Hujan.
Rintik yang kemudian
menderas. Kembali menemani sang gadis. Gadis terpekur di ruang tamu. Matanya
terpejam, namun hatinya menggumam. Betapa setianya sang hujan. hadir kala ia
butuh seorang pendengar yang baik. Pendengar jeritan hatinya, di saat semua
teman baginya menyesakkan jiwa. Gadis tahu bahwa yang ia butuhkan hanyalah
perenungan. Tanpa usaha keras mencari jawaban. Karena pikirannya keruh bak air
yang diberi sabun lalu diaduk kencang. Sekeruh itu. Pikiran itu hanya bisa
dijernihkan dengan mendiamkan. Tanpa melakukan apa-apa, hingga sang air dan
sang sabun berupaya melepas diri masing-masing.
Sang gadis masih
terpejam. Ia merindu. Kembali merindu. Ia memanggil, menggapai dalam ruang
rindu yang ia cipta. Ruang rindu yang ia hadirkan untuk sang bapak yang telah
pergi sebelas tahun lalu. Ia bertanya tentang serenade hujan ini, apakah orkes
buatan bapaknya? Karena ia heran, mengapa hujan selalu turun kala ia
membayangkan wajah sang bapak. Apakah itu cara ia dan bapaknya berkomunikasi?
Melalui izin Langit?
Entahlah… ia hanya diam
dengan hati yang menggumam. Mencoba mengurai kusut kasat mata.
Ah…di bawah Menara
Eiffel sana seseorang berkata lirih sama dengannya.. “C’est la vie”.
No comments:
Post a Comment