Pages

27 June, 2014

Penerimaan yang indah

Memang tipis perbedaan antara menyerah, dengan tahu diri akan batas kemampuan, atau mencukupkan diri karena sudah sampai pada batas maksimal ikhtiar kita.

Lalu, bagaimana mengetahui bahwa hal itu adalah our best? And, when we can say "let Allah the rest"? Bagaimana?

Setiap manusia, tercipta dengan keunikannya masing-masing. Tak pernah sama persis. Kita adalah makhluk dengan karakteristik yang kompleks, walau mungkin diprediksi, tapi kesadaran kita dapat mengubah suatu hal sedemikian cepat. Keputusan demi keputusan yang kita hasilkan tiap hari, tak pernah sama, meski terlihat sebagai rutinitas. Selalu ada pergolakan batin untuk kemudian memutuskan sebuah langkah. Betapa hebatnya sang pencipta kita. Begitu original tiap manusia, di antara milyaran manusia di bumi ini.

Tentunya, setiap kita selalu ingin memilih, melakukan, dan menjadi yang terbaik. Hanya saja, definisi "terbaik" kita pun berbeda-beda. Ada kalanya, terbaik menurutku belum tentu terbaik menurutmu. Ada begitu banyak variabel penentu. Lantas, bila menurut kita itu adalah upaya terbaik kita, tapi tidak menurut orang lain, apa yang harus dilakukan?

Apakah lantas kita harus terus menyalahkan kekurangan diri? Lalu kapan kita akan menghargai dan menerima dengan penerimaan yang indah terhadap kekurangan hingga kelebihan diri kita sendiri? Kapan kita akan mulai mencintai diri ini, fisik dan ruh yang dipinjamkan Tuhan untuk kita jaga sebaik mungkin?

Maka, bila sampai pada tahapnya, usaha terbaikmu dinilai tidak cukup baik oleh orang lain, mungkin itulah batasannya. Batasan untuk kamu berkata, "Ini terbaikku. Terima kasih wahai diri, maaf wahai pribadi-pribadi yang belum mampu kupuaskan. Ini terbaikku, masalah ada pada Anda, bila ini bukan terbaik menurut Anda."

Bukan... Bukan berarti kita menyerah, atau tak mau belajar. Hanya saja, ada kalanya kita harus menerima kenyataan bahwa kita harus mencukupkan diri kita pada level itu. Selebihnya, biarkan hati dan iman yang bicara, biarkan Tuhan menyelesaikan sisanya. Tugas kita semata di dunia adalah ikhtiar, berusaha sebaik mungkin, bukan berhasil. Tuhan tidak pernah memaksa kita untuk berhasil, Tuhan hanya ingin lihat kesungguhan kita. Konsistensi, upaya, keberanian, dan pada akhirnya keikhlasan kita menerima, bahwa upaya terbaik kita belum tentu dinilai baik oleh lainnya. Saatnya kita berlapang dada.

Sebab, tak semua dari kita harus menjadi pemeran utama di panggung dunia ini. Bisa jadi, memang kita adalah figuran, pendukung demi lancar dan ramainya pertunjukan.

Sebab, tak semua dari kita harus menjadi jalan utama yang besar. Bisa jadi, memang kita adalah jalan setapak, yang mampu menunjukkan arah dengan upaya kita yang kecil dan hampir tak terlihat.

Berhentilah menyalahkan diri sendiri, berdamailah dengan hatimu. Relakan dirimu melakukan kesalahan, dengan janji tak akan mengulangi. Bukankah itu, penerimaan yang indah?


Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget