Pages

29 September, 2013

Me VS Jengkol

Maaf, dari judulnya seakan aku kontra sekali dengan jengkol. Bukan bermaksud mendoakan petani jengkol untuk tidak beroperasi lagi. bukan….

Sebenarnya aku tidak bermasalah dengan para pecinta jengkol ataupun petai. Namun yang kupermasalahkan adalah proses memasak jengkol dan petai itu sendiri. Hari Minggu ini, untuk kesekian kalinya, aku “dipaksa” memasak. Kuakui, aku sedang kehilangan mood ke dapur. Sedang malas mencoba-coba resep,maunya dengar puisi atau alunan music refleksi. Yaa… sedang jadi wanita urban, yang kelelahan di kala weekend, sehingga maunya melepas penat saja. Mencoba berbagai hal baru ataupun lama yang sudah jarang kugeluti.
Kembali ke jengkol (untuk petai, tidak akan kubahas karena dampaknya tidak separah jengkol untukku).

Pagi ini kakak meminta bantuanku menjadi asisten memasaknya. Walau agak ogah-ogahan,tapi tetap kubantu jua. Awalnya masih baik-baik saja, memasak ikan billy dibalado ijo, lalu gulai kacang panjang dengan tahu dan tempe. Tapi di tengah perjalanan memasak,tiba-tiba dia mengeluarkan sesuatu berwarna coklat tua, berbentuk bulat pipih seperti kancing baju besar yang agak menggembung di tengahnya. Yaa… itulah JENGKOL!

Wajahku langsung masam, kakakku tertawa senang.

“Kalo gw keluarin dari awal, pasti lo ga mau bantuin gw masak kan!”

Yapp… 100! Aku tak akan mau membantu dia memasak kalau tahu ada unsur jengkol di dalamnya. Huh!

Aku terus asyik mengulek cabe ijo untuk balado ikan, dan mengabaikan jengkol yang sedang dia olah. Setengah jam kemudian, tercium bau tak sedap. Bau itu berasal dari uap jengkol yang sedang direbus. NAH! Bau inilah yang menyebabkan aku malas bersinggungan dengan jengkol. Membuat perutku mual, bibirku seketika terkatup erat, menahan gejolak ingin muntah yang mengaduk-aduk perutku. DAHSYAT!!

Buru-buru kuselesaikan ulekanku, dan memilih menghindar keluar dari dapur. Tapi strategiku terbaca oleh kakak, ia memotong gerakanku dengan berkata,

“Met, ulekannya jangan dirapiin dulu! Nih, tumbukin jengkolnya.”

Dengan seenaknya, ia menumpukkan jengkol ke dalam ulekanku. Baunya menguar dahsyat, membuatku semakin mual dan mengatupkan bibir lebih erat serta menahan napas. Jengkol itu seperti mengejek puas kepadaku. Demi menuntaskan pekerjaan yang telah kumulai, kutumbuklah jengkol itu sepenuh perasaanku. Melampiaskannya dalam bunyi tumbukan yang kencang. Beberapa jengkol yang belum terkelupas dari kulitnya mengerjaiku. Aku harus memegangnya, mengupas dan membersihkan dari kulitnya yang lengket. Uuughhh… bau tanganku menyatu dengan bau jengkol. Sekitar 10 menit, selesai sudah. Tanpa basa-basi aku langsung menuju kamar mandi.

Muntah..

Yaa… aku muntah. Baunya berhasil mengeluarkan isi perutku semalam. Tanganku yang terkontaminasi bau jengkol, kucuci tiga kali dengan sabun. Namun masih saja tercium baunya samar-samar. Aarrghh… sungguh menyebalkan.

Keluar dari kamar mandi, dengan muka kuyu berpeluh, bukannya sapaan khawatir yang kudapat, melainkan ejekan dari mama dan kakakku.

“Met… met! Baru segitu aja muntah. Bagaimana nanti kalau dapat suami yang doyan jengkol. Mesti masakin tiap hari. Yang ada makin kurus lo!” ujar kakak dengan ketawanya yang menyebalkan.

“Met, belajar dong. Walaupun kamu gak suka sesuatu, tapi harus belajar membuatnya.tetap itu wajib bagi perempuan. Karena itulah pengorbanan dia. Apalagi nanti kalau punya anak, ga boleh pilih-pilih makanan.” Nasihat mama.

Aah.. sudahlah. Aku diam saja. Kalau aku membantah, yang ada aku akan makin disudutkan.

Itulah… sebab hubunganku dengan jengkol belum terjalin dengan baik. Huff… semoga saja suamiku nanti pengertian, gak minta dimasakin jengkol terus. Hahahah…. (In Your Dream, Met!)

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget