Pages

18 June, 2014

Bercengkerama tentang bahagia, bersama sepi

Jangan biarkan sepi merasuk, sebab akan datang kawannya yang lain: kantuk & suntuk!

Lantai satu terlihat begitu lengang seperti biasa. Menjadi orang pertama yang menyapa meja-meja tak berpenghuni, menyentuh saklar lampu, kipas angin, dan AC adalah keterbiasaanku. Kalau boleh jujur, aku membenci sepi yang seperti ini. Sepi di tempat yang seharusnya ramai. Tapi sudahlah, tak usah kita bahas mengapa kantor ini selalu sepi meski jam menunjukkan pukul 08.30. Khususnya di lantai satu ini. Dengan sepi itu, aku bermain tiap harinya, tapi tak mau begitu akrab. Menyetel musik dengan volume yang cukup kencang adalah upayaku mengusir sepi. Sebab, bila dibiarkan sepi meraja, tak lama kantuk dan suntuk pun datang menyambangi. Sayang, aku tak digaji untuk mengantuk atau mudah suntuk.

Saat sepi seperti ini, benakku malah merimbun. Banyak kata yang berseliweran minta dituangkan. Banyak kata yang berusaha muncul berkali-kali, menggoda, menarik perhatianku untuk melakukan sesuatu. Salah satunya, adalah kata BAHAGIA.

Ya, kata BAHAGIA beberapa waktu terakhir berulang kali timbul tenggelam dalam kepalaku yang seperti hutan kata-kata. Membenak, membelukar. Jadi, bagaimana bila kita bahas tentang bahagia?

BAHAGIA.

Bukankah kata itu begitu magis?
Membuat banyak orang memburunya. Begitu merinduinya. Seperti pesakitan merindu obat. Semua orang begitu mengharapkannya. Tapi, kebahagiaan begitu tega. Semakin dipikirkan, semakin ia melipir. Semakin dicari, semakin ia lari. Semakin diburu, semakin ia tak tentu. Semakin ditangkap, semakin ia melesat. Semakin dihadang, semakin ia hilang. (Paragraf ini dimodifikasi dari prolog buku “lapis-lapis keberkahan” ustad Salim A. Fillah)

Dalam mata kita, kebahagiaan selalu tampak seperti pelangi. Hanya terlihat di atas kepala orang lain. Tak pernah di kepala kita. Kehidupan orang lain selalu terlihat lebih cerah, terdengar lebih ceria, dan lebih bercahaya. Penderitaan kita terasa berlipat-lipat, bila dibandingkan dengan orang lain.

Pertanyaannya adalah, apakah mungkin selama kita hidup dan bernafas di muka bumi, kita bisa mencapai suatu kebahagiaan yang total, sempurna, dan final tanpa ada kesulitan lain?

Seberapa pun sukses hidup kita menurut pandangan dunia saat ini, sukses dari segi finansial, pengakuan diri, nama baik, keluarga yang sempurna, tetap kita tidak dapat mencapai suatu situasi bahagia yang final. Kita mungkin merasa bahagia jam ini, namun jam berikutnya kita sudah menemukan kesulitan yang dapat membuat rasa bahagia kita terusik. Manusiawi…

Betapa sayangnya jika hidup kita setiap hari, detik demi detik dihabiskan untuk berusaha mencapai bahagia sejati.

Namun jika hidup kita bukan untuk mencapai bahagia, untuk apakah hidup kita?

Mungkin ini tentang kesadaran kita. Kesadaran bahwa bahagia bukanlah tujuan. Sebab, bila bahagia dijadikan tujuan utama dalam hidup, kita akan luput untuk menikmati proses meraih kebahagiaan itu. bila bahagia dijadikan cita-cita, kita akan kehilangan gelora. Sebab, bila bahagia sudah tercapai, apa lagi yang akan kita upayakan? Kehilangan visi, rasa dan makna akan kehidupan itu sendiri. Sebab, bila bahagia dijadikan tema utama kehidupan, kita akan kehilangan ia setelah kematian.

Bagaimana? Apakah kamu setuju dengan apa yang aku tuliskan di atas? Atau kamu memiliki pendapat lain?

meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget