Pages

17 November, 2015

[Cerita Lirik] Aku bisa

Kadang ku takut dan gugup
Dan ku merasa oh-oh tak sanggup
Melihat tantangan di sekitarku
Aku merasa tak mampu

Tujuh orang di hadapanku tengah membaca persiapan materi microteaching mereka. Bahkan beberapa nampak melakukan persiapan maksimal. Membawa kertas karton, spidol, contoh dedaunan dalam bentuk cetakan foto dan aslinya. Hanya aku yang terlihat begitu santai dengan tes ini. Yaa… kami adalah calon pelamar posisi guru di sebuah SD Islam terpadu dengan konsep alam. Aku malah asyik mengamati luasnya tanah sekolah itu. Ada kebun pepaya, singkong, arena outbound, bahkan sebuah bangunan untuk SMP yang sedang dibangun. Kelas-kelasnya pun unik. Tidak bertembok, melainkan berbentuk rumah panggung dari bambu—mengingatkanku pada rumah makan sunda. Sejujurnya, dalam hatiku sangatlah takut dan gugup. Aku sempat bercakap-cakap dengan beberapa pelamar dan mengetahui background mereka yang sangat mendukung. Ada yang baru lulus kuliah jurusan PGSD, bekerja sebagai guru bahasa inggris di sekolah lain, mengajar bimbel, dan semuanya masih aktif. Lagi-lagi, hanya aku yang sedang tidak bekerja, sudah lama juga tidak mengajar. Terakhir adalah tahun 2012. Itu pun aku biasa menangani anak SMP, bukan SD. Rasa tak percaya diriku sebenarnya menguat, namun sedang kualihkan dengan mencoba menikmati pemandangan yang indah.

Namun ku tak mau menyerah
Aku tak ingin berputus asa
Dengan gagah berani aku melangkah
Dan berkata aku bisa…

Perlahan aku menenangkan diri dengan kalimat positif yang memotivasiku. Mengingat mati, mengingat tujuanku mengajar kembali, meluruskan niat, dan menihilkan ekspektasiku. Sebab seringkali ekspektasi akan melahirkan kekecewaan yang dalam. Persis seperti mencoba mencintai tapi sadar akan risiko melepaskan. Aku pun mulai tenang.
Rangkaian tes dimulai. Diawali dengan presentasi selama 15 menit dengan mengenalkan diri serta interview langsung oleh ketua yayasan yang siap dengan beragam pertanyaan. Sebab aku tak punya ekspektasi dan berharap cepat keluar dari atmosfer para pelamar yang semakin sering berkomat-kamit menghafalkan materi microteaching mereka, aku pun mengajukan diri untuk presentasi dan interview pertama. Disaksikan oleh sepuluh orang, aku merasa begitu lancar bahkan termasuk setoran hafalan surat pendek—aku membacakan surat At tin—dan membaca Al Quran. Aku menganggapnya seperti biasa saat aku presentasi ke klien dan mengaji. Perpaduan keseharianku dahulu. Setelahnya tes microteaching, lagi-lagi aku maju pertama—kali ini karena semua sepakat jika yang pertama bagus, biasanya ke belakangnya bagus, dan mereka memilihku karena aku dinilai berani—sebagai contoh. Aku membawakan matematika materi pecahan sederhana kelas 3 SD semester dua. Waktu yang diberikan hanya 15 menit. Aku tidak memiliki ide kreatif seperti menyiapkan slide atau peraga, dan lainnya. Aku mengajar biasa, menggunakan whiteboard, menggambar dan bercerita, disertai simulasi menyuruh peserta lain maju mengerjakan soal. Aku hanya memakai waktu 5 menit. Aku sudah tak bersemangat karena perutku keroncongan dan perkiraanku bahwa tes akan selesai dalam tiga jam, ternyata meleset hingga enam jam membuatku ingin cepat pulang.

Aku bisa… aku pasti bisa…
Ku harus terus berusaha
Bila ku gagal itu tak mengapa
Setidaknya ku tlah mencoba

Setelahnya aku menikmati berpura-pura sebagai peserta didik, dan menyaksikan teman-teman pelamar lainnya beraksi. Meski persiapan mereka begitu hebat, banyak juga yang tiba-tiba lupa pada materi. Wajar… grogi. Hal ini pun menerbitkan senyumku, bahwa bila aku gagal setidaknya aku telah mencoba. Aku telah merasakan kembali bagaimana adrenalinku terpacu dalam sebuah persaingan sehat.

Aku bisa… aku pasti bisa…
Ku tak mau berputus asa
Coba terus coba
sampai ku bisa
AKU PASTI BISA!

Tes terakhir adalah mengerjakan 5 soal uraian dalam waktu 5 menit. Aku mengerjakannya dengan mudah, terutama soal hitungan. Hanya 1 soal yang agak kuragukan, tapi aku sudah tak peduli lagi. Aku hanya ingin melewati semua rangkaian tes sebaik mungkin tanpa mencemaskan hasilnya. Aku hanya tidak ingin berputus asa, mencoba menjemput takdir terbaik. Just do the best, and let Allah the rest.

Itu semua terjadi di tanggal 10 November 2015. Pihak sekolah memberitahu bahwa dalam waktu dua minggu hasilnya baru akan diumumkan. Pelamar yang lolos tes akan dihubungi via telepon. Dan hari ini, tepat eminggu setelahnya, aku ditelepon. Esok, aku diminta untuk tandatangan kontrak dan langsung mengajar—belum diputuskan akan mengajar di kelas kecil atau besar, dan mata pelajaran apa. Alhamdulillah… kali ini, Allah ingin aku kembali pada dunia yang selama ini kuhindari. Ya, dunia pendidikan formal. Dunia yang menyebabkanku dilema, sebab aku mencintai dunia ini tapi juga membencinya, bila menjadikan belajar adalah beban untuk anak-anak. Tapi kini, aku telah memiliki perspektif baru, dan berusaha agar cita-citaku menjadikan belajar itu menyenangkan terwujud. Sebab ilmu adalah keutamaan untuk meraih ridaNya. Semoga Allah meridai keputusan ini, dan menjadikanku rida terhadap keputusannya.

 *cerita lirik Aku Bisa - AFI Junior. Lagu penyemangatku!


Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget