Pages

17 June, 2014

Surat untuk Tuhan

Dear Tuhan,

Apa kabarmu hari ini?
Hahaa... Pertanyaan retoris! Tentunya kau akan selalu baik-baik saja, meski tanpa diriku. Tidak sepertiku, yang tidak akan pernah baik-baik saja tanpamu.

Tuhan, kutuliskan surat ini karena aku begitu ingin menyampaikan rasaku hari ini. Tadi, sepulang kerja, aku minta ditemani makan oleh teman-teman sekantor. Sebab, bila tak begitu, aku akan malas mencari makan setiba di kamar kosan. Menghabiskan waktu bersama mereka, adalah salah satu nikmat yang selalu kusyukuri. Membantuku melupakan sejenak rinduku pada mama nun jauh di sana. Di tengah cengkerama, terceletuk sebuah kesadaran, betapa hidupku terlihat indah di mata mereka. Padahal bagiku, hidupku sangat biasa. Ibarat aktris, mungkin hanya sebatas pemeran figuran. Tidak menarik. Tapi tidak bagi mereka. Bahkan untuk segala masalah yang kuhadapi, tetaplah indah di mata mereka. Hingga aku berpikir bahwa sering kali kita sibuk memimpikan kehidupan orang lain, tanpa sadar bahwa hidup kita adalah hidup yang diimpikan oleh orang lain. Masalahku masih seputar pekerjaan, kebimbangan, pasangan, dan hanya itu-itu saja. Bukankah Engkau telah begitu baik, tidak menambah porsi masalahku sampai kau merasa aku mampu? Berkali-kali aku harus melihat ke sekeliling bila hal negatif mulai menyerang dan berusaha merajai hati. Berulang kali aku harus mengingatkan diriku untuk bersyukur. Kesadaran itu membuatku tersenyum sepanjang perjalanan pulang.

Setiba di kamar, migrain menguasai kepalaku. Membuatku serba salah, mau tidur kepala sakit, tidak tidur tapi aku lelah. Akhirnya kubuka HP, memerhatikan setiap picture di gallery. Yaaa, itu adalah salah satu penghiburanku kala sendiri. Melalui foto-foto, aku merecall segala ingatan. Senang mau pun sedih. Dan ada banyak hal yang kembali menginspirasi. Beragam capture-an chat. Aku dan dia, dia, dia. Salah satu hobiku, mengcapture chat-chat unik. Kebanyakan gombalan, kata-kata bijak, sharing di grup dan janji-janji. Ada tawa menyeruak seketika saat membaca ragam gombalan dari lelaki yang berbeda. Ada perih mengiris saat membaca puisi yang khusus dibuatkan untukku. Juga lagu yang dia nyanyikan dan ciptakan untukku. Ada luka yang menganga dari rekatnya yang belum pulih, saat membaca janji-janji masa depannya. Kini semua hanya kenangan. Lelaki yang pernah mencintaiku dengan puisinya, kini memilih perempuan lain dengan puisinya. Menyesal? Tidak. Sakit sebentar, tapi aku senang. Sebab, kesakitan adalah modalku menulis. Kesakitan selalu menginspirasi cerita dan memantik kesyukuranku padamu, Tuhan. Bahkan, saking seringnya aku mengalami kesakitan itu, secara fisik aku telah lupa rasanya sakit. Mungkin, bila mereka melihat diriku, aku hanyalah orang sok kuat, sok tegar, sok prima, sok sehat, sebab aku sangat menghindari sakit. Bahkan ketika sakit, aku sangat enggan menjadikannya alasan, tak suka menjadi manja, terkecuali aku memang tak tahan akan rasa sakit itu.

Melalui surat ini, aku ngalor ngidul hanya ingin memberitahumu, Tuhan... Bahwa aku amat berterima kasih untuk hidupku. Betapa berwarnanya hidupku, kauberikan aku kesempatan mencecap manisnya iman yang didapatkan melalui perjalan panjang, pencarian seorang diri. Kauizinkan aku melakukan beragam kesalahan, lalu ditegur secara keras melalui hambamu yang lain, hingga aku tahu kebenaran dan rasanya, sehingga aku lebih toleran. Setiap harinya, aku belajar untuk mencintaimu semakin dalam dan semakin baik. Walau mungkin aku tak dapat melakukan apa yang kucintai, tapi aku berusaha mencintai apa yang dapat kulakukan. Bila tak mungkin menjadi jalan besar untuk umat ini, maka izinkan aku menjadi jalan setapak baginya. Hidupku saat ini begitu indah, walau belum lengkap sempurna dengan setengah bagian yang lain. Kamu mengajarkanku membagi cinta pada porsinya. Terima kasih, Tuhan. Terima kasih.


Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget