Pages

22 November, 2015

Tentang film Rindu Sang Murabbi

Seonggok kemanusiaan terkapar.
Siapa yang mengaku bertanggung
jawab?
Bila semua pihak menghindar, biarlah saya yang menanggungnya,
semua atau sebagiannya

Itulah kalimat yang paling saya ingat dan saya suka dari ustad rahmat abdullah dalam filmnya "Sang Murabbi". Saya terlambat mengenal beliau. Saya hanya tahu filmnya itu saja dari seorang teman yang memaksa saya untuk menontonnya di tahun 2010. Tadi pagi, saya menonton film dokumenter tentang beliau berjudul "Rindu sang murabbi" di Auditorium FATETA IPB. Sekarang saya mengetahui mengapa meski sedikit saya menyukai ustad rahmat. Selain integritasnya yang tak lagi diragukan, poin plusnya adalah dia menulis. Saya selalu jatuh hati pada penulis... dan selalu lebih cinta pada penulis. Sebab seperti kata Pram, "Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu tak padam ditelan angin. Akan abadi sampai jauh, jauh di kemudian hari."

Meski saya belum membaca buku karya beliau, tapi terasa berbeda diksi yang beliau pakai saat menulis sebuah kalimat. Ternyata... memang hal itu akan berbeda, sebab beliau penulis. Penulis yang sudah menemukan ghirahnya dalam dakwah. Mengingatkan saya pada karya M. Natsir di Capita Selecta dan Buya HAMKA.

Aah... ada rasa sesal pada diri saya, mengapa saya lambat mengenalinya?

Juga karakternya yang mencerminkan manusia pembelajar. Menurut ustad arifin ilham, beliau adalah gentong dan centong. Gentong atau murabbi, guru yang dicari dan didatangi siapa pun. Tapi beliau pun tetap haus ilmu dan tak malu menjadi centong atau mutarabbi yang mencari ilmu ke mana pun.

Hal yang mengesankan adalah kepribadian beliau yang menurut istrinya romantis, sering menuliskan kalimat indah seperti puisi dan ungkapan cinta, sedang menurut karibnya beliau adalah orang yang pandai tutur kata, tegas dalam berpolitik, berani mengambil risiko--meski nyawa menjadi taruhannya--sederhana dan tidak pernah mengeluh.

Hal yang saya pikirkan terhadap orang-orang seperti beliau yang mewarisi jejak rasul, adalah darimana semua energi itu berasal? Saya yakin bukan dari manusia. Secinta apa pun, cinta dari manusia tetap saja ada kelemahannya. Saya yakin, orang-orang seperti beliau mengambil energi dari sumbernya langsung. Cinta dari langit. Cinta dari sang maha daya cinta. Lalu semua itu menjadikan refleksi bagi diri saya... akankah saya dikenang sedemikian spesial oleh orang yang saya sayangi dan menyayangi saya, setelah saya tiada nanti? Akankah ada masa bagi saya untuk menebarkan kebaikan seluas mungkin? Akankah saya dirindukan?

Persis ucapan Bunda Helvy tentang beliau, "Dulu ada Natsir, Buya HAMKA dan Rahmat Abdullah sebagai ulama dan cahaya. Lalu sekarang, SIAPA?"

Yaa... Ustad Rahmat Abdullah memang hanya satu.

Semoga akan lahir penerus beliau yang mewarisi akhlak teladan dari Rasul di generasi ini. Bisa kamu, dia... atau mungkin AKU, bila tidak ada lagi yang ingin meneruskan.

*catatan selepas menonton film "Rindu sang murabbi" Minggu, 22 nov 2015

Meta morfillah
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Di bawah ini adalah tulisan beliau yang saya sukai.

Tadzkirah: (Almarhum Kiyai Haji Ustaz Rahmat Abdullah @ Sang Murabbi)

Memang seperti itu dakwah. Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk, dan tidurmu. Bahkan di saat lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yang kaucintai.

Lagi-lagi memang seperti itu. Dakwah. Menyedot kekuatan pada diri. Hingga tulang belulangmu, daging terakhir yang menempel di tubuh rentamu. Tubuh yang luluh diseret-seret. Tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari.

Seperti itu pula kejadiannya pada rambut Rasulullah. Baginda memang akan tua juga. Namun kepalanya beruban karena beban berat dari ayat yang diturunkan Allah.

Sebagaimana tubuh mulia Umar bin Abdul Aziz. Beliau memimpin hanya sebentar. Namun kaum muslimin sangat terkesan dengannya. Tidak ada lagi orang miskin yang boleh diberi sedekah. Tubuh mulia itu terkoyak-koyak. Sukar membayangkan sekeras apa seorang Khalifah bekerja. Tubuh yang segar bugar itu sampai gugur. Hanya dalam 2 tahun beliau sakit parah kemudian meninggal. Dan memang itu yang diharapkannya: mati sebagai jiwa yang tenang.

Dan di akhirat kelak, mungkin tubuh Umar bin al-Khattab juga terlihat terkoyak-koyak hingga kepalanya menjadi botak. Umar yang perkasa pun akhirnya membawa tongkat ke mana-mana. Kurang heroik? Akhirnya diperjelaskan dengan salah satu luka paling legendaris sepanjang sejarah; luka ditikamnya seorang Khalifah yang soleh, yang sedang bermesra-mesraan dengan Tuhannya ketika solat.

Dakwah bukannya tidak melelahkan. Bukannya tidak membosankan. Dakwah bukannya tidak menyakitkan. Bahkan juga para pejuang risalah bukannya sepi dari godaan kefuturan.

Tidak! Justru kelelahan. Apalagi rasa sakit itu selalu bersama mereka sepanjang hidupnya. Setiap hari. Satu kisah heroik, akan segera mereka sambung lagi dengan amalan yang jauh lebih "tragis". Justru karena rasa sakit itu selalu mereka rasakan, selalu menemani, karena rasa sakit itu selalu mengintai ke mana-mana mereka pergi, yang akhirnya menjadi adaptasi biasa.

Kalau iman dan godaan rasa lelah selalu bertempur, akhirnya salah satunya harus mengalah. Dan rasa lelah itu sendiri yang akhirnya lelah untuk mencekik iman. Lalu terus berkobar dalam dada. Begitu pula rasa sakit. Hingga luka tak dirasa lagi sebagai luka. Hingga "hasrat untuk mengeluh" tidak lagi terlalu menggoda berbanding jihad yang begitu aman, selesa apalagi berkecukupan.

Begitu pun Umar. Apabila Rasulullah wafat, beliau histeria. Saat Abu Bakar wafat, ia tidak lagi mengamuk. Bukannya tidak cinta pada Abu Bakar. Namun beliau seringnya "ditinggalkan", hal itu sudah menjadi kewajaran. Dan menjadi semacam suntikan bagi iman.

Dakwah itu tiada henti melainkan mati!

Janganlah keselesaan yang dimiliki melupakan diri hingga membiarkan mereka yang lainnya bersendirian bergelimang dalam lumpur kumuh membaiki moral ummat hingga dirimu berada di dalam lingkungan kelompok empukmu saja.

Sedarlah wahai para kader-kader di Jalan Allah!!

“Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.

Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.

Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu.

Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.

Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.”

-Sungguh kalau iman dan syaitan terus bertempur. Pada akhirnya salah satunya harus mengalah-

No comments:

Post a Comment

Text Widget