Pages

16 June, 2014

Seolah aku bukan diriku

"Bagaimana caramu mempertahankan prinsip untuk tidak berpacaran? Setelah kamu pernah merasakan pacaran yang indah, yang lalu kamu putuskan dengan sebaik-baiknya hanya karena takut dosa?"

"Sebab aku telah mengalaminya. Aku tahu nikmat semu dari pacaran. Semakin ke sini, aku semakin yakin atas pengamatanku terhadap hubungan pacaran," katanya sembari menatap tajam tepat di kedua bola mataku, "Selama pacaran, mereka berpikir sedang berusaha saling memahami..."

"Tapi bukan itu yang terjadi!" tegasnya. "Kenyataannya ialah mereka berusaha untuk tampil lebih baik dari yang sebenarnya. Sehingga setiap kali berbicara, sebenarnya mereka sedang menyembunyikan diri masing-masing. Mereka sedang membuat iklan untuk menggoda pembeli. Karena takut bila pelanggan tidak puas, akhirnya ia akan ditinggalkan. Bukankah hal itu amat sangat munafik?"

"Tapi tidak semua orang berpacaran seperti itu. Ada yang apa adanya."

"Mari kita jujur. Apa iya 100% yang kita tampilkan padanya tentang diri kita itu benar? Tidak kan. Jujur saja, kayaknya kita beda deh waktu di dekat dia dengan saat kita sendiri di rumah. Ini berbahaya untuk perkembangan kepribadian kita. Kita berlatih jadi orang yang hipokrit, bahkan bermuka banyak. Ya, enggak?"

"Tapi, saat kita jatuh cinta, bukankah hal yang wajar? Lalu timbul rasa ingin memiliki, itu pun hal yang wajar? Sebab cinta adalah fitrah, kan?"

"Kamu pernah makan sayur lodeh, yang bumbunya dimakan duluan? Pacaran itu seperti menghabiskan bumbu sayur lodeh tersebut, sebelum sayurnya matang. Lantas ketika sayur matang, rasanya sudah tidak enak. Hambar, tak ada bumbu. Seperti itulah pacaran, tergesa-gesa menikmati sisi-sisi indah dalam hubungan dua insan sebelum ia dihalalkan. Tak hanya berakibat dosa yang menjanjikan siksa akhirat. Tapi terkadang Allah menyegerakan rasa pedih dan perih dalam jiwa saat kita masih di dunia. Ketika pacaran, mereka sudah merasai semua bumbu yang seharusnya digunakan untuk menyedapkan kehidupan rumah tangga. Saling mencurahkan perasaan, berbagi, sentuhan mesra, sandaran, pergi berdua, semuanya sudah. Sungguh, jiwa begitu mudah bosan. Kalau semuanya sudah dilakukan, saat menikah nanti mau apa lagi? Kalau Anda menikah dan pernah pacaran, Anda akan membandingkan pacaran dengan pernikahan. Dan pasti pacaran lebih indah, karena pacaran memang hanya mencari rasa yang indah. Lalu, jadilah kenangan pacaran sebagai penyesalan dalam hidup rumah tangga. Atau, kalau Anda membandingkan pasangan Anda dengan pacar Anda, pasti pacar Anda dahulu lebih sempurna. Ya, karena selama pacaran, hanya sifat baiknya saja yang ditunjukkan pada Anda."

"Lantas, bila tidak pacaran, dari mana kita dapat mengenal pasangan kita?"

"Cara untuk belajar terbaik menjadi istri terbaik hanyalah melalui suami. Cara untuk menjadi suami terbaik hanyalah melalui istri. TIDAK BISA MELALUI PACARAN. Pacaran hanya mengajarkan bagaimana menjadi pacar terbaik, bukan suami atau istri terbaik."

"Lalu bagaimana bila kita terlanjur jatuh hati pada sebuah nama?"

"Ibnu Mas'ud sudah memberitahukan caranya dalam sebuah hadits. Bunyinya 'Apabila kamu merasa kagum dengan seseorang, ingatlah kejelekan-kejelekannya.' Itu adalah salah satu cara menetralisir hati yang mulai terkontaminasi pada sebuah nama. Bukan bermaksud su'udzan (berburuk sangka) atau pun tajassus (mencari-cari aib), melainkan lebih kepada pengembalian objektivitas yang manusiawi. Juga untuk memutus salah satu rantai tazyin (menghias-hias) yang dilakukan syaithan: yang buruk tampak baik, yang busuk tercium wangi, yang nista terdengar mulia. Bukan orangnya yang kemudian harus kita sikapi sebagai 'orang yang banyak kekurangan'. Tetapi lebih agar interaksi yang kita lakukan benar-benat proporsional. Tidakkah terpikir bahwa yang harus dicintai karena Allah banyak jumlahnya? Tak hanya dia, tapi keadilan yang melekati cinta menuntut perhatian besar kita pada masalah-masalah besar umat ini."

"Jadi intinya, tidak ada pacaran sebelum pernikahan?"

"Ya! Keinginan untuk berpacaran dalam diri kita adalah manifestasi kepengecutan yang bertahta dalam sanubari. Kita pengecut, masih takut-takut untuk menanggung beban dalam hidup berumahtangga. Dan di baliknya, kita begitu licik untuk bersegera menikmati sisi-sisi indah dalam hubungan dua insan. Benar-benar pengecut. Belajar dari ahli puasa. Ada dua kebahagiaan baginya, saat berbuka dan saat Allah menyapa lembut memberikan pahala. Maka menjaga diri dari tidak berpacaran adalah puasa panjang syahwatmu. Kekuatan ada pada menahan. Dan rasa nikmat itu terasa, di waktu buka yang penuh kejutan. Coba saja, kalau Allah yang menghalalkan, setitis cicipan surga akan menjadi shadaqah berpahala. Nikmatnya pacaran setelah pernikahan."



*Modifikasi dari buku "Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan" karya Salim A. Fillah


Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget