Tak ada yang lebih indah selain dua orang yang bertemu karena
saling menemukan, sama-sama berhenti karena telah selesai mencari. Tak
ada yang akan pergi, sebab tahu bagaimana sulitnya mencari.
Pernahkah kamu memiliki pemikiran yang sama denganku, Sayang?
Mengapa kita dipertemukan pada usia yang tidak lagi
muda, tapi juga tidak terlalu tua. Di saat kawan-kawan kita sudah
membangun keluarga dan beranak-pinak, sementara kita masih berkutat
dalam pencarian.
Masa lalumu yang kudengar sebagai cassanova, penebar
jerat cinta. Semua wanita kamu dekati, hampir tak ada yang luput. Tapi
semua hanya permainan. Siklusmu selalu sama, setelah enam bulan kamu
akan bosan dan mencari pengalih perhatian lainnya. Tentu saja, wanita
lain maksudku. Padahal, kamu merasakan kekosongan itu. Sempat kamu
terbentur pada seseorang. Mencoba serius dan melamarnya, tapi dia belum
siap. Lalu kamu kecewa, dan kembali tidak serius pada wanita. Semua kamu
anggap permainan kembali. Semacam uji nyali, undian, dan mengumpulkan
piala, yaitu mantan-mantanmu.
Sementara, masa laluku pun diwarnai lelaki yang datang
dan pergi silih berganti. Hingga aku lelah menanggapi. Mengapa?
Nyatanya, mereka terlalu memujaku, namun takut memilikiku. Bukankah itu
pengecut nomor satu, Sayang? Ketika kamu sangat menginginkan sesuatu,
namun memperjuangkannya pun kamu enggan. Aku menjadi paradoks.
Memercayai cinta, tapi sulit jatuh cinta. Hatiku kukerangkeng dalam
ragam kesibukan lain. Menaikkan level diriku, tangga demi tangga ujian
kutapaki. Bahkan, aku melupakan cinta. Tapi, cinta sama seperti uang dan
dunia. Semakin ditolak, mereka semakin mendekat. Mungkin, mereka tak
pernah menerima penolakan, Sayang. Semakin aku acuh, semakin bertambah
kumbang penggoda. Dari yang diam-diam, hingga yang terang-terangan. Aku
kembali lelah, Sayang.
Hingga tiba masa kita bertemu. Dua orang di puncak
kelelahan. Berkutat pada pencarian. Kamu dengan gaya pencarianmu. Aku
dengan gaya pencarianku. Kita berbincang. Bertemu. Berbincang lagi. Dan
menjelma menjadi janji-janji temu selanjutnya. Seperti menemukan sebuah
pelengkap. Kawan bercerita yang pas. Hingga di pertemuan kesekian,
kita--lebih tepatnya kamu, Sayang--melakukan hal gila.
"Kita nikah, yuk!" Katamu di sela bahakku.
"Hahaa.. Yuk! Nikah kan tinggal nikah. Ke KUA. Biaya
nikah, tuh, enggak mahal, yang mahal biaya gengsinya!" Aku menanggapi
dengan lebih gilanya.
Tiba-tiba raut mukamu serius. Aku berhenti dari bahak.
Intuisiku mengatakan sesuatu. Sesuatu yang sering kualami ketika
"ditembak" lelaki. Perutku tiba-tiba terasa dikocok-kocok, jantungku
berdebar tak karuan. Semoga saja, tidak! Harap cemasku. Di satu sisi aku
takut. Di sisi lain, aku terlanjur nyaman denganmu.
"Aku serius."
Damn! Hal yang kutakutkan terjadi.
"Mengapa diam? Kita sudah saling mengenal. Luka dan
penderitaan kita sama. Kita sudah lelah mencari. Mengapa tidak kita saja
yang saling mengisi satu sama lain? Banyak persamaan yang mampu
merekatkanku dan dirimu. Aku nyaman denganmu."
Ada kesungguhan dalam nada suara dan matamu. Membuatku
tercekat, tapi di dasar perutku seakan ada yang meledak. Rongga dadaku
terasa mengembang, seakan ingin membuncah.
"Baiklah. Kapan kamu akan ke waliku meminta restu?"
"Besok."
Tiba-tiba saja, segala hal dilancarkan. Tidak ada
kendala berarti hingga terselenggaranya pernikahan kita. Benarkah ini
yang namanya jodoh, Sayang? Kamu bahkan tak pernah masuk dalam daftar
lelaki yang ingin kumiliki. Sebab, aku tahu masa lalumu. Detilnya. Pun
aku, tak pernah masuk dalam daftar wanita yang ingin kamu pacari. Sebab,
aku tak secantik mantan-mantanmu. Tapi, 20 tahun kita bersama, hingga
hari ini, barulah aku yakin bahwa kita memang berjodoh, Sayang.
Kamu tak pernah pergi meninggalkanku. Pun aku. Kita
hanya akan terpisah dimensi ruang dan waktu. Aku percaya, kita akan
tetap saling menjaga, Sayang. Aku melepaskanmu dalam perjalanan damaimu,
melalui kecupan terakhirku pada jasadmu yang terbujur kaku dan dingin.
Terima kasih, Sayang. Kamu telah memberikanku 20 tahun kebahagiaan dalam pernikahan. Aku mencintaimu. Selalu.
Meta morfillah
Nice
ReplyDelete