Pages

12 November, 2015

[Review buku] Tetap saja kusebut (Dia) cinta

Judul: Tetap saja kusebut (dia) cinta
Penulis: Tasaro GK
Penerbit: Qanita
Dimensi: 264 hlm, 13 cm, cetakan I Mei 2013
ISBN: 978 602 9225 88 4

Buku ini sudah saya miliki sejak agustus 2013. Sudah saya baca kesekian kali. Tapi kali ini saya ingin mengabadikannya melalui review. Sebab penulisnya merupakan salah satu penulis yang saya sukai karyanya di negeri ini. Buku ini pun merupakan karyanya yang terindah secara fisik menurut saya. Sebab tiap halaman dengan judul berbeda berwarna beda pula. Persis seperti pelangi saat dilihat dalam keadaan tertutup. Belum lagi ilustrasi berwarnanya, seperti lukisan dalam sebuah buku. Kertas yang digunakan pun putih dan tebal, cukup sesuai dengan nilai buku yang harus dibayar.

Kali ini, Tasaro mencoba menelurkan kumpulan cerpen. Ada 9 cerpen dalam kisah ini. Meski judulnya begitu puitis--dan merupakan salah satu judul cerpen di dalamnya--jangan kaukira isinya melulu cinta romantis dan happy ending.

"Puisi" mengingatkan saya pada novel "Kubah" karya Ahmad Tohari. Isu yang dibawakan hampir mirip, mengenai kisah seorang istri yang terpaksa menikah lagi sebab suaminya dipenjara karena gerakan kiri di masa kelam Indonesia. Hanya, dalam cerpen ini memakai dua tokoh lintas generasi, Dokter Smile dan Ibu Aryati. Bahwa cinta dalam lintas generasi, tetap sama. Problemnya pun bisa dicari solusinya berdasarkan pelajaran hidup orang terdahulu.

Setelahnya ada "Roman Psikopat" yang mengingatkan saya pada cerpen Tere Liye berjudul "Harga sebuah pertemuan" yang dibukukan menjadi Mimpi-mimpi si patah hati, kalau tak salah. Pembuktian cinta yang khas Roman, ternyata tak sepemahaman dengan temannya, Joshua dan pacarnya, Ghendis. Twistnya cukup menarik, meski terasa aneh dalam keberadaannya dalam kumcer ini. Seakan memorak-morandakan tema cinta sendu yang digambarkan dalam judul.

Kalau ditanya mengenai alur cerpen yang cukup membuat kening saya berkerut, jawabannya adalah "Galeri". Saya paham tengah hingga ending serta twist yang dimaksud. Tapi entahlah, saya tak memahami percakapan awal, siapa aku, harus seperti apa saya memosisikan aku dan diri saya sebagai pembaca.

Salah satu cerpen yang saya suka dan judulnya sering menginspirasi saya menulis hal-hal kecil, adalah "Bukan malaikat rehat". Sebab di antara semua cerpen, saya cukup memiliki ikatan emosi dengan masalah yang dihadapi Sutha dalam cerpen ini.

"Tetap saja kusebut (Dia) cinta" tentu menjadi masterpiece dalam buku ini. Kisah perasaan yang hanya memerlukan pengakuan tanpa perlu adanya penyatuan. Bilangan tahun yang tidak sedikit ataupun sebentar bagi Angaraka dan Arumdhati. Dengan latar desa Tengger dan perbedaan keyakinan yang terasa sekali unsur lokalitasnya. Saat membaca ini, saya teringat lagu Lembayung Bali dan membayangkan sosok Arumdhati seperti wanita penyanyi lagu itu, dalam video clipnya.

Isu homoseksualitas, pemerkosaan dan benturan idealisme seorang wartawan dengan realitas yang membuatnya gemas, dapat kamu temukan di "Tuhan nggak pernah iseng". Cukup satire menohok bagi saya, sebab ada sindiran halus bahwa kadang kita terlalu berfokus jauh, namun lupa kawan dekat kita, lingkungan sekitar dan keseharian kita. Kepekaan.

Cerpen terpendek dan lebih mirip Flash fiction dengan twist cukup mengagetkan ada di "Separuh mati". Kali ini bahasannya adalah isu lesbian dan biseksual.

"Atarih" yang jika kamu baca dari belakang merupakan nama seorang penulis terkenal Indonesia yang go international juga. Sepertinya ini adalah pembukuan kekaguman penulis dengan sosok tersebut. Pengalaman nyata dan sebuah kesan. Bukan sekadar fiksi.

"Kagem ibuk" saya berani berspekulasi ini adalah curhatan jujur sang penulis. Sebab, curhatan lainnya ada dalam buku penulis berjudul "Sewindu". Tema ibu seringkali menjadi ciri khasnya.

Mengenai diksi, jangan ditanya. Tasaro GK bagi saya bagaikan Dewi "Dee" Lestari versi cowok. Namun, saya lebih suka gaya menulis beliau dalam novel, seperti Muhammad, dibandingkan cerpennya.

Saya apresiasi 4 dari 5 bintang.

"...ketika kata cinta bahkan tak pernah dilisankan begitu rupa, imbasnya mampu mencengkeram hati begitu lama." (Hlm. 15)

"Aku belajar menulis karena tahu dia suka membaca" (Hlm. 21)

"Lupa bahwa para aktivis bukanlah malaikat yang sedang rehat di pelataran bumi." (Hlm. 106)

"Ada waktunya perasaan itu mencapai klimaksnya ketika terjadi sebuah pengakuan, kesepahaman. Cinta kadang memiliki dimensi yang terbatas pada rasa saja. Kebutuhannya sampai di situ." (Hlm. 153)

"Engkau sudah hafal bukan, bagaimana caramu menempatkan dia dalam degup dadamu? Tak pernah akan ada seorang pun yang sanggup membuatmu cemburu." (Hlm. 216)

"Pekerjaan seorang penulis itu sebatas menulis saja. Biarkan para kritikus mengambil perannya sebagai pemberi kritik." (Hlm. 230)

"Kuncinya adalah terus belajar. Bagi seorang penulis, tidak ada pilihan agar dia terus berkembang selain dengan terus belajar." (Hlm. 243)

"Menjadi orangtua itu selalu dipeluk kekhawatiran tentang anak-anaknya." (Hlm. 249)

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget