Pages

12 November, 2016

[Review buku] Critical eleven

Judul: Critical eleven
Penulis: Ika Natassa
Penerbit: Gramedia
Dimensi: 344 hlm, 20 cm, cetakan ketiga september 2015, edisi ebook di ijak
ISBN: 978 602 03 1892 9

Dalam dunia penerbangan, ada yang namanya critical eleven. Sebelas menit yang paling kritis dalam pesawat, yaitu tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing. Dalam waktu ini para air crew harus serius berkonsentrasi, sebab banyak kecelakaan terjadi pada sebelas menit kritis tersebut. Prinsip itu menurut Anya juga pas untuk pertemuan seseorang, apakah akan berkelanjutan atau sepintas lalu saja. Tiga menit pertama Anya terkesan pada Ale di pertemuan pertama mereka. Dan Ale terkesan pada Anya di delapan menit terakhir pertemuan mereka. Cukup sebelas menit di pesawat Jakarta-Sydney yang membuat mereka memutuskan menikah setahun kemudian.

Semuanya terasa begitu menyenangkan, persis kisah happy ending. Mereka adalah pasangan yang membuat iri sekitarnya, juga menjadi idola. Hingga petaka itu datang, dan sebuah kesalahan Ale menutupi segala kebaikannya. Anya tersakiti dan memutuskan untuk membatasi hubungan dan berpura baik-baik saja di hadapan keluarga dan orang lain. Enam bulan berlalu, Ale tidak tahan dengan situasi yang membuat istrinya jauh. Ia bertekad memperbaiki kembali cintanya. Perjuangan yang dimulai saat libur sebulannya dari offshore. Sebelum kembali mereka menjalani Long distance marriage.

Romantis, ironi, namun mengalir lembut. Dengan alur maju mundur, bermain kenangan dari sudut pandang Anya dan Ale. Saya baru membaca dua karya penulis ini. Ternyata, tokohnya berhubungan. Harris Risjad di "Antologi Rasa" dengan Keara terjawab akhir hubungannya dalam novel ini. Benang merahnya pula, Harris adalah adik Ale. Gambaran lengkap keluarga pun utuh di novel ini. Tapi terlihat juga ciri khas penulis, yang hampir bersetting bandara, travelling, segala macam perjalanan, kehidupan metropolitan sukses, dan cinta tentunya. Jauh lebih baik dari novel sebelumnya yang saya baca. Btw, ini buku keempat yang saya baca di ijak.

Saya apresiasi 4 dari 5 bintang.

"Aku suka Jakarta. Macetnya, polusinya, padatnya. Karena di Jakarta semua orang berada in the state of trying. Trying to get home, trying to get to work, trying to stay, trying to leave, trying to works thing out. Bagiku Jakarta is a labyrinth is discontent. Setiap hari kita berusaha keluar dari labirin itu. The funny thing is, ketika kita hampir berhasil keluar, kita ketemu lagi hambatan yang membuat kita balik ke sana. Kita justru senang karena enggak diam di titik aman. Comfort zone is boring, isn't it?" (H. 11)

"Hidup ini jangan dibiasakan menikmati yang instan, jangan mau gampangnya saja. Hal terbaik dalam hidup justru seringnya melalui usaha yang lama dan menguji kesabaran dulu." (H. 31)

"Kalau kita sudah memilih yang terbaik, seperti kamu memilih istri kamu, seperti memilih biji kopi terbaik, bukan salah mereka kalau rasanya kurang enak. Salah kita yang belum bisa melakukan yang terbaik sehingga mereka menunjukkan yang terbaik juga pada kita." (H. 56)

"Tidak ada yang bisa mengerti, kecuali  pernah mengalami rasanya saat kebahagiaan orang mengingatkan pada kesedihan diri sendiri." (H. 93)

"For many of us, Jakarta is not a city, it's a book full of stories. Menyimpan banyak cerita di setiap sudutnya." (H. 144)

"Orang yang paling membuat kita terluka, biasanya adalah orang yang memegang kunci kesembuhan kita." (H. 252)

"Banyak hal di dunia ini yang semakin mudah jika kita semakin sering melakukannya. Namun untuk urusan hati, tidak ada yang pernah jadi lebih mudah karena biasa. Melalui patah hati, dikhianati, tidak akan pernah jadi mudah karena biasa." (H. 286)

Meta morfillah

1 comment:

Text Widget