Pages

04 March, 2017

Keluarga

KELUARGA

"Dede kenapa, ooh... ya...ya... sama kakak saja ya."

Akhwat cilik dengan pipi pualam seperti bakpau itu menenangkan bayi lelaki yang ditinggal sebentar oleh ibunya. Sementara kakak lelakinya hanya melihat dari jauh. Tak berani dekat dengan dede bayi.

"De, hati-hati nanti dede bayinya nangis lagi. Dede sini saja sama kakak."

"Enggak apa-apa, kok. Dedenya mau main sama aku."

Saya tersenyum menyimak dialog anak kecil tersebut. Membayangkan miniatur keluarga masa depan. Di mana sudah fitrah akhwat itu berhati lembut dan memahami dunia bayi. Kerapuhannya justru kekuatannya pula.

Akhwat ketika dewasa semakin ingin dilindungi tapi juga hebat dalam melindungi. Terutama pada kecintaannya, anaknya misalnya. Bahkan akhwat menjelma sebagai pakar bahasa. Hanya ibu dan akhwat yang memiliki naluri keibuan yang paham bahasa bayi. Bahasa yang tak pernah ada kamusnya, ketentuannya, semiotika dan petunjuknya.

Sementara ikhwan sudah fitrahnya ingin melindungi meski kadang mencari perlindungan pula pada yang dicintainya. Secintanya seorang ayah kelak, jarang sekali ditunjukkan seheboh cinta ibu. Ayah hanya akan menatap kecintaannya dari jauh. Memberi ruang untuk tumbuh. Ayah lebih banyak diam namun perhatian. Begitulah bentuk kasih ayah, tak akan pernah sama dengan kasih ibu. Namun tetap hebat dan saling mengisi.

Seandainya... setiap kita sadar dengan fitrah diri kita. Bahwa tulang rusuk bukanlah tulang punggung. Bahwa mendidik anak bukanlah kewajiban ibu seorang. Bahwa vitamin A (Ayah) atau vitamin B (Bapak) sangatlah penting bagi jiwa seorang anak. Mungkin negara ini tidak akan carut marut, penuh polusi bukan solusi.

Sebab keluarga adalah miniatur sebuah negara.

Yaa Rabb... karuniakanlah kami keluarga yang shalih, yang Engkau ridhai untuk masuk surga sekeluarga. Aaamiiin

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget