Maaf, dari judulnya seakan aku
kontra sekali dengan jengkol. Bukan bermaksud mendoakan petani jengkol untuk
tidak beroperasi lagi. bukan….
Sebenarnya aku tidak bermasalah
dengan para pecinta jengkol ataupun petai. Namun yang kupermasalahkan adalah
proses memasak jengkol dan petai itu sendiri. Hari Minggu ini, untuk kesekian
kalinya, aku “dipaksa” memasak. Kuakui, aku sedang kehilangan mood ke dapur. Sedang
malas mencoba-coba resep,maunya dengar puisi atau alunan music refleksi. Yaa…
sedang jadi wanita urban, yang kelelahan di kala weekend, sehingga maunya
melepas penat saja. Mencoba berbagai hal baru ataupun lama yang sudah jarang
kugeluti.
Kembali ke jengkol (untuk petai,
tidak akan kubahas karena dampaknya tidak separah jengkol untukku).
Pagi ini kakak meminta bantuanku
menjadi asisten memasaknya. Walau agak ogah-ogahan,tapi tetap kubantu jua. Awalnya
masih baik-baik saja, memasak ikan billy dibalado ijo, lalu gulai kacang
panjang dengan tahu dan tempe. Tapi di tengah perjalanan memasak,tiba-tiba dia
mengeluarkan sesuatu berwarna coklat tua, berbentuk bulat pipih seperti kancing
baju besar yang agak menggembung di tengahnya. Yaa… itulah JENGKOL!
Wajahku langsung masam, kakakku
tertawa senang.
“Kalo gw keluarin dari awal,
pasti lo ga mau bantuin gw masak kan!”
Yapp… 100! Aku tak akan mau
membantu dia memasak kalau tahu ada unsur jengkol di dalamnya. Huh!
Aku terus asyik mengulek cabe ijo
untuk balado ikan, dan mengabaikan jengkol yang sedang dia olah. Setengah jam kemudian, tercium
bau tak sedap. Bau itu berasal dari uap jengkol yang sedang direbus. NAH! Bau inilah
yang menyebabkan aku malas bersinggungan dengan jengkol. Membuat perutku mual,
bibirku seketika terkatup erat, menahan gejolak ingin muntah yang mengaduk-aduk
perutku. DAHSYAT!!
Buru-buru kuselesaikan ulekanku,
dan memilih menghindar keluar dari dapur. Tapi strategiku terbaca oleh kakak,
ia memotong gerakanku dengan berkata,
“Met, ulekannya jangan dirapiin
dulu! Nih, tumbukin jengkolnya.”
Dengan seenaknya, ia menumpukkan
jengkol ke dalam ulekanku. Baunya menguar dahsyat, membuatku semakin mual dan
mengatupkan bibir lebih erat serta menahan napas. Jengkol itu seperti mengejek
puas kepadaku. Demi menuntaskan pekerjaan yang telah kumulai, kutumbuklah
jengkol itu sepenuh perasaanku. Melampiaskannya dalam bunyi tumbukan yang
kencang. Beberapa jengkol yang belum terkelupas dari kulitnya mengerjaiku. Aku harus
memegangnya, mengupas dan membersihkan dari kulitnya yang lengket. Uuughhh… bau
tanganku menyatu dengan bau jengkol. Sekitar 10 menit, selesai sudah. Tanpa basa-basi
aku langsung menuju kamar mandi.
Muntah..
Yaa… aku muntah. Baunya berhasil
mengeluarkan isi perutku semalam. Tanganku yang terkontaminasi bau jengkol,
kucuci tiga kali dengan sabun. Namun masih saja tercium baunya samar-samar. Aarrghh…
sungguh menyebalkan.
Keluar dari kamar mandi, dengan
muka kuyu berpeluh, bukannya sapaan khawatir yang kudapat, melainkan ejekan
dari mama dan kakakku.
“Met… met! Baru segitu aja
muntah. Bagaimana nanti kalau dapat suami yang doyan jengkol. Mesti masakin
tiap hari. Yang ada makin kurus lo!” ujar kakak dengan ketawanya yang
menyebalkan.
“Met, belajar dong. Walaupun kamu
gak suka sesuatu, tapi harus belajar membuatnya.tetap itu wajib bagi perempuan.
Karena itulah pengorbanan dia. Apalagi nanti kalau punya anak, ga boleh
pilih-pilih makanan.” Nasihat mama.
Aah.. sudahlah. Aku diam saja. Kalau
aku membantah, yang ada aku akan makin disudutkan.
Itulah… sebab hubunganku dengan
jengkol belum terjalin dengan baik. Huff… semoga saja suamiku nanti pengertian,
gak minta dimasakin jengkol terus. Hahahah…. (In Your Dream, Met!)
Meta morfillah
No comments:
Post a Comment