Pages

24 April, 2017

[Review buku] Menyimak kicau merajut makna

Judul: Menyimak kicau merajut makna
Penulis: Salim A. Fillah
Penerbit: Pro-U media
Dimensi: 408 hlm, cetakan pertama 2012
ISBN: 979 1273 96 0

Buku ini adalah kumpulan kicauan Ustad Salim di twitternya @salimafillah. Dikemas dengan apik dan dalam bentuk narasi dengan ragam topik untuk direnungi. Sebenarnya mudah menyelesaikan buku ini dalam sekali baca.

Namun keindahan dan kedalaman maknanya membuat saya sengaja berlama dan menadabburi kembali maksud tiap kata, peristiwa dan pemahaman baru yang saya dapatkan. Bahkan di beberapa part sangat sesuai dengan konteks aktual saat saya membaca buku ini: PILKADA DKI PUTARAN II 2017.

Aah... rasanya hampir semua kalimat dalam buku ini ingin saya kutip. Menginspirasi untuk dijabarkan dalam kontemplasi diri lanjutan.

Saya apresiasi 5 dari 5 bintang.

"Mericaulah yang baik: benar isi, indah cara, tepat waktu, bermanfaat, dan berpahala. Atau DIAM menyimak, ambil ibrah terbaiknya." (H.20)

"Aku bukan tak sabar, hanya tak ingin menanti. Karena berani memutuskan adalah juga kesabaran. Karena terkadang penantian membuka pintu-pintu syaitan."
"Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan." (H.45)

"Mendahulukan memahami sesama itu melelahkan jiwa, tapi siapa yang ahli mengasahnya, kan dihadiahi cinta dan doa: jelita, rahasia." (H.88)

"Menolak suatu kejahatan, jangan sampai melahirkan kejahatan yang lebih besar. Memenangkan kebenaran, bukan cuma soal memenangkan argumen, melainkan memenangkan hati. Hati tunduk oleh akhlak mulia. Jika hati sudah jatuh cinta pada pekerti, tak diberi hujah pun dia akan mencari dalilnya sendiri." (H.95)

"Tinggal di Negeri Sakit memang menyesakkan, tapi kami syukuri negeri sakit ini dengan sangka baik padaMu, inilah hamil kepahlawanan yang memualkan, memberati punggung, menyulitkan gerak." (H.124)

"Bahagia adalah masa lalumu tak membelenggu, masa depanmu tak menghantu, masa kinimu terisi puncak karya yang kaubisa." (H.129)

"Apa yang paling banyak kaubicarakan umumnya adalah yang paling besar menghuni hatimu. Sayang sekali jika bukan Allah.
Ukuran sesungguhnya pemimpin bukanlah berapa banyak yang melayaninya, tapi berapa banyak yang ia layani." (H.135)

"Kita memang membaca buku, menyimak kajian, tapi kebenaran pemahaman kita belum tentu terjaminkan. Maka menulislah, agar jutaan pembaca menjadi guru yang meluruskan kebengkokan, mengingatkan keterluputan, membetulkan kekeliruan." (H.136)

"Saling mencintai membuat kita tahu cara saling melukai. Tapi cara untuk saling membahagiakan sungguh harus dipelajari." (H.174)

"Allah lebih tahu dibanding kita tentang apa yang terbaik bagi kita. Setiap pengabulan doa selalu diikuti konsekuensinya. Maka jika kita meminta yang terbaik, semoga Allah bimbing juga agar kita mampu menghadapinya." (H.199)

"Iman tak menjaminmu tuk selalu berlimpah dan tertawa. Tapi ia menjaminmu merasakan lembut belaian cintaNya pada apa pun dera yang menimpa. RidhaNya ada pada ketaatan kita di semua warna dan rasa." (H.220)

"Ibu. Madrasah cantik nan agung, tempat anak-anak mempertanyakan semesta dengan bahasa paling akrab, harapan paling memuncak, dan keingintahuan paling dalam. Dermaga paling tenang untuk melabuh hati saat mereka merasa teraniaya. Belai paling menenteramkan saat mereka gelisah. Dekapan paling memberikan rasa aman saat ketakutan. Bahu paling kukuh untuk merebah, bertahan dari amuk badai kesedihan." (H.239)

"Jalan kaki tidak keki, naik mercy tidak grogi, naik angkot tidak sewot, naik garuda tidak jumawa." (H.248)

"Yang diujiNya bukan kemampuan, melainkan kemauan. Tiap penghalang di jalan kehidupan tertakdir ada untuk 1 alasan sederhana: mengetahui sebesar apa tekad kita untuk melampauinya." (H.281)

"Yang kita pertanggungjawabkan ikhtiar kita, bukan hasilnya." (H.289)

"Janganlah ketidaktahuan orang padamu--yang membuat mereka memuji-mujimu--mengalahkan pengenalan sejatimu pada dirimu sendiri." (H.339)

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget