Pages

31 July, 2016

EKSPEDISI PENDAKIAN GUNUNG GEDE (Hari kedua)

EKSPEDISI PENDAKIAN GUNUNG GEDE

Hari kedua, 30 Juli 2016

Kami terbangun pukul 03.00, sebab rencana mendaki ke puncak pukul 03.00 dengan estimasi waktu perjalanan 2 jam sehingga target kami pukul 05.00 sudah di puncak dan kami mendapatkan sunrise. Namun ternyata kelompok lain banyak yang begitu lelah dan staminanya belum pulih. Sehingga ada revisi pendakian akan dimulai setelah subuh. Kami pun melanjutkan tidur kami. Pukul 04.30 kami bangun dan menyiapkan sarapan. Saya mengambil air untuk memasak ke sumber air terdekat sekaligus berwudhu. Selesai salat subuh jama'ah di tenda dengan posisi duduk, kami pun keluar. Makanan berupa mie campur--sebab mie soto, mie kari ayam, dan mie goreng dicampur jadi satu bumbu dan diberi kuah--4 telor rebus, dan sarden habis kami lahap. Minuman hangat susu jahe pun tandas, meski tak berapa lama berubah menjadi es jahe.

Tak lama kami--para guru akhwat--melakukan pemanasan sekitar pukul 06.00. Ternyata guru ikhwan belum memasak dan makan. Sehingga kami menunggu mereka dan asyik bercengkerama di luar tenda sembari berfoto ria serta membuat video. Akhirnya kami kesiangan dan tidak mendapat sunrise sebab kami berangkat pukul 08.00. Jalur dari kandang badak ke puncak rupanya cukup terjal dan melewati tanjakan setan. Tanjakan dengan arah 85 derajat ini dilalui dengan tali webing dan carabiner. Alhamdulillah kami semua selamat, meski tebingnya begitu curam dan mengerikan bila kami sampai salah pijak dan jatuh. Semakin ke puncak, nafas semakin sulit sebab perbedaan tekanan udara. Sedapat mungkin saya berusaha bernafas melalui hidung, bukan mulut. Namun dada saya semakin sakit, sehingga sedikit-sedikit saya terpaksa berhenti. Beruntunglah saya ditemani oleh tim yang hebat, utamanya Pak Yusup selaku kepsek SMP dan Pak Aris selaku kepsek SD. Mereka memberikan saya madu kurma dan air untuk menambah stamina sebab muka saya terlihat begitu pucat. Bahkan tas serta jaket dan syal saya dibawakan hingga puncak oleh Pak Aris. Hatur nuhun pisan para bapak!

Perlahan tapi pasti saya mencapai kawah. Di sana saya sempat membuat puisi untuk Mama. Begitu banyak yang ingin saya ucapkan dan saya sebut, tapi perjalanan ini membuat saya semakin yakin bahwa satu-satunya orang yang pantas menerima persembahan saya adalah Mama. Begitu kuat wajah Mama terbayang di sana hingga membuat saya lupa siapa saja yang ingin saya sebut dalam doa dan tulisan saya--maaf--seperti ada kekuatan doa mama yang menuntun saya sejauh ini. Saya yang berkali ingin menyerah ke puncak tapi selalu disemangati rasanya begitu luar biasa. Persis seperti Mama yang selalu bijak menyikapi keluhan saya akan permasalahan yang saya hadapi. I really love you because Allah, Mom!

Sesampainya di kawah matahari sedang semangatnya memamerkan cahaya serta panasnya. Kira-kira itu pukul 10.30. Ternyata itu belum puncak. Kami masih harus berjalan lagi untuk menuju puncak. Jalanannya doninasi batu kerikil yang agak licin, dan tidak ada pohon yang menaungi. Hanya ada 2 pohon yang tumbuh, edelweis dan satunya lagi saya tidak tahu. Edelweisnya pun sedikit, banyaknya ada di alun-alun suryakencana (surken), sekitar 2 km dari puncak turun ke bawah. Awalnya saya pikir bisa mengunjungi surken dan berfoto di hamparan edelweis. Nyatanya saya tidak setangguh itu. Bahkan saat di kawah tadinya saya tidak mau ikut ke puncak. Sebab saya sudah tak kuat melangkah. Tapi, lagi-lagi saya disemangati oleh para bapak, "Sayang Bu Meta, sudah sejauh ini tidak sampai puncak. Perlahan ayo berjalan. See you on top!"

Maka, saya pun berjalan seperti zombie. Menyeret langkah perlahan, satu per satu, dan alhamdulillah sampai juga di tugu puncak 2958 mdpl. Di sana saya dapati ada tenda yang berisi orang jualan nasi uduk, minuman hangat, serta pop mie. Woooww... luar biasa di ketinggian seperti itu ada yang jualan!

Di puncak kami makan nasi timbel yang dibakar dengan abon. Rasanya sungguh nikmat karena kebersamaan. Biasanya mah, mana mau saya makan nasi sama abon! Lalu kami mengabadikan kenangan di puncak dengan spanduk dan bendera Sekolah Islam Ibnh HAjar. Tapi tak semua guru yang ikut ke puncak. Beberapa menunggu di kawah sebab staminanya terkuras dan ada yang phobia ketinggian.

