kamu dianggap lemah. Lalu kamu
menghilang, berganti menjadi kamu yang sendu. Tak lagi mau memaksa untuk
kembali seperti dahulu. Seperti gerigi roda yang sudah rusak, tak dapat dipaksa
untuk menyambung kembali. Bila dipaksa hanya akan patah dan celaka. Sama halnya
dengan hubungan.
Lantas, saat ini di fase manakah dirimu berada?
meta morfillah
No comments:
Post a Comment