Kepada Bapak nomor satu di dunia,
Mendung pagi ini di Jakarta,
mengais kenangan tentangmu. Mendung yang sama saat hari kepergianmu. Dua belas
tahun yang lalu, sabtu yang muram. Dalam hening sepi, aku rindu padamu. Bila larut tiba, wajahmu selalu terbayang, kerinduan
ini semakin dalam. Menuai cerita berdua denganmu. Namun kerinduan ini hanyalah
tinggal kerinduan. Anakmu kini, banyak menanggung beban. Sendiri. Tanpa pernah
tahu apa yang akan terjadi nanti.
Bapak…
Kemarin aku ke Taman Suropati,
kulihat banyak keluarga menghabiskan waktunya di sana. Banyak pula para bapak
yang menggendong putra-putrinya. Aku hanya tergugu diam. Iri… sungguh iri. Iri akan
kenangan kita berdua dahulu. Kau yang suka mengajakku menjelajahi seluk-beluk
taman di Museum Tekstil tiap minggunya. Tak bosan kau jepret aku yang centil
bergaya bak selebritis dengan kamera kodak tua kesayanganmu. Aah.. kenangan begitu lekat, kusimpan erat dalam
sekotak hatiku yang rapat. Tak rela ia memudar.
Ketika kualihkan pandangan ke
sisi taman lainnya, kulihat lagi seorang gadis dewasa dengan bapaknya. Tampak berbincang
sesuatu yang agak serius. Sesekali sang gadis menggelayut manja pada lengan
bapaknya. Aku menduga, mereka sedang membicarakan kehidupan sang gadis. Lalu kembali
aku iri… iri pada hal yang tidak pernah terjadi padaku. Kau yang telah pergi di
usiaku yang baru menginjak sebelas tahun, tak sempat membincangkan kehidupanku
setelahnya. Kehidupanku yang beranjak remaja kemudian dewasa. Detik-detik di
mana aku sering sangat merindukan dan berharap kehadiranmu. Ingin sekali aku
membincangkan sesuatu hal yang hanya dapat dimengerti olehmu. Yaa… tentang
lelaki. Mereka yang mendekati putrimu ini. Aku ingin tahu bagaimana jikalau kau
masih ada di sisiku? Seperti apa penilaianmu terhadap mereka? Dengan segala
usaha mereka menarik perhatianku..
Lalu aku membayangkan kau akan
sedikit bersikap posesif, karena aku bungsumu. Kau akan mendongengiku masa
mudamu dengan mama dahulu, seperti yang sering dilakukan mama padaku sekarang. Aku
hanya bisa tersenyum dengan kesakitan. Sakit… karena aku tahu itu hanya
khayalanku saja. Demi menghibur diri yang mendamba keberadaanmu.
Bapak…
Sungguh… aku rindu. Tak sempat
aku berkata, “Aku sayang Bapak. Bapaklah nomor satu yang terhebat di bumi ini”.
Semoga saja, kau tak pernah
kecewa padaku. Semoga saja, kau tak pernah menyesal memiliki anak sepertiku. Semoga
saja kau tenang di sana.
Semoga saja rinduku tersampaikan
untukmu di sana. Walau kita berbeda ruang dan waktu.
Anakmu yang selalu merindu,
Meta morfillah
No comments:
Post a Comment