“Met, kamu kok gak ngaji-ngaji
lagi sekarang?”
“Masih ngaji Ma, tapi lebih
sering online. Soalnya pada bentrok jadwalnya, susah nyari ketemunya. Kak nurulnya
juga lagi hamil muda, jadi ga bisa pergi-pergi jauh, kita harus ke bintaro
nyamperin. Jauh, naik kereta.”
“Yaudah sana, kamu datangi lah!”
“Iya Ma, tapi kalau sendiri meta
ga berani ah, ga enak juga sama suaminya. Emang kenapa sih? Tumben-tumbenan
mama nanyain meta ngaji apa gak?!”
“Ada yang beda aja dari kamu
semenjak gak ngaji kayak dulu.”
Beda? Aku merasa masih sama.
“Kamu lebih sering uring-uringan,
pikirannya kayak gak tenang, gampang capek juga. Padahal dulu kegiatan kamu
lebih banyak, tapi kamu lebih sehat, ga capekan, dan senyum terus. Makanya ngaji
lagi sana, gapapa jauh.”
Jlebb!!
Aku terdiam.
Mama yang selama ini diam, bahkan
sempat melarang aku ikut mentoring karena takut aku terjebak aliran sesat,
sekarang malah mengingatkanku. Padahal aku masih ingat sekali betapa sulit,
setengah mati meyakinkan mama dahulu, bahwa aku mengaji dengan metode mentoring
ini jauh lebih dalam dan purna yang kami kaji (mulai dari masalah tauhid,
kewanitaan, pernikahan, dan berbagai sharing gundah gulana). Pun ketika aku
memutuskan prinsip untuk ta’aruf dua tahun terakhir.
Bukankah ini terasa lucu? Orang yang
dulu menentangmu, curiga, sekarang menjadi pendukung nomor satu dan merasa
kehilangan ketika kau tidak lagi melakukan ritual itu.
Benar memang apa yang dikatakan
mama, ada yang hilang, kosong, sebagian dari diriku hingga aku uring-uringan. Mungkin
hanya satu hingga dua jam saja aku bersama kelompok mentoringku, tapi jika
tidak dapat bertemu seminggu, rasanya aku sudah berlumur dosa. Dan tidak ada
yang menyucikan aku dengan nasihatnya. Melalui whats app pun terasa kurang. Ada
hal-hal yang terkadang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata melalui dunia
virtual. Ada hal yang bila kau tatap mata gurumu, ia langsung tahu apa yang
menjadi kegundahanmu. Itulah indahnya pertemuan (liqa’) ini.
Memang, tarbiyah bukanlah segalanya. Tapi segalanya berawal dari tarbiyah.
Dan ini membuktikan, bahwa dengan
kegigihan kita memperjuangkan prinsip yang kita yakini dan secara konsisten
menjaga niat, maka orang-orang yang menentang pun akan luruh. Menerima. Bahkan mendukung
sepenuh hati.
Aah…aku rindu telaga kautsar
& penjaganya.
Aku rindu ukhuwah.
Aku rindu para pencari tuhan
lainnya.
Sungguh… aku gemetar dalam
gelegak rindu.
No comments:
Post a Comment