Setelahnya, bagi saya perjalanan turun terasa jauuuuuh lebih mudah dan cepat. Kami tiba di kandang badak pukul 13.00. Kami pun bersiap memasak makan siang, salat, packing dan membereskan tenda. Kira-kira pukul 14.00 kami bersiap turun. Target kami pukul 18.00 kami sudah sampai di mandalawangi, tempat mobil jemputan menunggu kami untuk kembali ke Bogor. Sayangnya, beberapa kawan keseleo kakinya, bahkan ada yang bengkak dan sepatu/sandalnya putus. Hingga kami terpisah cukup jauh dan terbagi tiga kelompok. Saya adalah kelompok paling depan dan pertama yang berhasil sampai di bawah pukul 20.00. Itu pun diselingi beberapa kali perhentian, sebab ada yang tak kuat melangkah dan harus dibagi beban bawaan serta pakai tongkat, juga harus berganti sandal seperti saya, sebab karet sepatunya lepas saat melewati tebing mancur air panas. Udara malam yang semakin dingin disertai kegelapan yang perlahan menyelimuti menambah berat perjalanan kami. Senter pun mulai dinyalakan. Seram sekali perjalanan turun malam hari dibanding mendaki. Sebab kalau sampai salah pijak, kami bisa jatuh tergelincir. Melewati jembatan rawa, kami membaca bahwa masih ada beberapa macan tutul yang hidup di sekitarnya, sehingga kami memburu langkah saat melewatinya. Sepanjang jalan kunang-kunang bertebaran dan suara jangkrik semakin kencang. Hingga tiba di tempat sampah dekat kantor administrasi, kami dikejutkan oleh babi sebesar kambing dan gemuk seperti sapi berwarna abu-abu putih. Babi itu awalnya saya kira patung, tapi tiba-tiba dia menolehkan moncongnya ke arah kiri dan mulai berisik mengacak-acak tempat sampah. Saya dan tim bersegera menepi dan berjalan cepat agar tidak menarik perhatian babi hutan itu. Dari jauh saya senteri babi itu, memantau pergerakannya dan memberitahu pada pendaki yang naik atau turun untuk berhati-hati. Cukup lama babi itu berada di sana. Tapi alhamdulillah yang kami khawatirkan tidak terjadi. Malam kian larut, sinyal baru pada masuk, mobil jemputan ternyata sudah menunggu dari pukul 11.00 siang. Sementara kelompok terakhir belum sampai dan sulit dihubungi melalui HT dan HP. Akhirnya diambil kebijakan bahwa yang sudah sampai harus segera dipulangkan, terutama yang akhwat. Sebab kondisi hari itu adalah malam minggu, pasti ada arus buka tutup jalan di puncak. Maka tim ikhwan mengurus perizinan dan membagi tugas untuk sebagian ikut kembali ke Bogor mendampingi akhwat dan sebagian menunggu tim yang di belakang. Pukul 21.00 kami pulang dan terjebak arus tutup jalan. Sehingga pukul 23.40 kami baru tiba di sekolah. Dalam perjalanan pulang saya agak mengigau karena mual oleh pergantian udara dan angin malam. Saya menahan rasa ingin muntah dan mencoba tertidur setelah dibaluri minyak kayu putih dan meminum you c 1000. Untunglah teman-teman memahami, dan mereka memijati pundak serta punggung saya hingga saya bisa terlelap sebentar dan berhasil tidak muntah di mobil. Alhamdulillah, dengan sisa tenaga yang ada, kami berhasil pulang dengan selamat.

Hikmah ekspedisi naik gunung gede:

1. If you wanna go fast, go alone.
If you wanna go far, go together.

Pepatah itu amat benar. Terlihat sekali siapa yang ingin menang sendiri dan duluan menuju puncak tanpa memikirkan timnya di belakang. Juga terlihat sekali betapa empati dan sabarnya mereka yang sebenarnya bisa saja jauh lebih cepat sampai, tapi menjaga kami yang kelelahan, tertinggal, dan butuh motivasi hingga sampai puncak bersama. Terlihat juga siapa yang mementingkan dirinya sendiri dan benar-benar peduli pada sekitarnya. Saya sendiri merasa kadang agak egois ketika saya sudah tidak kuat, padahal yang lain pun saya yakin juga tidak kuat, tapi berusaha menguatkan. Maafkan bila tanpa saya sadari saya seperti itu ya kawan.

2. Filosofi mendaki gunung itu sungguh seperti menafakuri jalan hidup kita. Bahwa semua begitu panjang dan kita merasa sangat jauh untuk mencapainya serta tidak kuat bila membayangkannya. Yang harus kita lakukan adalah terus saja melangkah dan menjaga hubungan. Sebab mereka yang bahkan tak kita kenal pun melintas mendatangkan semangat bagi hati dan kaki yang telah lelah. Berkali saya mendapat kalimat dari pendaki yang turun berpapasan di jalan, "Semangat, Mbak! Kamu pasti bisa. Sedikit lagi, kok." Meskipun saya tahu bahwa masih jauh, tapi itu membantu saya mendapatkan energi positif.

3. Kekuatan cinta dan dukungan orang terdekat adalah modal utama dalam menapaki jalan panjang beserta segala kesulitannya ini. Saya merasakan bahwa saya harus sampai atas untuk mempersembahkan sebuah puisi untuk mama saya. Jika gagal, rasanya sia-sia mama telah memberikan izinnya yang sulit bagi saya untuk naik gunung.

Ah pokoknya banyak banget kesan dan pembelajaran yang saya dapat dalam dua hari lalu. Alhamdulillah, masyaa allah, subhanallah, allahu akbar rasanya semua puja dan puji tak henti membanjiri hati dan pikiran saya akan maha kuasanya Allah. Terima kasih Allah atas hidup ini, dan orang-orang yang pernah dan masih hadir dalam hidup saya. Saya sayang kalian semua!

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget