Pages

24 September, 2013

Gadis & Hujan [5]


Hujan.

Rintik yang kemudian menderas. Kembali menemani sang gadis. Gadis terpekur di ruang tamu. Matanya terpejam, namun hatinya menggumam. Betapa setianya sang hujan. hadir kala ia butuh seorang pendengar yang baik. Pendengar jeritan hatinya, di saat semua teman baginya menyesakkan jiwa. Gadis tahu bahwa yang ia butuhkan hanyalah perenungan. Tanpa usaha keras mencari jawaban. Karena pikirannya keruh bak air yang diberi sabun lalu diaduk kencang. Sekeruh itu. Pikiran itu hanya bisa dijernihkan dengan mendiamkan. Tanpa melakukan apa-apa, hingga sang air dan sang sabun berupaya melepas diri masing-masing.

Sang gadis masih terpejam. Ia merindu. Kembali merindu. Ia memanggil, menggapai dalam ruang rindu yang ia cipta. Ruang rindu yang ia hadirkan untuk sang bapak yang telah pergi sebelas tahun lalu. Ia bertanya tentang serenade hujan ini, apakah orkes buatan bapaknya? Karena ia heran, mengapa hujan selalu turun kala ia membayangkan wajah sang bapak. Apakah itu cara ia dan bapaknya berkomunikasi? Melalui izin Langit?

Entahlah… ia hanya diam dengan hati yang menggumam. Mencoba mengurai kusut kasat mata.

Ah…di bawah Menara Eiffel sana seseorang berkata lirih sama dengannya.. “C’est la vie”.


No comments:

Post a Comment

Text Widget