Pages

19 June, 2014

Tentang keimanan

Aku mau ngomong sama kamu. Kutunggu di restoran biasa sepulang kerja.

Katari membaca BBM Nugi dengan hela nafas yang panjang. Untuknya, hal ini sudah dapat diprediksi. Ketika seorang lelaki mengatakan “Aku mau ngomong sama kamu” biasanya akan ada hal serius yang dibicarakan. Katari paham, apa yang hendak disampaikan oleh Nugi. Perasaan itu kembali datang menghantuinya, seperti sebelum-sebelumnya. Kalau saja boleh, ia ingin menghindarinya. Ia tak mau  membayangkan hasil pertemuan itu. Tapi ini Nugi, sahabatnya. Demi persahabatan mereka yang sudah terjalin sejak lama, ia harus menemui Nugi.
***
“Bisakah kita lanjutkan hubungan ini, lebih dari sekadar persahabatan?”

Katari memutar-mutar cincin emas di jari manis kirinya, menghindari tatapan Nugi yang terasa begitu menusuk ke dirinya.

“Ri…”

Helaan nafas panjang. Tentu saja, helaan itu berasal dari Katari.

“Gi…”

“Kenapa? Apa salah kalau aku meminta lebih?”

“Enggak. Kamu enggak salah. Aku yang anomali.”

“Aku tahu prinsip kamu. Aku belum bisa mengabulkannya saat ini. Tapi aku benar-benar serius sama kamu. Aku sudah bicara sama mamamu. Please, Ri…”

“Gi…”

Mata Katari berkabut. Ada banyak kalimat yang ingin ia lontarkan, tapi semua tersangkut di tenggorokan. Ia tercekat. Tak mampu. Ini Nugi, bukan lelaki-lelaki sebelumnya yang dengan mudah dapat ia tolak perasaannya, tanpa berpikir dua kali. Nugi, lelaki yang ia harapkan menjadi pendampingnya kelak. Sayangnya, Nugi tetaplah lelaki. Meminta hal yang sama seperti lelaki-lelaki sebelumnya. Hal yang tak mungkin ia kabulkan.

“Kurasa aku enggak perlu menjelaskan panjang lebar, Gi. Kamu tahu jawabannya,” ada yang menyeruak di dalam dada Katari saat mengatakan ini. Seakan ada yang membuat lubang menganga di hatinya. Sakit. “Aku pulang duluan, Gi.”

Bahkan makanan yang ia pesan belum sempat tersentuh, Katari sudah berlari meninggalkan Nugi yang terdiam. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia menahan kabut di matanya agar tak menjadi hujan. Hatinya menggugat Tuhan. Tapi, apa daya. Ia hanyalah ia. Seorang hamba yang lemah, tiada daya upaya.
***

Bagaimana rasanya? Menolak orang yang selama ini kamu harapkan menjadi pendampingmu, hanya karena caranya tak sesuai dengan prinsipmu? Adakah yang lebih sakit? Bagi Katari, itu adalah pukulan terhebatnya.

“Bagaimana mungkin kamu mengaku beriman, sedang kamu belum diuji?”

Kita tidak akan pernah diuji dengan hal yang kita kuasai. Pastilah Tuhan menguji kita berdasarkan kelemahan yang kita miliki. Seseorang yang lemah terhadap wanita, tapi kuat terhadap tahta dan harta, tentulah akan diberikan ujian berupa wanita. Sama seperti Katari—muslimah yang berusaha lurus, mematuhi perintah Tuhannya, menghindari pacaran—yang lemah perasaannya akan cinta, juga lemah untuk berkata “Tidak”. Maka berulang kali, ia dihadapkan pada situasi yang penuh cinta. Walau ia bukan primadona, tapi tidak sedikit lelaki yang mengejarnya, menyatakan cinta dan ingin mengajaknya pacaran. Kali pertama, ia terjerat. Saking susahnya berkata “Tidak”, ia terima lelaki itu menjadi pacarnya. Namun itu hanya bertahan 22 hari. Selalu ada rasa menyesal setiap habis bertemu sang lelaki. Menyadari bahwa itu adalah suara hatinya yang mengenali dosa, maka ia menghentikan hubungan itu. walau sang lelaki menangis memohon agar ia kembali padanya. Lalu ia belajar untuk tegas berkata “Tidak”. Hingga saat ini, sejauh ini, ia berhasil.

Tapi saat Nugi yang menyatakannya, sahabat sekaligus lelaki yang—awalnya—ia impikan menjadi pasangannya kelak. Lelaki yang ia pikir, dapat memperjuangkan dirinya dengan cara Tuhannya, yang telah ia terangkan. Ternyata tidak. Ia tetaplah lelaki yang sama seperti lelaki-lelaki sebelumnya yang telah Katari tolak.

Ada kekecewaan yang amat sangat. Kecewa terhadap sikap Nugi yang tak sesuai ekspektasinya. Kecewa terhadap dirinya, yang menjadi anomali di zamannya, karena memilih prinsip ini. Ingin rasanya menggugat Tuhan. Mengapa saat ia tak mengharap cinta semu, dihadirkannya banyak cinta semu nan menggoda hati? Mengapa hal sederhana yang ia panjatkan, menjadi begitu rumit bagi sebagian orang yang menghargai prinsipnya? Apakah tak ada lagi, lelaki yang berani? Bukan keberanian membunuh naga, atau melawan penyihir jahat, melainkan hanya keberanian meminta dirinya pada walinya.

Lantas, apakah karena kekecewaan itu, Katari melepaskan prinsipnya? Inilah pergulatan batin terhebat di tiap diri manusia. Mana kala harus memilih antara sesuatu hal yang amat disayanginya, dibandingkan apa yang disenangi tuhannya. Itulah ujian sebenarnya, tentang keimanan. Bukan berarti rajin salat, puasa, dan amalan lainnya menandakan kamu begitu taat. Melainkan, saat kamu diuji, memilih dan berdamai atas kekecewaan karena tidak mendapatkan apa yang kamu inginkan. Itulah keimanan yang sesungguhnya.

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi, kamu menyukai sesuatu, tapi sesungguhnya itu tidak baik bagimu.”

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget